Saudaraku, ada tiga lingkungan tradisi budaya yang membentuk sikap etis masyarakat yang perlu kita ketahui dan pahami bersama. Di antaranya;
Pertama, budaya rasa bersalah (guilt culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang merupakan pancaran kekuatan lentera moral dalam dirinya, yang senantiasa menimbang baik-buruk laku hidupnya. “Apakah cukup etis bagiku sebagai pengumpul pajak malah jadi penggelap pajak? Apakah etis penegak hukum jadi perusak hukum, pelindung jiwa jadi penghilang nyawa? Apakah cukup fair menimbun kekayaan dengan merusak ekosistem dan menyengsarakan orang banyak?”
Di sini, orang berbuat etis bukan karena taat hukum atau pandangan orang lain, melainkan karena sensitivitas etis sebagai buah olah jiwa pelatihan kebajikan praktis (phronesis) yg disebut Aristoteles sebagai “arete” (excellence in virtues; hebat dalam karakter).
Kedua, budaya malu (shame culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang ditentukan oleh pertimbangan daya takarnya tentang panilaian orang lain, yang bisa menimbulkan rasa malu bila dipergunjingkan dan dinistakan orang lain.
Apa tak bikin malu, sebagai pejabat tinggi aku mengenakan “baju orange”, disorot media dan dijebloskan ke penjara? Apa kata dunia, sebagai wakil rakyat dan pelayan rakyat bergaya hidup mewah ala sultan sosialita di tengah lautan derita rakyat? Apakah tak malu menyandang sederet gelar akademik tanpa kontribusi ilmiah yg signifikan? Di sini, orang berbuat etis lebih ditentukan oleh penilaian eksternal dan sanksi sosial.
Ketiga, budaya takut (fear culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang dikarenakan rasa takut pada sanksi dan hukuman. “Apakah aku tak takut bila ketahuan korupsi bisa dihukum mati? Bagaimana aku harus memberikan pembuktian terbalik atas segala harta yang kumiliki, dan bagaimana nasib keluargaku bila dimelaratkan karena seluruh harta kekayaan disita negara? Bagaimana aktualisasi peran publikku ke depan bila hak-hak politikku dilenyapkan?”
Dari ketiga budaya etis tersebut, saya kuatir saat ini tak satu pun yang tumbuh kuat di negeri ini. Rasa bersalah tumpul, rasa malu pudar, rasa takut redup. Kita mengalami krisis kehidupan publik yang akut karena seluruh sistem pertahanan budaya untuk mengembangkan masyarakat etis tak dapat dipertahankan.
Editor: Soleh