Menjadi aktivis Muhammadiyah yang kuliah di kampus Muhammadiyah itu rasanya menyenangkan. Apalagi mendapatkan beasiswa penuh dari Muhammadiyah. Ditambah dengan bantuan dana ketika mengikuti berbagai kegiatan ortom Muhammadiyah, di dalam maupun luar kota. Rasanya seperti kuliah di rumah sendiri.
Selain itu, sebagai aktivis Muhammadiyah, kita kerap merasa besar. Terutama di hadapan teman-teman yang bukan aktivis. Rasa-rasanya seperti kita adalah tuan rumah, sementara mahasiswa lain non-aktivis hanya tamu saja. Punya akses terhadap pendanaan, beasiswa, dan pejabat adalah salah tiga dari banyak privilage yang dimiliki oleh aktivis Muhammadiyah yang kuliah di kampus Muhammadiyah.
Kenyamanan ini memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya adalah munculnya rasa aman, nyaman, dan percaya diri yang tinggi. Dampak negatifnya, kita seperti hidup di dalam gelembung empuk yang kita ciptakan sendiri, dan tidak tau menahu apa yang terjadi di luar sana.
Nenek moyang kita selalu berpesan, pergilah yang jauh, merantaulah, supaya melihat dunia luar. Rupanya nasehat itu masih relevan. Saya pun menjalankannya. Dengan melanjutkan pendidikan tidak di kampus Muhammadiyah, melainkan kampus negeri yang “gengsi”nya di atas kampus Muhammadiyah.
Apa yang saya temui kemudian adalah culture shock. Berbagai privilege yang dulu kita miliki itu hilang tak berbekas. Portofolio yang telah kita bangun dengan begitu panjang itu tak berlaku. Baju yang kita pakai tak lagi dipertimbangkan. Di lingkungan yang menekankan sistem meritokrasi dengan ketat, hanya kemampuan yang dihitung. Bukan baju, identitas, dan latar belakang.
Ketika mengalami shifting ini, saya jadi merenungkan beberapa tipe anak muda di Indonesia. Pertama, aktivis. Sebenarnya relatif sulit untuk menjelaskan tentang karakteristik aktivis mengingat ia cukup beragam. Maka saya akan menggambarkan beberapa garis besarnya. Pertama, ia menekankan pada kebermanfaatan untuk orang lain. Narasi utama kelompok ini adalah berbuat untuk orang lain. Ia melihat masalah dan mencari solusi dari persoalan-persoalan kehidupan sosial budaya.
Karakteristik kedua dari kelompok ini adalah identik dengan aktivitas berjejaring. Bertemu dengan orang lain dari berbagai macam kelompok. Hal ini berkaitan dengan karakteristik yang ketiga, yaitu berbasis gerakan. Karena berbasis gerakan, ia harus bertemu dengan banyak orang. Gerakan akan lebih sulit dijalankan jika dilakukan sendiri. Semakin banyak bertemu orang, sebuah gerakan relatif lebih mudah dilakukan.
Aktualisasi dari kelompok ini yang paling umum adalah menjadi politisi atau akademisi. Selain itu juga bisa menjadi pengusaha, agamawan, atau profesional. Kelemahan dari aktivis adalah, secara umum, capaian akademiknya relatif tidak terlalu baik. Tren aktivis yang identik dengan kuliah dalam waktu yang lama (tidak segera lulus) itu belakangan menurun. Aktivis-aktivis dengan capaian akademik yang bagus juga mulai semakin banyak. Namun, biasanya aktivis dengan capaian akademik yang baik tidak memiliki banyak waktu untuk aktif di berbagai kegiatan sosial.
Untuk mensederhanakan hal ini, kita bisa menyebut dua istilah, yaitu man of thinking dan man of action. Umumnya, para aktivis lebih dominan sebagai man of action, bukan man of thinking. Tentu ada orang yang bagus di kedua aspek, namun itu tidak menjadi tren umum. Jadi, aktivis-aktivis cenderung tidak memiliki capaian akademik yang mewah karena ia banyak menghabiskan waktu di kegiatan-kegiatan sosial yang lebih membumi dan praktikal.
Jenis anak muda selanjutnya adalah anak-anak muda study-oriented. Seperti sebutannya, kelompok ini cenderung memiliki orientasi pendidikan yang tinggi atau karir profesional yang bergengsi. Di kelompok ini, mereka umumnya tidak aktif di organisasi atau gerakan tertentu. Atau kalau aktif, kontribusinya sangat minimal dan durasinya sangat pendek. Misalnya, pernah aktif di organisasi eksternal mahasiswa (IMM, HMI, PMII) di tingkat komisariat, lalu memilih tidak aktif dan fokus pada pendidikan formal. Identitas yang lebih ditonjolkan adalah latar belakang akademik daripada latar belakang organisasi.
Kelompok ini biasanya mengisi kampus-kampus terbaik, di dalam maupun luar negeri. Khusus dalam kasus kampus-kampus terbaik di luar negeri, kelompok ini sangat dominan. Datanglah ke salah satu kampus top di Barat, niscaya mayoritas orang Indonesia yang Anda temui pasti bukan aktivis. Di usia dewasa, mereka akan menjadi profesor di kampus-kampus top, atau tenaga ahli di berbagai bidang yang mentereng. Hanya saja, karena waktunya habis di perpustakaan atau laboratorium dan tidak banyak bergaul dengan orang lain, dalam menata karir, kelompok ini biasanya tidak seluwes kelompok yang pertama. Kehidupannya cenderung berkutat pada buku (kini diganti laptop), teori, jurnal, konferensi, pekerjaan, internship, dan seterusnya.
Kelompok ketiga yang bisa saya amati adalah apa yang saya sebut sebagai event hunter. Apa bedanya dengan aktivis? Yang saya maksud sebagai aktivis adalah orang-orang yang punya basis organisasi, gerakan, atau partai tertentu. Sementara event hunter cenderung netral, tidak bergabung dengan organisasi tertentu, namun rajin mengikuti banyak kegiatan. Misalnya, kegiatan pengabdian masyarakat di daerah 3T, atau kegiatan studi singkat ke luar negeri dengan berbagai jenis dan tipenya.
Tentu yang dianggap paling keren dari anak muda dalam kelompok ini adalah yang berhasil mengikuti beberapa kegiatan internasional, terutama dengan skema fully-funded (beasiswa penuh). Setidaknya, postingan mereka di sosial media akan mengundang atensi yang tinggi. Dan para followers-nya akan bertanya-tanya, kok bisa? Bagaimana caranya? Dan seterusnya.
Kelemahan kelompok ini adalah, secara umum, mereka tidak punya kontribusi yang signifikan terhadap sekitar. Mereka biasanya menampilkan citra diri yang keren dan hebat di media sosial. Yang paling penting bagi mereka adalah mengikuti event yang keren, bisa jalan-jalan ke luar negeri (atau setidaknya ke luar kota), foto-foto, lalu jadi populer karena hal itu.
Penggambaran pola aktualisasi diri anak-anak muda ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, jika Anda masih SMA atau mahasiswa semester awal, Anda harus sesegera mungkin memutuskan akan menjadi apa. Semakin cepat memutuskan, semakin baik hasilnya. Kenapa? Karena setelah memutuskan untuk masuk ke kelompok tertentu, Anda akan bisa merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan setiap hari. Jika Anda tidak tau akan menjadi apa, Anda akan cenderung menggunakan waktu secara suka-suka, sporadis, acak, bahkan sia-sia.
Tujuan kedua adalah untuk memberi kritik konstruktif terhadap setiap kelompok. Misalnya, para aktivis harus berbenah diri untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya. Aktivis yang akan menjadi akademisi harus serius menempuh jalan itu. Begitupun yang ingin menjadi politisi, pengusaha, dan lainnya. Jejaring yang dimiliki aktivis adalah nilai plus sekaligus minus. Nilai plus karena banyak sekali peluang-peluang yang didapatkan melalui jejaring. Nilai minus karena ketika merasa sudah punya banyak jejaring, mereka terkadang merasa malas untuk mengembangkan skill, karena merasa sudah punya “orang dalam”.
Kelompok kedua dan ketiga juga penting untuk berbenah agar tidak terlalu melangit. Mereka juga perlu memperhatikan realitas sekitar dan melakukan perbaikan, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Mencitrakan diri dengan orang yang hebat dan keren tanpa menginjakkan kaki di bumi adalah perbuatan yang tidak terpuji.
Disclaimer pertama, tulisan ini tidak didasarkan pada penelitian ilmiah dengan metode yang ketat. Tulisan ini hanya dibuat berdasarkan refleksi penulis selama beberapa tahun terakhir ketika melihat realitas sekitar. Disclaimer kedua, tulisan ini jelas mengandung bias dan subjektif. Latar belakang penulis turut mempengaruhi cara penulis melihat realitas. Ketiga, analisa ini adalah analisa umum. Generalisir tidak bisa dihindari. Namun, bagaimanapun generalisir adalah salah. Sehingga Anda tetap bisa berargumen bahwa Anda masuk ke dalam salah satu kelompok, namun Anda tidak seperti apa yang saya tulis. Hal itu sangat lumrah dan bisa dipahami.
Jadi, Anda di mana?