“Dalam fenomena tertentu, hijrah cenderung bukan berkemajuan, tetapi justru berkemunduran. Tetapi bukan berarti salah, karena itulah tren. Sementara Muhammadiyah sudah punya garis bahwa tren yang dibangun oleh Muhammadiyah adalah tren yang berkemajuan” tegas Pak Tafsir Ketua PWM Jateng.
Saya sebagai korban adanya tren hijrah itu, mlongo ketika mendengar podcast kajian di Suara Muhammadiyah. Menurut Pak Tafsir, celana cingkrang dan cadar bukanlah tren Muhammadiyah. Memang benar sangatlah benar. Namun fenomena hijrah hari ini menggiring aktivis-aktivis Muhammadiyah untuk melakukan hijrah.
Tentu mereka-mereka yang melakukan hijrah punya berbagai alasan dan latarbelakang yang kompleks. Kita tidak sepenuhnya mengetahui alasan mereka melakukan hijrah fisik dengan mengganti tren baju kurung dan kerudung besar. Barangkali dompet mereka sedang tebal sehingga bisa membeli baju-baju yang tebal dan kelewat mahal. Atau bisa jadi karena adanya diskon besar-besaran di Shopee sehingga baju-baju kurung tampak murah.
Yah, penampakan semacam itu merupakan bagian dari strategi marketing. Tidak berhenti pada busana yang di cap syar’i sebagai lambang hijrah. Beberapa produk kecantikan dan kebersihan pun tidak ketinggalan. Seperti shampo yang diberi label hijab, merek pelembab yang cantiknya halal, hingga pasta gigi syar’i yang mengandung siwak.
Hal ini, turut meramaikan jagat pemasaran agar hijrah disebut totalitas. Banyak juga konsumen yang sedang gencar-gencarnya hijrah, mengganti barang-barang kecantikan dan kebersihan yang levelnya syar’i dan halal.
Harapan ukhti-uhti dan akhi-akhi melakukan hijrah adalah dirinya menjadi lebih baik. Entah baik dari dirinya yang dulu ataupun lebih baik daripada orang lain. Sangking tidak puasnya untuk menjadi lebih baik (islami), para hijraher ini terus mendorong pabrik-pabrik untuk memproduksi barang-barang yang berlabel syar’i dan bernada hijrah. Dengan fenomena demikian, apakah hijrah masih disebut kemunduran?
***
Tidak, menurut saya semakin gecarnya tren hijrah, maka semakin terbukanya peluang Islam tampil di seantero dunia. Bagaimana tidak? Tren hijrah itu tidak hanya memengaruhi muslim-muslim pinggiran, tetapi artis-artis papan atas yang suka ngiklan dan punya pengaruh luar biasa terhadap masyarkat.
Tidak lupa tokoh-tokoh penting lainnya, seperti politisi-politisi ataupun pemerintah daerah yang punya power dalam mempengaruhi masyarakat. Sehingga tren hijrah ini membuka peluang pasar yang sangat tinggi dan juga keadilan gender dalam berbagai sektor untuk menuntaskan permasalahan ekonomi.
Tidak hanya itu, tren hijrah merupakan tren berkemajuan yang menjadi starting-point of the islamic era. Betapa banyaknya hijraher yang memanfaatkan berbagai media sosial untuk bermuamalah dan berdakwah. Tentu ini fenomena yang sangat berkemajuan. Berkemajuan bukan hanya melakukan diskusi-diskusi singkat tanpa aksi nyata.
Tapi berkemajuan merupakan keseimbangan ilmu dan amal. Mereka mengamalkan ilmu mereka dengan menjadi pedagang online, guru online, hingga pendakwah online.
Tren hijrah ini pun tidak hanya berkutat pada persoalan fisik. Tren hijrah ini juga memperbaharui masalah akhlak. Betapa banyak dari kalangan hijraher yang menghakimi sikap A lebih baik dari pada B. Alih-alih mengkapling-kaplingkan akhirat orang lain.
Tentu ini juga fenomena berkemajuan dalam perihal ingat-mengingatkan, agar yang dikapling-kaplingkan akhiratnya, sadar lalu ikut-ikutan memperbaiki akhlaknya. Terlebih mengingatkan soal target-target literasinya.
Ini menjadi salah satu kesempatan untuk mencapai kejayaan Islam kembali. Semangat muda-mudi di Indonesia yang sedang mengebu-gebu mencari pemuasan spiritual. Ilmu dan ekonomi bisa dimaksimalkan dengan menggelorakan tren hijrah berkemajuan di berbagai media sosial.
Memanfaatkan teknologi untuk membaca dan mendengar seperti yang sudah dilakukan banyak hijraher. Tidak hanya Google dan Youtube, Spotify pun tidak mau ketinggalan sebagai sarana hijrah masa kini.
Kita tidak usah mempermasalahkan soal pakaian syar’i yang terjulur sampai ke tanah, ataupun soal cadar yang banyak diminati aktivis muhammadiyah. Yang perlu kita galakkan adalah bagaimana tren hijrah ini menjadi lebih berkemajuan lagi.
***
Bagaimana caranya? Tentu kita tau. Kita harus bisa menganalisis kebutuhan banyak orang. Mereka-mereka butuh sesuatu hal yang mampu meredakan permasalahan yang sedang dihadapi. Sesuatu hal ini yang akan menjadi keberimanan seseorang. Tentu trik ini tidak berhenti di sini.
Kita juga harus jeli dalam menghitung populasi di Indonesia saat ini. Dari 268.2 miliyar mana yang lebih banyak. Misalkan saja usia remaja produktif yang lebih banyak kerena Indonesia mengalami bonus demografi. Maka apa yang dekat dengan permasalahan mereka?
Usia remaja hingga dewasa merupakan usia yang rentan terdampak kegalauan. Sukar rasanya melakukan sesuatu dengan pamrih. Memang masa-masa remaja melihat hubungan sebagai ikatan-ikatan transaksional dan mereka menginginkan sesuatu secara pragmatis namun idealis. Maka yang dapat kita berikan adalah soal laba yang didapatkan secara instan tapi tetap pada prinsip.
Seperti tren hijrah yang dicap kemunduran tapi berkemajuan ini. Laba yang dijanjikan adalah harapan yang profan. Harapan yang sebenarnya tidak bisa kita dapatkan secara instan. Namun, semua orang mencita-citakannya. Sehingga tren hijrah fisik ini banyak diminati.