Perspektif

Tiga Tradisi Budaya yang Bisa Membentuk Sikap Etis

1 Mins read

Saudaraku, ada tiga lingkungan tradisi budaya yang membentuk sikap etis masyarakat yang perlu kita ketahui dan pahami bersama. Di antaranya;

Pertama, budaya rasa bersalah (guilt culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang merupakan pancaran kekuatan lentera moral dalam dirinya, yang senantiasa menimbang baik-buruk laku hidupnya. “Apakah cukup etis bagiku sebagai pengumpul pajak malah jadi penggelap pajak? Apakah etis penegak hukum jadi perusak hukum, pelindung jiwa jadi penghilang nyawa? Apakah cukup fair menimbun kekayaan dengan merusak ekosistem dan menyengsarakan orang banyak?”

Di sini, orang berbuat etis bukan karena taat hukum atau pandangan orang lain, melainkan karena sensitivitas etis sebagai buah olah jiwa pelatihan kebajikan praktis (phronesis) yg disebut Aristoteles sebagai “arete” (excellence in virtues; hebat dalam karakter).

Kedua, budaya malu (shame culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang ditentukan oleh pertimbangan daya takarnya tentang panilaian orang lain, yang bisa menimbulkan rasa malu bila dipergunjingkan dan dinistakan orang lain.

Apa tak bikin malu, sebagai pejabat tinggi aku mengenakan “baju orange”, disorot media dan dijebloskan ke penjara? Apa kata dunia, sebagai wakil rakyat dan pelayan rakyat bergaya hidup mewah ala sultan sosialita di tengah lautan derita rakyat? Apakah tak malu menyandang sederet gelar akademik tanpa kontribusi ilmiah yg signifikan? Di sini, orang berbuat etis lebih ditentukan oleh penilaian eksternal dan sanksi sosial.

Ketiga, budaya takut (fear culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang dikarenakan rasa takut pada sanksi dan hukuman. “Apakah aku tak takut bila ketahuan korupsi bisa dihukum mati? Bagaimana aku harus memberikan pembuktian terbalik atas segala harta yang kumiliki, dan bagaimana nasib keluargaku bila dimelaratkan karena seluruh harta kekayaan disita negara? Bagaimana aktualisasi peran publikku ke depan bila hak-hak politikku dilenyapkan?”

Baca Juga  Sebuah Nada dari Bang Haji Rhoma Irama

Dari ketiga budaya etis tersebut, saya kuatir saat ini tak satu pun yang tumbuh kuat di negeri ini. Rasa bersalah tumpul, rasa malu pudar, rasa takut redup. Kita mengalami krisis kehidupan publik yang akut karena seluruh sistem pertahanan budaya untuk mengembangkan masyarakat etis tak dapat dipertahankan.

Editor: Soleh

Yudi Latif
1 posts

About author
Cendekiawan Muda
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds