Oleh: Ikhsan Nur Sidik*
-Dakwah- Kesejarahan dari nama Muhammadiyah, merupakan pembuktian atas kiblat dakwah yang tak kunjung usai. Lekangnya zaman tak membuat gentar riak dakwah dari gelanggang samudara ilmu para cendikiawan muslim Muhammadiyah melonggar.
Kiprahnya membangun bangsa, dengan semangat Ruh Al-Jihad dan Ruh Al-Ikhlas, telah mengantarkan Indonesia menuju bangsa yang berkemajuan. Kepentingan untuk mencerdaskan –purifikasi dan tajdid– kehidupan bangsa, menjadi garapan Muhammadiyah sejak mufakat berdirinya.
Para pemikir di Muhammadiyah tentunya telah mencanangkan dakwah Muhammadiyah yang dilandasi semangat mencerahkan–ilmu pengetahuan. Para punggawa dan penjaga ikrar intelektual yang digagas oleh K.H Ahmad Dahlan atas spirit Islam yang berkemajuan menuntut Muhammadiyah agar dinamis dalam menyikapi zaman.
Lantas siapa yang disebut pemikir atau cendekia di tubuh Muhammadiyah sendiri? Penulis beranggapan bahwa para cendekia Muhammadiyah adalah mereka yang dipredikasi dari karir intelektual dan gagasannya menyangkut Muhammadiyah, dia merupakan cendekia Muhammadiyah.
Namun yang paling identitatif adalah mereka yang tersatu dalam ikatan ideologis menjadi tameng yang menjaga kondusifitas dakwah. Misi pembaharuan dakwah agar tak kunjung usang oleh mainstremisme dan statisitas gerakan menjadi isu utama bagi para punggawa pikiran Muhammadiyah. Paham tajdid sebagai nafas gerakan menjadi langgam dialektis dalam hubungan tringulasi antara ideologi, institusi, dan ke-tokoh-an.
***
Relasi dari ketiga elemen inilah yang menggelorakan dakwah Muhammadiyah di setiap bagian rumpun nusantara. Ideologi sebagai mercusuar dari paham ke-Islaman yang diinspirasi oleh etos kerja Wal-Asr dan etika perjuangan Al-Ma’un. Membawa Muhammadiyah pada misi Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin dengan berwawasan Islam berkemajuan.
Institusi sebagai domain gerakan dan pelembagaan ide serta gagasan Muhammadiyah, terus menyemai bibit-bibit unggul yang siap berjuang demi persyarikatan, umat dan bangsa. Kehadiran ribuan lembaga pendidikan menjadi camp penyedia barisan intelektual muslim yang membawa semangat pembaharuan.
Ketokohan dalam Muhammadiyah, menjadi penggerak, pemimpin serta inisiator dakwah, menghidupkan wilayah-wilayah yang gersang. Membimbing umat, menjadi teladan dan berkorban untuk kepentingan masyarakat luas adalah sikap-sikap yang tergerus dalam hidup para tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam menyampaikan pesan-pesan Islam.
Titik maksimal saat bermunculannya Pimpinan Ranting (PR), Pimpinan Cabang (PC) serta Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah tidak lepas dari adanya relasi dari elemen-elemen dakwah ini. Hilangnya atau pasifnya salah satu elemen dapat mempengaruhi efektifitas dakwah yang berlangsung.
***
Setiap aktivitas dakwah, hendaknya diselenggarakan dengan modal awal yang tercukupi. Setidaknya ketiga elemen tadi diperlukan sebagai kekuatan dalam menciptakan kondusifitas dakwah.
Dapat dicontohkan dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pondok Shabran pasca lulusnya seorang mubaligh yang diabdikan ke daerah pelosok di deretan kawasan Indonesia, mengalami kesulitan. Tatkala mubaligh yang ditempatkan di daerah yang notabene Muhammadiyah belum berkembang baik secara kelembagaan maupun person yang belum memiliki apa-apa.
Sebagaimana cerita-cerita yang penulis dengar, bahwa kondisi tersebut membawa mubaligh pada situasi penuh kebingungan. Apalagi jika dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang heterogen. Kondisi tersebut membawa mubaligh pada ambang pasifitas dan alienasi.
Hal ini dapat berakibat pada terbuang sia-sianya segala bentuk akomodasi. Belum lagi dengan hari-hari yang dilalui oleh Mubaligh yang terpaksa berada dalam tugas namun mengalami kebingungan selama pengabdiannya. Apalagi jika kapasitas pemahaman ideologi yang tidak mempuni, akan berefek bumerang bagi persyarikatan Muhammadiyah.
Munculnya tudingan miring karena sikap dari pemahaman yang keliru atau bahkan timbulnya satu interpretasi dari Muhammadiyah seperti Muhammadiyah Wahabi, Muhammadiyah Salafi, Muhammadiyah Liberal, dan sebagainya telah membuat stigma kuat pada Muhammadiyah yang berakibat pada inklusifitas Muhammadiyah tercoreng di tengah masyarakat.
***
Kemudian penulis melihat satu kebiasaan di Muhammadiyah yang akhir-akhir ini tengah menjadi trend, tentang profilisasi para tokoh-tokoh di Muhammadiyah. Fenomena tersebut dapat dijumpai dari serangkaian usaha untuk memviralkan adagium-adagium dari tokoh Muhammadiyah itu sendiri.
Tidak bisa dimungkiri, bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi spirit yang membawa semangat optimisme atas terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Amat pentingnya ketokohan sebagaimana tradisi yang dihidupkan oleh saudara Muhammadiyah, yaitu Nahdhatul Ulama (NU) yang terkesan sangat taat bahkan tak jarang para Syeikh, Kyai, dan Ajengan mereka dijadikan sebagai preferensi utama dalam gerakannya.
Meski kebiasaan ini tidak populer di Muhammadiyah, namun perlu disadari bahwa banyak amal usaha di Muhammadiyah kadang terbengkalai selepas patron pengerakanya (Tokoh) tersebut wafat atau berpindah tempat. Maka amat penting terutama para ulama, cendikia, dan pemimpin di Muhammadiyah yang terpandang memiliki perhatian lebih untuk menelurkan gagasannya pada orang pilihannya. Tanpa menjadikannya fanatik buta, inovasi dari usaha penokohan adalah melahirkan penerus yang lebih baik dari pendahulunya.
Maka proyek dari tringulasi gerakan ini adalah menciptakan suasana dakwah yang Rahmatan Lil Alamin. Berwawasan Islam yang berkemajuan dengan etos Wal Asri dan etika perjuangan yang dilandasi semangat dari teologi Al-Maun. Dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menciptakan negara yang baldatun thayibatun wa rabbun ghafur.
*Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran, Kabid Kader PC IMM Sukoharjo 2019