Fikih

Tradisi-Tradisi yang Mempersulit Pernikahan, Harus Dimusnahkan

3 Mins read

Indonesia merupakan negara yang penuh keragaman budaya, tradisi, serta watak orang-orang di setiap daerahnya. Tentu hal ini merupakan karunia dan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat 275,77 Juta penduduk Indonesia.

Sebab keragaman budaya tradisi, watak, serta bahasa yang dimiliki Indonesia jauh lebih beragam dibandingkan dengan beberapa negara lain. Saking uniknya, ada beberapa tradisi di negara Indonesia yang berkaitan dengan pernikahan.

Tradisi di dalam pernikahan ini beragam dan menarik. Tradisi ini sudah terwariskan dari nenek moyang dan leluhur kita terdahulu. Perbedaan daerah memiliki tradisi yang berbeda.

Di daerah Sulawesi, ada “Uang Panaik” untuk memudahkan pernikahan ketika si mempelai pria hendak meminang mempelai wanita. Di daerah Jawa dan Sunda, ada pantangan nikah bagi sang adik atas kakaknya, karena mitologi yang merebak ketika sang adik mendahului kakaknya, maka kakaknya sulit mendapatkan jodoh dan pernikahan sang adik tidak akan mendapat kebahagiaan.

Serta beberapa tradisi unik lain seperti; tidak boleh menikah apabila tidak sesuai dengan pasaran weton atau hitungan Jawa, rumah pasangan yang berhadapan, pernikahan suku Sunda dan Jawa, dan larangan menikahi se-suku. Beberapa kejadian pernikahan di atas terjadi di daerah Jawa dan Suku Minangkabau.

Tradisi-tradisi pernikahan di atas seringkali mempersulit pasangan-pasangan yang hendak menikah apabila mempelai pria melawan pantangan atau mitos tersebut. Uang panaik yang terlalu mahal, ikatan cinta orang Sunda dan Jawa, pernikahan adik yang melangkahi sang kakak, dan lain-lain. Lantas bagaimana Islam memandangnya? Apakah ada dalam Islam larangan seperti itu?

Pandangan Islam tentang Tradisi-Tradisi yang Mempersulit Pernikahan

Demi menjawab pertanyaan demikian, tentu dibutuhkan jawaban yang bijak sesuai dengan syariat Islam. Adapun penjelasan yang lengkap adalah sebagai berikut:

Baca Juga  Pernikahan Dini: Warning Bagi Keluarga Sakinah

Berkaitan tentang tradisi, adat istiadat, di dalam istilah ilmu usul fikih dinamai dengan ‘urf. ‘urf secara bahasa berasal dari kata: عرف – يعرف عرفا

Secara Istilah:

العُرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه، من قول، أو فعل، أو ترك، ويسمى العادة

‘Urf adalah segala sesuatu yang dikenal dan sudah berjalan di masyarakat berupa ucapan, perbuatan, atau kesepakatan dan dinamailah adat istiadat (tradisi).” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, hlm.  89).

Maka setiap yang dinamai adat istiadat, mitologi, budaya, dan keberagaman lain yang sudah berjalan di masyarakat dan sudah dikenal ataupun diakui kesepakatannya, itu termasuk ke dalam ‘urf.

Salah satu ulama usul fikih, Abdul Wahab Khalaf pengarang kitab Ilmu Usul al-Fiqh membagi ‘urf menjadi dua jenis: ‘urf shahih (benar), ‘urf fasid (rusak).

Untuk lebih mendalam, mari kita kaji pemahaman ini dengan menelaah makna kedua jenis ‘urf beserta implementasinya dalam kehidupan. Salah satu contoh ‘urf adalah penyebutan kata walad” bagi anak laki-laki bukan perempuan. Contoh lain dari ‘urf yaitu pemisahan “ikan” dari jenis daging-dagingan.

Urf Shahih (Benar) adalah:

هو ما تعارفه الناس، ولا يخالف دليل شرعيا ولا يحل محرماً ولا يبطل واجباً

Segala sesuatu yang dikenal oleh orang-orang yang tidak menyelisihi syariat, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan hal yang wajib.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, hlm.  89)

Selama tradisi ataupun adat istiadat tidak menyelisihi syariat, tidak mengubah hukum yang haram menjadi halal, dan tidak membatalkan yang wajib, maka ‘urf tersebut dipandang shahih.

Bahkan lebih baik jika terdapat nilai kemaslahatannya. Adapun beberapa contoh ‘urf shahih adalah gotong royong, menjamu tamu dengan baik, dan lain- lain.

Baca Juga  Calon Mertua Menuntut Mahar Tinggi
***

Sementara ‘urf fasid (rusak) adalah:

هو ما تعارفه الناس ولكنه يخالف الشرع أو يحل المحرم أو يبطل الواجب

Segala sesuatu yang dikenal oleh orang-orang, akan tetapi menyelisihi syariat atau menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, hlm.  89).

Tradisi yang rusak, menyelisihi syariat, menghalakan segala aktivitas yang haram, dan membatalkan yang wajib maka hal itu termasuk kedalam ‘urf fasid. Bahkan membawa orang-orang kepada hal yang mafsadat atau madhorot. Adapun beberapa contoh dari ‘urf fasid adalah kegiatan-kegiatan tren jahiliyah yang sudah merebak pada saat ini, seperti perjudian, riba, joget pargoy, dan lain-lain.

Lantas bagaimana Ke-hujjah-an hukum dari ‘urf shahih dan fasid? Apakah ‘urf fasid bisa diterapkan?

Hujjah hukum ‘urf shahih:

أما العرف الصحيح فيجب مراعاته في التشريع وفي القضاء لأن ما تعارفه الناس وما ساروا عليه صار من حاجاتهم ومتفقا ومصالحهم، فما دام لا يخالف الشرع وجبت مراعاته

Adapun ‘urf shahih itu wajib dipelihara dalam syariat sesuai ketetapannya. Karena segala sesuatu yang diketahui orang-orang dan mereka jalani dan menjadikan kebutuhan mereka terpenuhi dan disepakati kemasalahatannya, maka selama tidak menyelisihi syariat, maka diwajibkan untuk memeliharanya.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, Hlm.  90).

Hujjah ‘urf fasid:

وأما العرف الفاسد فلا تجب مراعاته لأن في مراعاته معارضة دليل شرعي أو إبطال حكم شرعي، فإذا تعارف الناس عقدا من العقود الفاسدة كعقد ربوي، أو عقد فيه غرر وخطر، فلا يكون لهذا العرف أثر في إباحة هذا العقد

Maka adapun ‘urf fasid maka tidak diwajibkan untuk memelihara atau menjaganya, karena pada setiap penjagaannya menyelisihi dalil syar’i ataupun membatalkan hukum syariat. Maka jika orang-orang mengenal akad ini yang termasuk akad-akad yang rusak seperti akad riba, atau akad yang menipu dan membahayakan, maka ‘urf ini tidak bisa dijadikan atsar untuk membolehkan akad.” (Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh, hlm. 90).

Baca Juga  Adab Khutbah Jumat
***

Dari dua ke-hujjah-an hukum ‘urf di atas, maka ketika suatu tradisi, adat istiadat jika banyak manfaat, besar kemaslahatannya, dan tidak menyelisihi syariat maka perlu kita pelihara dan dijaga. Namun apabila ‘urf-nya itu menimbulkan banyak kemadaratan, kerusakan, dan hal-hal yang membahayakan, maka tidak bisa dijadikan argumen ataupun landasan untuk dijadikan pijakan dalam prinsip kehidupan.

Lantas bagaimana dengan tradisi yang berkaitan dengan pernikahan tadi, yang meliputi Tradisi pernikahan harus sesuai weton, harus sesama suku, harus ada uang panaik, ataupun pernikahan harus mendahulukan kakak daripada adiknya?

Maka sejatinya tradisi tersebut merupakan ‘urf fasid. Sebab, terdapat kemadaratan di dalam tradisi ataupun adat istiadat yang dibudayakan tadi. Karena menimbulkan kemadaratan, dan bahkan bisa saja salah satu tradisi tadi termasuk kedalam hal-hal yang bersifat takhayyul, bid’ah, dan khurafat. Sementara dalam suatu hadis, Rasulullah Saw bersabda:

لاضرر ولاضرار رواه ابن ماجه والدارقطني وأبوا داود والترمذي

Janganlah membahayakan/memadaratkan diri sendiri, dan jangan pula memadarati orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Daruquthny, Abu Daud dan Tirmidzi).

Maka tidak mengapa jika tidak mengikuti kesepakatan ataupun tradisi yang berjalan ini, karena sejatinya tidak ada larangan berupa nash yang mendasarkan pada tradisi tersebut. sehingga kehidupan menjadi lebih indah, lebih nyaman serta tentram dari keresahan dan kegelisahan remaja yang ingin menikah.

Editor: Yahya

Aeger Kemal Mubarok
11 posts

About author
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *