Lebaran (Idul Fitri) tidak hanya sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa, tetapi juga menjadi momen penting dalam memperkuat hubungan sosial, spiritual, dan budaya masyarakat Muslim. Beberapa tradisi lebaran seperti silaturahmi ke guru dan kiai, keliling kampung bersama teman, ziarah ke makam orang tua, serta pemberian angpao Lebaran merupakan ekspresi kearifan lokal yang sarat dengan nilai-nilai agama, sosial, dan ekonomi.
Dengan pendekatan multidisiplin, kita dapat memahami bahwa tradisi-tradisi ini tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme pemeliharaan harmoni sosial, penguatan spiritual, dan distribusi ekonomi yang adil.
Silaturahmi ke Guru dan Kiai
Salah satu tradisi yang masih ada namun mulai memudar adalah silaturahmi ke guru dan ulama. Dahulu, masyarakat selalu memprioritaskan sowan ke para kiai, guru, dan ulama. Selain sebagai bentuk silaturahmi, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk meminta wejangan dan doa.
Dalam perspektif sosiologi agama (Emile Durkheim), silaturahmi kepada guru dan ulama merupakan bentuk penguatan solidaritas sosial. Guru dan ulama dipandang sebagai figur otoritas keagamaan yang berperan dalam transmisi nilai-nilai moral. Dengan mengunjungi mereka, masyarakat tidak hanya menunjukkan penghormatan, tetapi juga memperkuat ikatan antara pemimpin spiritual dan umat.
Dari sudut pandang teologis, tradisi ini sejalan dengan ajaran Islam tentang keutamaan menghormati ulama dan guru. Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan: “Bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.” (HR. Ahmad)
Kunjungan ini juga mencerminkan nilai tawadhu’ (kerendahan hati) dan rasa syukur atas ilmu yang telah diberikan.
Mbarak: Tradisi Silaturahmi Pemuda
Selain bersilaturahmi ke para kiai, guru, sesepuh, dan ulama, para pemuda atau remaja biasanya secara berkelompok mengunjungi tetangga dan sanak saudara. Di Ponorogo, tradisi ini disebut “mbarak.” Salah satu pemuda senior akan memimpin kegiatan ini, menyampaikan maksud silaturahmi, dan menyampaikan kalimat pamit sebagai penutup.
Tradisi berkeliling kampung bersama teman-teman setelah salat Idul Fitri ini merupakan bentuk ritual sosial yang memperkuat identitas komunal (Clifford Geertz). Dalam antropologi, kegiatan ini dapat dilihat sebagai cultural performance, di mana masyarakat mengekspresikan nilai kebersamaan dan gotong royong.
Di beberapa daerah, tradisi ini dikenal sebagai “halal bihalal keliling” atau “sungkem bersama,” di mana masyarakat saling bermaafan dan mempererat hubungan. Hal ini menunjukkan bagaimana agama dan budaya saling berkelindan dalam membentuk praktik sosial.
Islam sendiri menekankan pentingnya memperbaiki hubungan antar manusia (ishlah). QS. Al-Hujurat: 10 menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” Tradisi keliling kampung menjadi sarana konkret untuk merealisasikan nilai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi Ziarah Kubur Menjelang Lebaran
Sebelum atau saat mudik Idul Fitri, masyarakat Muslim umumnya menziarahi makam orang tua atau sanak saudara yang telah wafat. Meskipun secara fikih ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja, namun momentum Idul Fitri sering dimanfaatkan karena menjadi waktu berkumpul di tengah kesibukan pekerjaan.
Ziarah kubur, terutama ke makam orang tua, merupakan bentuk ritual penguatan memori kolektif (Peter Berger). Aktivitas ini tidak hanya bersifat personal tetapi juga mengandung dimensi sosial, di mana masyarakat diingatkan akan kematian dan pentingnya menjaga hubungan dengan leluhur.
Dalam Islam, ziarah kubur dianjurkan sebagai pengingat akan akhirat (HR. Muslim). Namun dalam praktik lokal, ziarah sering disertai dengan tradisi seperti tabur bunga atau pembacaan doa bersama, yang menunjukkan terjadinya akulturasi antara nilai Islam dan budaya setempat (Antropologi Agama – Victor Turner).
Angpao Lebaran: Simbol Kasih dan Edukasi Finansial
Salah satu momen yang paling dinantikan saat kecil adalah pemberian angpao. Sedikit uang yang diberikan saat silaturahmi sangat membahagiakan dan membekas dalam ingatan.
Pemberian angpao kepada anak-anak dan keluarga merupakan bentuk redistribusi ekonomi yang selaras dengan prinsip keadilan dan kepedulian sosial dalam ekonomi syariah. Konsep ini sejalan dengan semangat zakat, infaq, dan sedekah, agar harta tidak hanya berputar di kalangan tertentu (QS. Al-Hasyr: 7). Bahkan ada yang berseloroh, bahwa anak-anak menjadi tulang punggung keluarga saat Lebaran karena perputaran uang yang terjadi menjadi penggerak roda ekonomi.
Dari perspektif sosiologi, tradisi ini memperkuat ikatan keluarga dan solidaritas ekonomi. Angpao, meskipun nominalnya kecil, menjadi simbol kasih sayang dan juga sarana pendidikan finansial sejak dini. Anak-anak tidak dididik untuk meminta-minta, tetapi diajarkan mengenal uang, mengelola keuangan, dan bijak dalam membelanjakannya.
Tradisi Lebaran dan Kearifan Lokal
Tradisi Lebaran seperti silaturahmi ke ulama, keliling kampung, ziarah kubur, dan pemberian angpao bukan sekadar adat istiadat, tetapi merupakan ekspresi kearifan lokal yang memperkaya makna keagamaan. Melalui pendekatan sosiologis, teologis, dan antropologis, kita dapat melihat bahwa tradisi-tradisi ini berfungsi sebagai:
- Penguat solidaritas sosial
- Media transmisi nilai spiritual
- Akulturasi antara agama dan budaya
- Instrumen penggerak roda ekonomi
Dengan demikian, tradisi Lebaran tidak hanya menjaga keberlangsungan nilai-nilai Islam, tetapi juga menjadi sarana pemeliharaan harmoni sosial dan ekonomi umat. Fenomena ini menunjukkan bahwa tradisi keagamaan dalam perayaan Idul Fitri adalah manifestasi dari kearifan lokal yang tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan modern.
Editor: Assalimi