Review

Hasnah Nasution: Menjadi Saleh Sekaligus Toleran

5 Mins read

Tjong Afie

Sumatera Timur, sekarang bernama Provinsi Sumatera Utara, mengalami perubahan besar pada tahun 1870-an hingga 1900-an yang menjadi bahasan Hasnah Nasution dalam bukunya ini. Kala itu, Sumatera Timur, yang di zaman kolonial Belanda, dikenal dengan sebutan Oostkust van Sumaira.

Ini adalah salah satu kawasan perlintasan bisnis antar negara dan juga sebuah daratan yang memiliki kekayaan alam yang amat luar biasa. Sehingga, Sumatera Timur menjadi rebutan oleh negara-negara di Eropa. Perkebunan tembakau, karet, palawija, dan rempah-rempah semisal lainnya, adalah bahan-bahan yang sangat mahal di pasaran dunia.

Belanda di kala itu sebagai pemegang otoritas Kawasan, sering benar mendapat perlawanan dan konflik dari para pekerja perkebunan (kuli) yang berasal dari berbagai suku, agama, ras, dan budaya.

Perlawanan itu terjadi karena tidak adanya keadilan hak yang diberikan oleh Belanda kepada para kuli. Sekalipun di kemudian hari pada tahun 1880, Belanda menerbitkan Koelie Ordinantie (semacam undang-undang ketenagakerjaan) bagi para pekerja, akan tetapi gejolak perlawanan tetap saja berlangsung.

Sekalipun dalam suasana pergolakan, namun sebagai daerah yang memiliki predikat kawasan perlintasan bisnis internasional, tak ayal Sumatera Timur tetap menjadi primadona bagi para saudagar-saudagar dari berbagai belahan dunia.

Bahkan, sebagian dari para saudagar tersebut tidak hanya melakukan bisnis semata, akan tetapi beberapa di antara mereka justru menetap dan berupaya menjadi bagian dari “orang” Sumatera Timur.

Adalah Tjong Afie, seorang keturunan Tionghoa yang mendapat perhatian khusus dari Hasnah Nasution. Dengan menulis sejarah panjang kehidupan dan laku Tjong Afie ketika bergumul dengan realitas sosial masyarakat di Sumatera Timur di akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20, tak pelak karya Hasnah telah turut menghidupkan kembali memoar ingatan para pengkaji sejarah dan para pengkaji ilmu sosial keagamaan di Indonesia.

Tjong Afie dan Modal Sosial

Kedatangan Tjong Afie di Sumatera Timur bersamaan dengan sedang berlangsungnya konflik berdarah antara Belanda dengan para kuli di berbagai distrik-distrik perkebunan. Sebagai seorang saudagar Tionghoa yang semula memiliki usaha bisnis komoditas pangan, Tjong Afie berupaya mencari modal sosial agar keberadaannya bisa diterima oleh semua kalangan.

Gayung pun bersambut, modal sosial yang dibangun oleh Tjong Afie akhirnya bisa berjejaring secara luas di masyarakat, hingga masuk ke kalangan keluarga kesultanan Deli yang ketika itu dipimpin oleh Makmoen Al Rasjid Perkasa dan Tuanku Raja Moeda.

Baca Juga  Anak Muda dan Ancaman Westernisasi

Sebagaimana Hasnah menuliskan “…Tjong Afie bergaul secara luas dengan masyarakat dan sangat dermawan, termasuk ia sangat menjaga hubungan baik dengan Sultan Deli” (hal. 139).

Kepiawaian Tjong Afie dalam menjaga modal sosial tersebut, membuat Belanda turut mengangkatnya menjadi kepala komunitas etnis Tionghoa di Sumatera Timur. Kepentingan Belanda mengangkat Tjong Afie masa itu tidak lain adalah sebagai mediator, dikarenakan kuli yang kerap buat rusuh di perkebunan-perkebunan milik Belanda adalah orang Cina.

Memang, di tahun-tahun itu, orang Cina paling banyak menjadi kuli bila dibandingkan dengan etnis Jawa dan etnis lainnya. Usman Pelly menyebut pada peralihan abad ke-19 menuju abad ke-20 kuli Cina sangat mendominasi perkebunan-perkebunan Belanda.

***

Penunjukan Tjong Afie oleh Belanda sebagai kepala komunitas etnis Tionghoa sangat menguntungkan bagi semua pihak. Sebab, dari penobatan Tjong Afie itulah perubahan besar mulai terjadi di Sumatera Timur.

Hasnah menukilkan “…Tjong Afie memiliki keperibadian kharismatik dan disegani karena kebijaksanaan dan kemampuan diplomasinya dalam menyelesaikan sengketa lokal yang, pada gilirannya Tjong Afie diizinkan untuk melakukan investasi pada perusahaan perkebunan Belanda” (hal. 128).

Pada tahun 1890-an, Tjong Afie kemudian diangkat menjadi gemeenteraad (Dewan Kota) oleh Sultan Deli, dan di saat yang bersamaan Belanda juga menunjuk Tjong Afie sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tionghoa.

Tak tanggung-tanggung, kini dua kekuatan besar sedang berada ditangan Tjong Afie, ekonomi dan politik. Pertanyaan yang mengemuka adalah, apa yang diperbuat Tjong Afie setelah mendapat mandat terhormat itu?

Dua Kekuatan: Politik dan Ekonomi

Dalam buku ini, Hasnah Nasution dengan baik menjelaskan perihal dua kekuatan yang dimiliki oleh Tjong Afie itu. Dari sisi politik secara eksternal, Tjong Afie berupaya keras untuk menghilangkan kebijakan Koeli Ordinantie yang sudah bertahun-tahun lamanya dibuat dan dipraktikkan oleh Belanda.

Sekalipun upaya yang dilakukan oleh Tjong Afie memiliki risiko yang sangat berat– baik secara pribadi maupun untuk masyarakat secara umum, tetapi Tjong Afie tetap dalam prinsipnya.

Seperti yang dituliskan Hasnah “…Melihat kekejaman dari kebijakan Koeli Ordinantie, Tjong Afie dengan kekuatan politiknya menolak keras kepada Belanda agar kebijakan itu dihapuskan. Sikap semacam itu mendapat tantangan dan menimbulkan ketidaksenangan dari pemilik-pemilik perkebunan, termasuk perkebunan milik Belanda (hal. 138).

Baca Juga  Sunni-Syiah di Indonesia: Mungkinkah Terjadi Integrasi?

Meski dalam keadaan mendapat ancaman berat, namun sayap politik internal Tjong Afie bersama keluarga Sultan Deli membawa keuntungan. Perlindungan dari Sultan dan masyarakat Sumatera Timur hampir tak bisa di lawan oleh Belanda. “…Berkat reputasi yang dimiliki, Tjong Afie adalah wakil Sultan dalam bisnis. Apalagi di saat itu Tjong Afie sudah memiliki karyawan lebih dari 10.000 orang yang tersebar di seluruh perusahaan yang dimilikinya (hal. 139).

Sedikit kritikan, pada tataran ini sepertinya Hasnah luput dalam membaca ketegangan antara Tjong Afie dengan Belanda dalam kebijakan Koeli Ordinantie itu.

Anhar Gonggong, seorang sejarawan, dalam karyanya justru menyebut kebijakan Koeli Ordinantie mulai melunak bahkan sempat dihilangkan ketika Belanda mengetahui adanya rial-riak pergerakan keagamaan yang mulai dilakukan oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta, termasuk keberadaan Kaum Muda (kaum terpelajar) dari Sumatera Barat pasca perang Paderi di kawasan pantai barat Sumatera (Sibolga). Ini memberi konsekuensi bahwa upaya yang dilakukan oleh Tjong Afie ketika itu bukan bersifat tunggal, namun ada kekuatan-kekuatan luar yang membuat Belanda menahan diri.

***

Setali tiga uang, berseberangan dengan kekuatan politiknya seperti yang sedikit terlintas di atas, yang juga menarik adalah bagaimana seorang Tjong Afie berbuat untuk Sumatera Timur dalam bidang ekonomi, sosial, dan keagamaan. Dalam mengurai bidang-bidang itu, Hasnah sangat apik sekali mengaitkan peran Tjong Afie dalam hubungannya dengan titik-titik nilai tertinggi kemanusiaan.

Kontribusi Tjong Afie dalam pembangunan infrastuktur di Sumatera Timur (Deli Tua) memang tak dapat dipungkiri. Berbagai fasilitas umum dan berbagai pembangunan fasilitas agama semisal Masjid, Gereja, Kuil, Klenteng, dan lainnya masuk dalam radar “Banker” Tjong Afie. Khusus untuk hal ini Hasnah menulis bab khusus (hal. 127), yang oleh Hasnah bab ini merupakan semacam novelty (temuan) dalam penulisan karya ini.

Amat penting diutarakan, seluruh fasilitas yang dibangun oleh Tjong Afie di Sumatera Timur kala itu murni berlandaskan ketulusan untuk bersatu. Hasnah menafsirkan hal inilah yang menjadi cikal bakal terwujudnya moderasi beragama di Sumatera Timur yang, di kemudian hari dikenal dengan nama Sumatera Utara. Hasnah melanjutkan, konsep moderasi beragama yang ditanamkan oleh Tjong Afie di kala itu bukan saja berupa berbuat baik kepada orang-orang yang berada diluar keyakinan, akan tetapi berupaya mengambil jalan tengah dan menghindari sikap maupun perilaku ekstrim dam beragama, sekalipun kita hidup dalam lingkungan mayoritas (159).

Baca Juga  Islam Toleran: Kisah-Kisah Toleransi di Masa-Masa Awal Islam

Menjadi Saleh dan Toleran

Sebelum kehadiran buku “Moderasi Beragama di Sumatera Utara” di lemari saya, pustaka mini saya telah mengoleksi beberapa buku terkait isu keberagaman. Misalnya buku “Menggapai Kerukunan Umat Beragama” dari Ihsan Ali Fauzi dan kawan-kawan yang diterbitkan oleh PUSAD Yayasan Paramadina, 2020.

Kemudian ada pula buku “Dinamika Kerukunan Umat Beragama” yang ditulis oleh Faisal Ismail, yang diterbitkan oleh Rosdakarya Bandung, 2014. Tak lupa pula saya juga telah membaca buku “Pelangi Agama di Ufuk Indonesia”, yang diterbitkan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI dan, ada beberapa buku seirama lainnya yang juga telah saya selesaikan membacanya.

Terus terang, saya agak sulit memahami titik temu moderasi dan kerukunan dalam beragama yang ditawarkan oleh buku-buku di atas. Ulasannya sangat padat, diksi yang dipilih oleh para penulis buku hampir membuat saya tidak mengerti bagaimana melihat konteks moderasi beragama yang ideal dan sederhana dalam konteks keindonesiaan.

Nah, Hasnah Nasution tampil beda dalam menjelaskan konteks moderasi dalam beragama. Hasnah justru dengan sengaja menggali pemikiran seorang tokoh dari kelompok Tionghoa yang hidup dalam komunitas Muslim (Melayu).

Kemudian, oleh Hasnah berbagai gagasan dan pemikiran moderasi beragama yang dimiliki oleh tokoh Tionghoa tersebut dikait-hubungkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam dimensinya yang tinggi (hal. 158).

***

Ada satu poin penting yang menarik untuk dikenang dalam karya Hasnah ini: Tjong Afie dengan prinsip dan kesungguhannya dalam memulai mewujudkan konsep moderasi beragama di Sumatera Timur justru dalam usia milenial, 35-an tahun. Ini membuktikan bahwa usia milenial adalah usia yang sangat diperhitungkan dalam membangun sebuah peradaban manusia. Sebagaimana bangsa Indonesia juga diproklamirkan oleh para milineal yang dikenal dalam momen Sumpah Pemuda 1928.

Terakhir, buku ini semula adalah Disertasi Doktoral Hasnah di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan. Setelah mengalami perbaikan dan tambahan di sana-sini, akhirnya menjadi sebuah karya yang menarik dan bisa didapatkan oleh siapa saja yang menginginkannya. Dan tentunya buku “Moderasi Beragama Sumatera Utara: Kontribusi Awal Tjong Afie” ini patut dibaca oleh para akademisi, para pemuka agama, pegiat literasi, pegiat HAM, dan masyarakat secara umum. Dari buku ini kita bisa belajar banyak dan memperkaya pengetahuan.

Editor: Yahya FR

Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *