Politik Islam | Indonesia sebagai negara majemuk dengan Islam sebagai agama mayoritas mengalami dinamika dalam membangun model pemerintahan dalam hal relasinya dengan agama.
Dinamika ini terjadi karena adanya perubahan tatanan politik yang terjadi di berbagai belahan dunia setelah kolonialisme. Dalam sejarah peradaban Islam, umat Islam meyakini adanya supremasi agama atas negara.
Demokrasi menjadi konsep baru dalam wacana politik Islam. Pada awalnya, banyak penolakan terhadap demokrasi karena merupakan produk Barat. Namun, lambat laun sebagian besar umat Islam menerima nilai-nilai demokrasi.
Meskipun demikian, dalam menyikapi dan mengonseptualisasi demokrasi, umat Islam terpecah dalam beragam pemikiran. Hal ini karena demokrasi menjadi problem teologis.
Luthfi Assyaukanie dalam buku Ideologi Islam dan Utopia menyebutkan tiga pemikiran yang berkembang tentang model pemerintahan muslim di Indonesia, yaitu demokrasi Islam, demokrasi agama, dan demokrasi liberal.
Demokrasi Islam
Istilah demokrasi Islam dicetuskan oleh Mohammad Natsir. Menurutnya, semua ideologi dan konsep yang datang dari luar Islam mesti ditolak atau dimodifikasi agar sesuai dengan Islam.
Ia berargumen bahwa ada beberapa hal yang sudah final dalam Islam sehingga tak ada ruang bagi parlemen untuk membahasnya, seperti pelarangan perjudian dan pornografi. Model ini menerima nilai-nilai politik modern tanpa mengabaikan doktrin-doktrin klasik.
Dalam model ini, non-muslim tidak memiliki hak-hak politik yang setara. Kebebasan berekspresi pun harus tunduk kepada aturan agama. Pendukung model ini adalah partai politik Islam seperti Masyumi dan ada pula sebagian dari Nahdlatul Ulama.
Tokoh-tokoh pendukungnya antara lain Sjafruddin Prawiranagara, Burhanuddin Harahap, Hamka, dan Idham Chalid.
Para pendukung model ini berbeda-beda dalam menunjuk negara manakah yang menjadi model ideal negara demokrasi Islam. Ada yang memilih Pakistan, ada pula yang memilih negara-negara Barat sebagai model, seperti Belanda dan Swiss.
Hal itu karena negara-negara Barat tersebut mengakui status agama dan berhasil menggabungkan pluralitas agama, kemakmuran ekonomi, dan stabilitas politik. Mereka sepakat bahwa Arab Saudi bukanlah model yang cocok.
Meski menolak sekularisme, para pendukung model ini juga menolak teokrasi. Mereka berpendapat bahwa sistem khalifah yang empat bersifat demokratis. Zainal Abidin Ahmad menafsirkan ulil-amri dalam Al-Qur’an sebagai rakyat.
Pendukung model ini juga mendukung hak-hak perempuan dalam politik. Menurut Hamka, di Indonesia kepala negara perempuan tidak pernah menjadi masalah. Di Aceh ada empat ratu yang memimpin dengan berhasil.
Ketika Masyumi dibubarkan, eksistensi model ini mulai menurun. Namun, pendukung model ini meneruskan kampanye demi keberlangsungannya. Kritik yang dilontarkan generasi muslim berikutnya serta kebijakan represif rezim Suharto menyebabkan model ini pelan-pelan luntur.
Demokrasi Agama
Demokrasi agama dibangun pada era Suharto. Model ini dibangun dengan berlandas kepada pluralitas. Model ini memahami bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Model ini meyakini bahwa Islam tidak memerintahkan secara spesifik untuk mendirikan tipe institusi politik tertentu.
Namun, model ini percaya bahwa masyarakat politik haruslah religius karena agama merupakan unsur vital dalam kehidupan komunal. Pendukung model ini mendukung keberadaan peradilan agama, institusionalisasi perkawinan agama, pengajaran agama di sekolah, dan keberadaan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI dan Kementerian Agama. Salah satu tokoh model ini adalah Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif.
Model yang didukung oleh Suharto ini merupakan respons terhadap kegagalan model pertama. Menurut pendukung model kedua, model pertama tidak cocok untuk negara demokratis yang menuntut kesetaraan menyeluruh bagi semua warga negara.
Para pendukung model ini lebih terbuka dalam menafsirkan doktrin agama dan kurang bercuriga terhadap non-muslim karena ancaman komunis telah menyusut. Pendukung model ini berasal dari kaum santri dan juga disukai oleh kalangan Muhammadiyah. Ada pula yang merupakan intelektual independen.
Tidak seperti model pertama, model kedua mendukung Pancasila. Mereka juga menolak sekularisme dan meyakini bahwa Indonesia adalah negeri yang religius. Sekularisme dianggap berbahaya karena terlalu banyak bergantung pada nalar manusia. Di samping itu, dalam model ini pluralisme menjadi gagasan penting yang harus dikembangkan.
Model kedua mendukung interpretasi kontekstual terhadap ayat-ayat tentang perempuan. Meski membela hak-hak perempuan, para pendukungnya tak sepenuhnya mendukung feminisme. Fondasi religius model kedua ini membatasi masuknya unsur-unsur feminisme radikal, misalnya lesbianisme.
Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal menegaskan bahwa urusan politik harus dipisahkan dari agama. Pendukung model ini berargumen bahwa misi Islam adalah perbaikan akhlak atau moral.
Mereka merujuk hadis Nabi yang berbunyi. “Antum a‘lamu bi umuri dunyakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian’). Model ini berpandangan bahwa penerapan terbaik demokrasi adalah ketika negara dan masyarakat diberi kebebasan total untuk menjalankan fungsi mereka secara independen.
Fungsi negara adalah mengelola urusan publik, sedangkan fungsi agama berada pada wilayah privat. Meski demikian, pendukung model ini percaya bahwa agama adalah sumber nilai-nilai etis transendenal bagi kehidupan manusia.
Contoh pendukung model ini adalah Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi dari kalangan modernis serta K.H. Abdurrahman Wahid dari kalangan tradisionalis.
Wacana demokrasi liberal sebenarnya sudah ada pada awal kemerdekaan, kemudian model ini tumbuh sejak kejatuhan Suharto. Model ini mengkritik masalah-masalah yang muncul pada model kedua, seperti posisi hegemonik negara atas aktivitas religius masyarakat.
Menurut model ini, pluralisme hanya dapat terwujud dengan adanya sekularisasi. Selain mengacu ke Barat, pendukung model ini mengacu kepada Piagam Madinah sebagai model pluralisme. Mereka berargumen bahwa konstitusi Madinah tidak menyebutkan Islam sebagai dasar negara.
Demokrasi liberal mendukung kebebasan sipil. Model ini menghormati ateisme sebagai salah satu “keyakinan”. Homoseksualitas menjadi masalah yang perlu dipertimbangkan, bukan dikutuk. Model ini juga aktif menyuarakan isu HAM dan gender.
Ketiga pemikiran politik Islam di Indonesia memiliki kesamaan dalam sifat komunitarian. Berbeda dengan di Timur Tengah, pemikiran politik ini disebarkan melalui organisasi. Hal ini karena pemikiran Islam di Indonesia memiliki fondasi sosial yang kuat.
Hal ini sebagaimana dikatakan Robert W. Hefner, “Tiada satu tempat pun di dunia Islam yang membahas gagasan demokrasi, masyarakat sipil, pluralisme, dan pemerintahan hukum dengan vigor dan kepercayaan diri yang setara dengan muslim Indonesia.”
Editor: Yahya FR