Pengetahuan tentang proses penyebaran hadits menjadi sangat penting, mengingat rentang waktu antara umat dengan Nabi-nya. Akan tetapi keterbatasan ruang dan waktu tersebut tidak menjadi penghalang tersampainya risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itu karena para Sahabat dan generasi berikutnya (Tabi’in), terus melakukan periwayatan hadits hingga ditemui kitab-kitab hadits yang ada.
Mempelajari sejarah perkembangan hadits, baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya amat diperlukan. Hal itu karena dipandang sebagai suatu bagian dari pelajaran hadits yang tidak boleh dipisahkan. Sungguh gelap jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang mempelajari hadits, tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya.
Tabi’in merupakan orang-orang yang belajar Al Qur’an dan Hadits. Yakni lewat para Sahabat atau merupakan kalangan muslim yang tidak bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Para imam sependapat, bahwa akhir masa tabi’in adalah 150 H. sedangkan akhir masa atba’ at-tabi’in adalah tahun 220 H.
Periwayatan Hadits pada Masa Tabi’in
Pada Tabi’in, Islam telah menyebar ke berbagai daerah, seperti Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 Hijriyyah sampai ke Spanyol. Hal ini di sebabkan keberangkatan para sahabat dalam mengemban amanah memimpin daerah maupun menyebarkan ilmu agama. Para Tabi’in menerima hadits dari para sahabat baik di Masjid, Majlis ‘Ilmi, tempat-tempat pembinaan hadits, maupun mereka mendatangi para sahabat dan belajar darinya. Hadits yang di terima berupa catatan-catatan maupun dalam bentuk hafalan. Pada masa Tabi’in telah muncul pusat-pusat pembinaan hadits.
Di antara para sahabat yang membina hadits di Makkah tercatat nama-nama seperti Muadz bin Jabbal, Harits ibnu Hisyam, Utsman ibn Thalhah dan Utbah ibn Al-Haris. Di antara para tabi’in yang muncul adalah Mujtahid ibn Jabar, Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan, Ikrimah maula ibn Abbas, dan lain-lain (Munzier, 2013: 86-88).
Periiwayatan di Berbagai Negeri
Di Kufah ada sahabat Ali bin Abi Thalib, Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Ibnu Mas’ud. Tabi’in yang muncul di sini ialah Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid al-Nakha’i, Sa’id ibn Zubair al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim Al-Nakha’i, Abu Ishaq al-Sa’bi.
Di Basrah ada sahabat Anas ibn Malik, Ibnu Abbas, Imran ibn Husain, Ma’qal ibn Yasar, Abdurrahman ibn Samrah dan Abu Sa’id Al-Anshari. Tabi’in yang muncul ialah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi dan Hisyam ibn Hasan.
Di Syam ada sahabat Abu Ubaidah al-Jarrah, Bilal bin Rabah, Ubadah ibn Shamit, Khalid bin Walid, dan lain-lain. Tabi’in yang muncul ialah Amr ibn al-Harits, Khair in Nu’aimi, al-Hadrami, Yazid ibn Abi Habib, Abdullah ibn Abi Jafar, dan lain-lain.
Di Maghribi dan Andalus para sahabat yang terjun membina hadits diantaranya Mas’ud ibn al-Aswad al-Balwi, Bilal ibn Haris ibn ‘Ashim al-Muzani, Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi Muid, dan lain-lain. Para tabi’in yang muncul ada Ziyad ibn An’am al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Abi Mansur, al-Mughirah ibn Abi Burdah, dan lain-lain.
Di Yaman ada sahabat Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’arie. Kedua sahabat ini telah dikirim ke daerah ini sejak masa Rasulullah saw. Para abi’in yang muncul disini ialah Hammam ibn Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid.
Di Khurasan ada sahabat Buraidah ibn Husain al-Aslami, al-Hakam ibn Amir al-Ghifari, Ibnu Qasim al-Aslami dan Qasm ibn al-Abbas. Tabi’in yang muncul ialah Muhammad ibn Ziyad, Muhammad ibn Tsabit al-Anshari dan Yahya ibn Sabih al-Mugri.
Kodifikasi Hadist
Timbulnya konflik politik pada Masa Ali r.a. mendorong umat Islam untuk mengadakan kodifikasi hadits untuk menyelamatkan hadits dari kemusnahannya akibat para sahabat yang meninggal karena perang maupun pemalsuannya akibat pergolakan politik tersebut.
Pada abad ke-2 H ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah (Khalifah ke-8 Bani Umayah) mengeluarkan kebijakan untuk melakukan kodifikasi hadits. Amanah ini ia percayakan kepada Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (Gubernur Madinah).
Kemudian Ibn Hazm mempercayakan tugas mulia tersebut pada Muhammad ibn Syihab al-Zuhri yang dianggapnya mumpuni dalam hadits (Munzier, 2013: 88). Maka dimulailah pembukuan hadits pada masa ini, dan muncul kitab-kitab hadits seperti: al-Muwatha’ (karya Imam Malik), al-Maghazi wa as-Siyan (karya Muhammad bin Ishaq), al-Jami’ (karya Abdul Razzaq ash-Shan’any), al-Mushannaf (karya Syu’bah ibn Hajjaj), al-Musnad (karya Imam Syafi’i), dan lain-lain. Pada masa ini hadits-hadits belum disaring (filtrasi).
Para Tokoh Hadist
Tokoh-tokoh hadits pada abad ke-2 H diantaranya ialah Malik bin Annas, Yahya bin Said al-Qaththan, Waki’ bin al-Jarrah, Sufyan ats-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu’bah bin Hajjaj, Abdurrahman bin Mahdy, al-Auza’y, al-Laits, Abu hanifah, Asy-Syafi’i, dan lain-lain.
Pada abad ke-2 H para tabi’in tidak memisahkan fatwa-fatwa daripada para sahabat dan tabi’in. Maka, Muhaditsin pada abad ke-3 H memisahkannya, tetapi hadits shahih, hasan dan dha’if masih bercampur. Pada abad ini pula merupakan puncak penulisan hadits.
Pada mulanya, muhaditsin mengumpulkan hadits yang terdapat di kotanya masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Salah satunya ialah Imam al-Bukhari. Ia mengembara selama ±16 tahun ke berbagai daerah untuk mencari hadits. Pada masa ini pula lahir disiplin-disiplin ilmu yang mengkaji hadits. Seperti Qawa’idul Hadits (kaidah-kaidah hadits), ‘illat al-Hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-peawi hadits.
Munculnya Ilmu Dirayatul Hadist
Ringkasnya, muncul Ilmu Dirayatul Hadits dan Ilmu Riwayatul Hadits.Ishaq ibn Rahwaih merupakan pelopor usaha pentashhihan hadits, diikuti Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i yang kemudian kitab-kitab mereka terkenal dengan nama al-Ushul al-Khamsah (Kitab pokok yang lima) (Shiddieqy, 2009: 61).
Pada masa-masa setelah abad ini, muncul berbagai inisiatif meriwayatkan hadits dengan menuliskan kitab-kitab dengan berbagai tema. Seperti berdasarkan nama Sahabat atau Tabi’in, hadits-hadits tentang fiqhi dan hukum-hukum, dan lain-lainnya. Muncul juga kitab-kitab syarah dari hadits-hadits yang pokok.
Kita wajib mempelajarinya karena aspek historis hadits akan memperkuat eksistensi pengetahuan kita tentang hadits. Seperti apa yang dikatakan oleh Teungku Muhammad Ash-Shiddieqy berkata, sungguh gelap jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang mempelajari hadits, tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangannya.
Editor: Assalimi