Di tengah dinamika reformasi pendidikan nasional, Tes Kemampuan Akademik (TKA) muncul sebagai solusi inovatif yang disebut-sebut sebagai “jalan tengah” standar asesmen pendidikan Indonesia. Bukan sekadar ujian biasa, TKA dirancang untuk mengukur kemampuan siswa secara holistik. Menggabungkan kekuatan asesmen formatif dan sumatif tanpa membebani sistem pendidikan yang sudah kompleks.
Artikel ini mengupas tuntas konsep TKA, latar belakangnya, manfaatnya, serta peran strategisnya dalam mencapai target pendidikan berkualitas. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan panjang pembahasan mendalam hingga mendekati 1.000 kata, mari kita telusuri bagaimana TKA menjadi jembatan menuju pendidikan Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan kompetitif.
Krisis Asesmen Pendidikan di Indonesia
Pendidikan Indonesia telah lama bergulat dengan dilema asesmen. Sejak era Orde Baru, Ujian Nasional (UN) menjadi andalan utama untuk mengukur prestasi siswa. Namun, UN kerap dikritik karena sifatnya yang terlalu sumatif, hanya satu kali ujian di akhir tahun ajaran dan rentan kecurangan. Seperti yang terungkap dalam skandal UN 2015 di mana ribuan siswa tertangkap curang. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, tingkat kelulusan UN mencapai 99,95% pada 2019, tapi angka ini justru memicu keraguan tentang validitas dan keadilan prosesnya.
Masuk era Merdeka Belajar di bawah Menteri Nadiem Makarim sejak 2019, pemerintah beralih ke Asesmen Nasional (AN). AN terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter Minimum (SKM), dan Survei Lingkungan Belajar (SLB). Fokus AN bergeser ke literasi, numerasi, dan karakter, meninggalkan pendekatan hafalan semata. Hasil AN 2021 mengejutkan: hanya 36% siswa SD kelas 5 mahir membaca, dan 40% mahir berhitung. Data ini sejalan dengan PISA 2018, di mana Indonesia menempati peringkat 72 dari 79 negara, jauh di bawah rata-rata OECD, menegaskan perlunya pendekatan asesmen yang lebih efektif.
Namun, AN pun menghadapi tantangan. Guru dan orang tua mengeluhkan beban administratif yang tinggi, sementara sekolah swasta merasa AN kurang kompetitif untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Di sinilah TKA lahir sebagai jalan tengah: mengintegrasikan fleksibilitas AN dengan standar ketat UN, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Asesmen Pendidikan. TKA hadir untuk menjawab kebutuhan akan asesmen yang relevan, adil, dan mendukung pembelajaran berkelanjutan.
Teknis Pelaksanaan TKA
TKA adalah asesmen berbasis kompetensi yang diterapkan secara nasional untuk siswa kelas 6 SD, 9 SMP, dan 12 SMA/SMK mulai tahun ajaran 2025/2026. Dikelola oleh Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) dan Pusat Asesmen Pendidikan di bawah naungan Kemendikdasmen. TKA mengukur enam domain utama: literasi baca-tulis, numerasi, penalaran saintifik, pemecahan masalah, kolaborasi digital, dan karakter gotong royong. Berbeda dengan UN yang 100% pilihan ganda, TKA mengadopsi 60% soal esai terbuka dan 40% pilihan ganda adaptif. Di mana tingkat kesulitan menyesuaikan dengan kemampuan siswa melalui platform digital Quik.
Tes ini berlangsung selama 90 menit per sesi dan dilaksanakan dua kali setahun: formatif di pertengahan tahun untuk evaluasi berkala dan sumatif di akhir untuk penilaian akhir. Hasilnya bukan untuk menentukan kelulusan mutlak, melainkan membentuk portofolio digital yang terintegrasi dengan Kurikulum Merdeka, memberikan gambaran perkembangan siswa secara menyeluruh. Biaya pelaksanaannya gratis untuk sekolah negeri, sementara sekolah swasta mendapatkan subsidi 50% dari APBN. Targetnya adalah mencakup 100% sekolah nasional pada 2027, dengan pilot project dimulai di 10 provinsi pada tahun ini.
TKA Asesmen sebagai Jalan Tengah
TKA unggul karena mampu menyeimbangkan kelemahan pendahulunya. Dahulu, Ujian Nasional (UN) berfokus pada hafalan dan pendekatan sumatif, dijalankan dengan format 100% pilihan ganda sekali setahun, yang memberatkan guru dengan persiapan intensif dan mencatatkan skor nasional 99% lulus dengan biaya Rp 50 miliar. Kini, Asesmen Nasional (AN) beralih ke kompetensi dan karakter, menggunakan 70% esai digital dengan frekuensi satu kali setiap dua tahun, memberikan beban sedang bagi guru dalam analisis, dan mencapai 40% siswa mahir dengan biaya Rp 100 miliar.
Di tengah itu, TKA hadir sebagai jalan tengah dengan fokus pada kompetensi dan karakter secara adaptif. Formatnya unik: 40% adaptif dan 60% esai, diadakan dua kali setahun untuk memastikan evaluasi berkelanjutan. Beban guru menjadi rendah berkat laporan otomatis, menargetkan 70% siswa mahir pada 2027, dan dilakukan dengan efisiensi biaya Rp 80 miliar. Perjalanan ini menunjukkan bagaimana TKA menggabungkan fleksibilitas AN dan ketatnya UN, menciptakan sistem yang lebih seimbang dan mendukung.
Fleksibilitas tinggi menjadi keunggulan pertama. Berbeda dari UN yang kaku, TKA adaptif seperti Tes TOEFL iBT. Siswa dengan kelemahan matematika bisa fokus pada literasi. Hasil simulasi di Jawa Barat menunjukkan peningkatan skor rata-rata 25% dibanding AN. Kedua, integrasi teknologi melalui TKA App (Android/iOS) mendukung siswa di pedesaan dengan mode offline. Mengatasi disparitas akses di mana 70% sekolah di Papua kini terhubung 4G berkat program Palapa Ring.
Ketiga, fokus holistik mencakup karakter via SKM terintegrasi, seperti soal esai tentang “gotong royong mitigasi banjir” yang menilai etika sekaligus penalaran. Data UNESCO 2023 menunjukkan negara dengan asesmen holistik seperti Finlandia memiliki indeks kebahagiaan siswa 20% lebih tinggi. Keempat, TKA meningkatkan keadilan dengan bobot afirmasi 30% untuk siswa dari keluarga miskin, meningkatkan akses ke PTN sebesar 15% berdasarkan data AN 2023.
Implementasi dan Tantangan
Peluncuran TKA dimulai Januari 2025 di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Pelatihan guru via platform Guru Berdaya telah menjangkau 500.000 peserta, sementara monitoring real-time melalui dashboard Kemendikbudristek mencegah kecurangan dengan AI deteksi plagiarisme 99% akurat. Tantangan utama adalah infrastruktur digital di daerah terpencil.
TKA bukan akhir, tapi awal transformasi. Proyeksi Kemendikdasmen menargetkan skor PISA Indonesia naik ke peringkat 50 besar pada 2030. Dari sisi ekonomi, laporan World Bank 2024 menyatakan bahwa setiap 1% peningkatan literasi dapat menambah GDP sebesar 0,5%. Bagi siswa, TKA menjadi tiket emas dengan sertifikat yang diakui SNMPTN dan beasiswa LPDP, membuka peluang pendidikan tinggi.
*)Artikel ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan BKHM Kemendikdasmen RI

