Tugu peti mati di Jakarta berkait dengan kematian korban pandemi dipandang tidak efektif dan operatif, bahkan hanya terkesan atraktif belaka. Apalagi sesudah enam bulan merajalela, pandemi tidak menampakkan tanda-tanda menghilang, namun justru semakin liar dan tak terkendali. Maka ini menjadi pertanyaan yang penting dan mendesak untuk dijawab: untuk (si)apa tugu peti mati itu dibangun?
Memahami Propaganda Kematian
Dalam bukunya yang berjudul Penjahat Gaya (Orde) Baru: Ekplorasi Politik dan Kriminalitas (Yogyakarta: LKiS, 2000), James T. Siegel menjelaskan bahwa nasionalisasi kematian yang ditunjukkan lewat Petrus (penembakan misterius) adalah cermin dari kegagalan pihak-pihak yang sedang berkuasa untuk mengontrol ‘pemberontakan’ dari sebagian rakyatnya.
Rakyat yang selama ini suara dan kepentingannya selalu diabaikan, bahkan dihilangkan dari pikiran. Rakyat justru dianggap sebagai musuh yang berbahaya dan mengancam sesamanya sehingga layak dan perlu diberi pelajaran. Karena itu, melalui Petrus, ‘shock therapy’ (terapi kejut) diberikan agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama dan mengurangi jatuhnya korban yang lebih besar.
Hanya yang menjadi masalahnya, hal itu dikerjakan secara diam-diam dan tersembunyi, ‘di bawah tanah’. Dengan kata lain, tidak ada payung hukum yang menaunginya, bahkan dibiarkan begitu saja tanpa ada yang menggugatnya. Maka tak heran jika Siegel menyebut para korban yang menjadi target atau sasaran Petrus mengalami ‘kematian dua kali’. Artinya, sesudah dibunuh dengan keji, mayat mereka dibuang di pinggir jalan misalnya, supaya ditonton banyak orang.
Dalam kerumunan tontonan itu, mereka yang kebanyakan bertato di tubuhnya itu dapat dengan mudah dikenali sebagai ‘gali’ atau ‘preman’ yang kerap dituduh melakukan banyak kejahatan. Bahkan sesama dari mereka yang masih dapat berkeliaran dan kebetulan berada dalam kerumunan itu dapat diramalkan akan mendapat giliran selanjutnya. Itulah ‘tontonan’ yang di tahun 1980-an sempat menjadi viral lantaran mampu membuat banyak orang takut, khususnya bagi siapapun yang bertato.
Gagalnya Tugu Peti Mati
Ketakutan akan kematian akibat Petrus di masa lalu tentu berbeda intensi dan pretensinya dengan tugu peti mati di atas. Di masa pandemi ini, ketakutan yang diintensikan melalui hal itu tampak macet dan gagal untuk membuahkan pretensi yang diharapkan. Akibatnya, tugu semacam itu hanya sekadar ‘numpang lewat’ seperti layaknya sebuah iklan di televisi.
Tak ada yang menontonnya dengan penuh perhatian, bahkan tak jarang diabaikan dengan mencari tontonan lain yang lebih seru dan mengasyikkan. Namun, patut dicatat dengan jeli dan waspada bahwa kematian yang dipertontonkan di depan publik pernah menjadi bagian dari sejarah bangsa yang kelam dan belum terpecahkan hingga kini.
Kematian yang terjadi sepanjang tahun 1965-1966 misalnya, adalah jenis pembantaian massal yang telah banyak dikaji. Namun ia steril dari eksekusi meski ada sejumlah upaya rekonsiliasi. Salah satunya, seperti telah dikerjakan Jess Melvin di Aceh dan dibukukan dengan judul The Army and The Indonesian Genocide – Mechanics of Mass Murder (London: Routledge, 2018).
***
Bahkan lewat film dokumenter, yang berjudul ‘Jagal’ (2012) dan ‘Senyap’ (2014), Joshua Oppenheimer telah mempertontonkan kekejaman yang terjadi di Medan, dan Sumatera Utara pada umumnya, berdasar kesaksian para pelakunya. Sementara Pipit Rochijat sudah sejak awal memperingatkan, lewat tulisannya yang berjudul ‘Am I PKI or non-PKI’ (Indonesia 40, October 1985). Pokok permasalahannya bukan masalah ‘PKI atau bukan PKI’, tetapi politik kematian yang direkayasakan untuk menciptakan ingatan akan ketakutan secara berlebih-lebihan.
Mengapa? Sebab ingatan semacam ini bukan hanya membuat para korbannya menjadi takut, melainkan membuat orang lain untuk ikut-ikutan menjadi takut. Jadi, bukan saja mereka yang mengalami, bahkan menyaksikan, peristiwa 1965-1966 itu yang terdampak, akan tetapi yang sekadar membaca, mendengar, dan menonton dari beragam cerita tentang pembantaian itu menjadi bisu dan kelu.
Tak heran jika tidak mudah bagi mereka untuk melupakan apa yang terjadi, entah sebagai korban bahkan pelaku. Bahkan hanya dari bunyi seperti ‘kreg, kreg, kreg’ saja, seseorang yang di tahun 1965-1966 mendengarnya dari truk-truk yang mengangkut orang-orang di desanya lantaran dituduh berkaitan dengan PKI, mudah menjadi trauma sedemikian rupa. Apalagi Usamah yang menulis di Majalah Horison (No. 8, Tahun IV, Agustus 1969) dengan judul ‘Perang dan Kemanusiaan’ tetap tidak dapat melupakan apa yang telah dilakukannya. Meski dia hanya menjadi pelapor bagi orang-orang yang diduga berhubungan dengan PKI, termasuk kerabat dan tetangganya sendiri.
Mempertanyakan Kembali Konteks Tugu Peti Mati
Jadi, jika tugu peti mati di atas hanya menjadi simbol semata, apakah hal itu sama dengan pendirian Monas yang hingga kini hanya menjadi kawasan wisata dan olahraga? Dibanding patung Pembebasan Irian Barat, Monas, sebagaimana dikaji oleh Benedict Anderson dalam bukunya berjudul Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: MataBangsa, 2000), tidak lebih dari sekadar kartun ‘Doyok’ yang paling populer di koran Pos Kota lantaran hanya menggiring para pembacanya untuk menjadi ‘konyol’. Seperti Doyok yang bertampang ‘udik’, bahkan ‘norak’, atau tidak berbuat sama sekali? Dan jangan-jangan, tugu peti mati itu tidak ada bedanya dengan kartun ‘Doyok’?
Menarik bahwa bau kematian yang diupayakan lewat tugu peti mati tidak terlalu berdampak apapun bagi masyarakat di Jakarta. Padahal bau semacam itu tidak saja membuat bulu kuduk menjadi merinding, namun juga menghasilkan imajinasi yang liar dan tak terkendali.
Maka, masuk akal jika orang sudah tidak takut lagi pada pandemi karena merasa ia bukan ancaman, melainkan intrik untuk menyembunyikan apa yang terjadi. Inilah sesungguhnya akibat dari pengabaian, bahkan pembelokan beragam masalah, yang ditunjukkan oleh semrawutnya penanganan selama pandemi.
Mulai dari istilah hingga data dan fakta tentang pandemi, bukan memperlihatkan stabilitas dalam berpendapat, tetapi justru malah membalikkan punggung terhadap pandemi yang sudah merajalela selama 6 bulan. Maka, pertanyaan yang perlu ditanggapi adalah masih adakah pengetahuan yang tersisa untuk menggaungkan bahwa tugu peti mati itu bukan merupakan jimat atau mantra penolak bala?