Fikih

Tuhan tidak Pemarah, Memakmurkan Masjid Bisa dari Rumah

5 Mins read

Di masa pandemi ini, penyelenggaraan shalat di masjid diharuskan memenuhi protokol kesehatan yang ketat, di antaranya adalah mengatur jarak saf. Hal itu mengakibatkan daya tampung masjid berkurang. Timbul pertanyaan di masyarakat, bolehkah mengerjakan shalat di luar masjid atau di lokasi lain selain masjid? Apakah shalat tidak di masjid membuat Tuhan menjadi marah?

Pada prinsipnya shalat idealnya dikerjakan di masjid. Namun demikian, apabila ada keperluan yang mendesak maka shalat dapat dilaksanakan tidak hanya di masjid, tetapi boleh di lokasi lain, seperti di musala, langgar, tanah lapang, halaman, gedung pertemuan, rumah, ruangan kosong yang telah dipersiapkan untuk tempat ibadah atau tempat-tempat luas lain yang layak.

Hal ini, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, didasari oleh beberapa alasan. Lafal perintah shalat yang bersifat umum tanpa mensyaratkan shalat hanya di satu tempat. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Jumu’ah (62) ayat 9,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ .

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Meluruskan Makna Masjid

Kata “masjid” secara etimologi memiliki arti tempat sujud. Dengan demikian, kata “masjid” pada hakikatnya tidak terbatas pada masjid yang berupa bangunan yang khusus untuk salat semata. Tetapi di tempat manapun yang dapat dilakukan shalat (sujud) maka dapat difungsikan sebagai masjid. Dalam sebuah hadis disebutkan,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ ]رواه الحاكم.

Dari Abī Sa’īd al-Khudrī (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk shalat) kecuali jamban dan kuburan .” [HR. al-Ḥākim].

Perluasan makna atas lafal “masjid” di atas diperkuat oleh perbuatan sahabat Muṣ’ab bin ‘Umair tatkala menjadi utusan Rasulullah ke Madinah setelah Baiʻat al-‘Aqabah. Dalam keterangan yang dinukilkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitabnya Ṭabaqāt al-Kubrā, disebutkan Muṣ‘ab pernah mendirikan shalat berjemaah di rumah Sa‘ad bin Khaiṡamah,

…فَكَتَبَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْذِنُهُ أَنْ يُجَمِّعَ بِهِمْ. فَأَذِنَ لَهُ وَكَتَبَ إِلَيْهِ: انْظُرْ مِنَ الْيَوْمِ الَّذِي يَجْهَرُ فِيهِ الْيَهُودُ لِسَبْتِهِمْ فَإِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَازْدَلِفْ إِلَى اللَّهِ فِيهِ بِرَكْعَتَيْنِ وَاخْطُبْ فِيهِمْ. فَجَمَّعَ بِهِمْ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ فِي دَارِ سَعْدِ بْنِ خَيْثَمَةَ وَهُمُ اثْنَا عَشَرَ رَجُلا. فَهُوَ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ فِي الإِسْلامِ جُمُعَةً

Baca Juga  Matan: Ringkas, Padat, Tapi Penting

“…Muṣ‘ab kemudian menuliskan surat kepada Rasulullah untuk meminta izin kepada beliau agar bisa mengumpulkan kaum Anshar yang telah masuk Islam untuk mendirikan salat. Rasulullah pun mengizinkannya dan menuliskan perintah untuk Muṣ‘ab: cermatilah bagaimana persiapan kaum Yahudi untuk beribadah Sabat. Tatkala matahari tergelincir (masuk waktu zuhur) bersegeralah engkau menunaikan salat Jumat menghadap Allah dan berkhutbahlah. Maka Muṣ‘ab mengumpulkan para kaum Anshar di rumah Sa‘ad bin Khaitsamah sebanyak dua belas orang dan itulah salat Jumat pertama kali yang didirikan di Madinah.” [Ibn Saʻad, III: 110].

Shalat yang dilaksanakan di masjid dalam keadaan seperti sekarang ini dapat menimbulkan kesulitan karena dituntut adanya pengetatan protokol kesehatan, antara lain pembatasan jumlah jemaah akibat dari perenggangan saf. Sementara itu, salah satu sifat agama Islam adalah selalu menghindarkan dari kesulitan dan kesempitan. Dalam surah al-Hajj (22) ayat 78 disebutkan,

… وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ …

“…Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”

Majelis Tarjih dan Tajdid melalui laman resminya menyebut bahwa dalam sejarah, memindahkan lokasi salat hakikatnya pernah diperbolehkan oleh Rasulullah kepada seorang sahabat bernama ‘Itbān yang meminta izin khusus kepada Nabi saw untuk menjadi imam di rumahnya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī,

عن عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ الأَنْصارِيَّ، ثُمَّ أَحَدَ بَنِي سَالِمٍ، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي لِقَوْمِي بَنِي سَالِمٍ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: إِنِّي أَنْكَرْتُ بَصَرِي، وَإِنَّ السُّيُولَ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ مَسْجِدِ قَوْمِي، فَلَوَدِدْتُ أَنَّكَ جِئْتَ، فَصَلَّيْتَ فِي بَيْتِي مَكَانًا حَتَّى أَتَّخِذَهُ مَسْجِدًا، فَقَالَ أَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَغَدَا عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ مَعَهُ بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ، فَاسْتَأْذَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَذِنْتُ لَهُ، فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ؟، فَأَشَارَ إِلَيْهِ مِنَ المَكَانِ الَّذِي أَحَبَّ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ، فَقَامَ، فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ ]رواه البخاري.[

“Dari ‘Itbān bin Mālik al-Anṣārī, dia berkata, saya menjadi imam shalat kaum saya, Banī Sālim. Lalu saya temui Nabi saw, saya tanyakan kepada beliau, saya tidak bisa terima penglihatan saya, sementara banjir menghalangi rumah saya dengan masjid kaum saya, sungguh saya ingin sekali engkau datang ke rumah saya, engkau tunaikan salat di rumah sayadi tempat yang akan saya jadikan sebagai masjid.Nabi saw menjawab, insya Allah saya datang. Pagi menjelang siang yang memanas Nabi saw bersama Abu Bakar menemui saya. Nabi saw mohon izin masuk dan saya berikan izin. Beliau tidak duduk sampai berkata, dimana engkau ingin saya tunaikan shalat di rumahmu? Kepada beliau saya tunjukkan tempat yang saya ingin beliau salat. Lalu Rasulullah saw berdiri untuk salat. Kami berbaris di belakangnya. Beliau tutup salat dengan salam. Kami pun membaca salam.” [HR. al-Bukhārī].

Baca Juga  Jangan Takut! Jenazah Pasien COVID-19 Sudah ada Tata Cara Mengurusnya

Berdasarkan hadis di atas, dapat diketahui bahwa alasan ‘Itbān meminta keringanan adalah karena adanya kesulitan yaitu gangguan mata dan adanya hujan yang menyebabkan banjir. Sementara ancaman pandemi Covid-19 tidak lebih ringan daripada alasan yang dikemukakan oleh ‘Itbān dan direstui oleh Rasulullah saw.

Dengan demikian, menambah lokasi pelaksanaan shalat di selain masjid seperti musala, langgar, tanah lapang, halaman, gedung pertemuan, rumah, ruangan kosong yang telah dipersiapkan untuk tempat ibadah atau tempat-tempat luas lain merupakan hal yang diperbolehkan dikarenakan adanya kemaslahatan (al-ḥājah) yang menuntutnya dan adanya masyaqqah melaksanakannya di tempat terpadu yang biasa dilakukan.

Ketika tingkat bahaya pandemi Covid-19 ini telah dinyatakan mengalami penurunan di beberapa daerah oleh pihak yang memiliki otoritas, maka kegiatan ibadah berjemaah pun dapat dilakukan kembali meskipun dengan menerapkan serangkaian protokol kesehatan yang ketat sebagai bentuk kehati-hatian dan tetap berupaya mencegah penyebaran wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan kaidah-kaidah fikih,

الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Kemudaratan dibatasi sesuai dengan kadarnya.” [Al-Asybāh wa al-Naẓā’ir oleh al-Suyūṭī, h. 84].

إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اتَّسَعَ وَإِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ

“Segala sesuatu, jika sempit maka menjadi luas, dan jika (kembali) luas maka menjadi sempit.” [Muḥammad az-Zuḥailī, al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah, I: 272].

اَلْأَمْرُ إِذَا تَجَاوَزَ عَنْ حَدِّهِ اِنْعَكَسَ اِلَى ضِدِّهِ

“Segala sesuatu apabila melampui batas, maka hukumnya berbalik pada sebaliknya.” [Al-Asybāh wa al-Naẓā’ir oleh al-Nu’mān, h. 72].

Tuhan Ramah, bukan Marah

Di sisi lain, dalam Islam dikenal konsep Tauhid Rahamutiyah. Tauhid Rahamutiyah merupakan penegasan sifat Allah sebagai Tuhan yang maha baik, bukan Tuhan yang suka marah. Adalah Ustadz Hamim Ilyas, dalam bukunya Fikih Akbar menjelaskan bahwa Tauhid rahamutiyah yang menjadi dasar ajaran-ajaran itu dirumuskan dari al-An’am, 6: 12:

قُلْ لِّمَنْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلْ لِّلّٰهِ ۗ كَتَبَ عَلٰى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۗ لَيَجْمَعَنَّكُمْ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ لَا رَيْبَ فِيْهِۗ اَلَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi.” Katakanlah: “Kepunyaan Allah.” Dia telah “menetapkan” atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orangorang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman”.

Dalam ayat itu Allah menyebut “penetapan” rahma yang menjadi kualitas diri-Nya dengan menggunakan istilah kataba yang arti asalnya adalah menulis. Kemudian dalam pemakaian bahasa istilah itu juga digunakan untuk pengertian menetapkan (itsbat), menentukan (taqdir), mewajibkan (ijab), mengharuskan (fardl) dan tekad kuat (‘azm).

Sesuai dengan penggunaaannya yang variatif, menurut keterangan Ustadz Hamim Ilyas, para mufasir memberikan pemaknaan yang tidak sama kepada kata kataba dalam ayat tersebut. Az-Zamakhsyari dan Muhammad Abduh memberinya arti mewajibkan (awjaba). At-Thabari, Jalaludin dan Baghawi memberinya makna memutuskan (qadla). Sementara Abu Su’ud menggabungkan dua makna itu sekaligus, memutuskan dan mewajibkan. Adapun al-Baidlawi mengartikannya dengan mengharuskan (iltazama).

Rahma (rahmah) yang ditetapkan Allah menjadi sifat dasar-Nya itu pengertiannya adalah kelembutan yang mendorong untuk memberikan kebaikan kepada yang dikasihi.

Baca Juga  Bolehkah Jemaah Haji Jamak-Qashar Shalat Terus-Menerus?

Dari penjelasan ayat di atas, dapat dirumuskan bahwa tauhid rahamutiyah adalahkepercayaan bahwa Allah yang Maha Esa telah wewajibkan diri-Nya sendiri memiliki sifatdasar rahma dalam aktualisasi semua kapasitas, asma dan sifat-Nya.

Jadi dalam tauhid itudipercayai bahwa Allah menjadi Ilah, Rab, Malik, ‘Aziz, Muntaqim (Maha Menghukum) dan pelaksanaan aktualisasi asma dan sifat fi’liyah yang lain berdasarkan cinta kasih. Bukan berdasarkan kebencian atau kemarahan dan kekuasaan.

Tidak seperti yang dipahami oleh jamak umat Islam saat ini, sebenarnya Tauhid itu menggambarkan bahwa Allah Swt sendiri memiliki sifat dasar rahma dalam aktualisasi semua kapasitas, asma dan sifat-Nya, bukan pendendam dan pembenci.

Dari konsep Tauhid Rahamutiyah ini, bisa kita simpulkan bahwasannya prinsip monoteisme (ketauhidan) Islam ini berbentuk monoteisme etis yang menggambarkan perwujudan Tuhan tidak suka marah, yang baik kepada semua manusai dan mengharapkan timbulnya kehidupan yang baik juga di segala lini kehidupan.

Menurut Ustadz Hamim Ilyas, Q.S. at-Taubah, 9: 18 menegaskan bahwa hasil pemakmuran masjid oleh mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan hanya takut kepada Allah adalah menjadi orang-orang yang mendapatkan petunjuk kepada kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan (haq) dan kebenaran yang sesuai kenyataan (shawab).

Dalam Q.S. al-‘Ashr, Allah juga menegaskan bahwa kebenaran membebaskan manusia dari kerugian berupa kehancuran dan keburukan.

Pemakmuran masjid yang menghindarkan kehancuran dan keburukan dalam situasi darurat Covid-19 sekarang adalah dengan pembatasan sosial, penyediaan prasarana dan sarana yang memadai untuk penanggulangan wabah, dan memberi bantuan biaya hidup kepada mereka yang kehilangan pendapatan karena penyebaran wabah yang belum berhasil dikendalikan.

Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *