Pada tanggal 8 Desember 2024, secara mengejutkan rezim Rezim Assad –yang dikenal juga sebagai Bashar Al-Assad— tumbang setelah berkuasa selama 54 tahun di Syria. Kejatuhan rezim Assad dipicu oleh serangan ofensif dari beberapa kekuatan oposisi bersenjata yang selama ini menguasai beberapa daerah pinggiran Syria, dipimpin oleh Hay’ah Tahrir Al-Shams (pecahan dari Al-Qaeda yang dulunya bersatu di bawah Front Nusra) dan milisi-milisi lain yang sudah berperang melawan Rezim Assad sejak Revolusi Musim Semi Arab tahun 2013.
Kejatuhan Rezim Assad ini menandai episode baru dalam perkembangan geopolitik di Bumi Syam yang sudah sejak beberapa tahun terakhir cukup panas dan tidak menentu. Segera setelah rezim Assad jatuh, Israel memobilisasi angkatan daratnya ke wilayah Syria, mengebom fasilitas militer Syria, dan membatalkan sepihak perjanjian tapal batas negara 1974. Di sisi lain, Turki dan negara-negara Eropa mendiskusikan kemungkinan kembalinya pengungsi Syria terutama di wilayah konflik. Pemerintah baru juga segera melakukan transisi dengan mengangkat Ahmad Al-Bashir, perdana menteri pemerintahan oposisi di Idlib untuk menjadi perdana menteri sementara.
Sejak satu dekade silam, perbincangan kita tentang Syria sering dikaitkan dengan pandangan-pandangan tertentu yang sempit. Misalnya dengan mengaitkan Syria dengan Syiah, membesar-besarkan bahaya ‘Islam Radikal’, hingga menganggap rezim Assad sebagai ‘pahlawan perlawanan terhadap Barat’. Hal ini terjadi karena pandangan yang terlalu menekankan ‘geopolitik’ tanpa pemahaman yang mendasar tentang politik Syria dan Timur Tengah pada umum.
Saya mengidentifikasi beberapa kesalahpahaman tentang Syria yang (mungkin) pernah kita jumpai, dan agak sering beredar setelah jatuhnya Assad baru-baru ini:
1. Syria adalah Negara Syiah
Seringkali kita mendengar anggapan bahwa Syria adalah negara syiah, karena dipimpin oleh keluarga Assad, yang notabene berlatarbelakang Syiah Alawi dari Qardaha, Latakia. Namun, faktanya Syria adalah negara multi-etnis dan multi-agama, yang kebetulan dipimpin diktator berlatarbelakang Syiah Alawi selama 54 tahun terakhir. Syiah sendiri minoritas di Syria, besar di beberapa kota seperti Latakia dan kota kecil lain. Ada mayoritas sunni, orang-orang Druze, dan terutama Kristen Maronit yang tersebar di berbagai provinsi.
Sejak tahun 1963, Syria sendiri menganut Sosialisme Arab (Baathisme). Baathisme Syria dalam banyak hal berangkat dari pandangan untuk mempersatukan Arab ke dalam satu negara, yang terutama diikat oleh persatuan bahasa. Di Syria, Partai Baath mula-mula dikembangkan oleh Salahuddin Al-Bitar, mantan perdana menteri Syria yang meletakkan fondasi Baathisme bersama koleganya, Michael Aflaq, yang mendorong idelogi persatuan Arab melalui sosialisme dan penyatuan negara-negara Arab. Namun, Baathisme Syria punya idelogi yang khas di bawah Hafez Al-Assad, yang mengedepankan militerisme di bawah kekuatan intelijen Mukhabarat. Baathisme menjadi ideologi utama Syria di bawah Hafez Al-Assad.
2. Rezim Assad adalah Pahlawan Perlawanan terhadap Barat
Rezim Assad punya hubungan yang dinamis dengan negara-negara Barat. Sejak kemunculannya, rezim Assad menjalin hubungan dekat dengan Uni Soviet, terutama karena Uni Soviet memandang Syria penting bagi kepentingan geostrategi mereka di Timur Tengah dan Syria memerlukan Uni Soviet untuk modernisasi kepentingan militer mereka. Namun, di sisi lain, mereka juga punya rivalitas sendiri dengan negara Timur Tengah lain, terutama Iraq di bawah kepeminpinan Saddam Hussein. Sejak runtuhnya Uni Soviet, posisi Syria cenderung pragmatis. Syria membantu koalisi negara-negara Barat dalam Perang Teluk II dan Syria sendiri punya hubungan diplomatik baik dengan Perancis dan Inggris. Bashar Assad sendiri, sebelum jadi Presiden Syria, adalah dokter bedah di salah satu RS di London.
Setelah Perang Dingin, Syria menjalin hubungan lebih kuat dengan Iran dan kelompok proxy-nya, karena punya lawan bersama yaitu Israel. Namun, belakangan Syria juga lebih cenderung dekat dengan negara-negara Teluk, terutama setelah perang melawan ISIS. Syria juga punya rivalitas dengan Turki, yang terutama mengeluhkan pengungsi Syria di negara mereka. Sehingga, Syria tidak bisa dibilang sebagai negara yang selalu melawan negara-negara Barat. Sebagaimana negara Timur Tengah lain, mereka punya kepentingan nasional dan geopolitik yang kompleks, serta berinteraksi dengan negara lain. Meskipun mereka dalam banyak hal menentang Barat, pertentangan itu tidak abadi dan lebih didasari oleh kepentingan geopolitik daripada ideologi.
3. Jatuhnya Rezim Assad Tanda Bangkitnya Islam Radikal
Ada banyak kekuatan oposisi yang melawan Rezim Assad selama 15 tahun terakhir. Beberapa yang cukup terkenal adalah Ikhwanul Muslimin, Al-Qaeda, Jabhat Nusra, Tentara Nasional Syria (SNA), Tentara Bebas Syria (FSA), Tentara Demokratik Syria (SDF) yang beranggotakan milisi Kurdi, sampai Negara Islam di Iraq dan Levant (ISIL/ISIS). Semuanya saling berseteru dan memiliki kepentingan yang bertolak belakang satu sama lain, juga memiliki kecenderungan ideologi yang berbeda-beda. Sejak 2017, Rezim Assad tidak mengontrol 100% Syria. Bashar hanya mengontrol 70% teritori setelah perang melawan ISIS. Beberapa daerah dikuasai HTS, Kurdi, SNA, dan SDF, dengan jejaring internasional masing-masing.
Dalam kejatuhan Rezim Assad, kelompok yang memainkan peran penting adalah Kesatuan Pembebasan Syam (Hay’ah Tahrir Al-Shams/HTS), sempalan Al-Qaeda yang menguasai daerah Idlib. Kelompok ini awal mulanya bekerjasama dengan ISIS dan berada di bawah koordinasi Al-Qaeda pimpinan Ayman Al-Jawahiri dengan nama ‘Front Nusra’ (Jabhat Nusra). Pada tahun 2017, sekelompok perwira Nusra di bawah pimpinan pimpinan Ahmad Al-Syara’a alias Abu Muhammad Al-Golani keluar dan mendeklarasikan organisasi mereka sendiri. Basis kekuatan mereka ada di Provinsi Idlib, Syria Utara, dimana mereka membangun pemerintahan sementara. Rezim Assad tidak pernah berhasil mengalahkan mereka. Yang menarik, meskipun platform HTS adalah Islam Konservatif dengan milisi Jihadi yang kuat, mereka mempercayakan pemerintahan Idlib pada teknokrat sipil. Sampai saat ini HTS masih berkomitmen menjaga hak-hak minoritas dan mendorong pengampunan bagi tentara rezim Assad yang meletakkan senjata. Hal-hal ini masih perlu dinantikan ke depan.
4. Turki Ada di Balik Jatuhnya Rezim Assad
Turki punya proxy/militan yang dekat dengan militer dan intelijen Turki di Syria, terutama Tentara Nasional Syria (SNA) yang berbasis di Provinsi Aleppo. Namun, SNA bukan satu-satunya kekuatan yang mendukung pemberontak anti-Assad. Ada Tentara Demokratik Syria (SDF) yang dalam banyak hal dekat dengan Amerika Serikat, tidak suka dengan Turki karena permusuhan Turki dengan pemberontak Kurdi, serta kelompok-kelompok lain yang beroperasi secara independen. Meskipun demkian, sebagaimana kekuatan-kekuatan lain di kawasan, Turki aktif menjalin komunikasi dengan kelompok lain. Turki punya kepentingan di Syria terutama karena mereka punya banyak sekali pengungsi dari Syria akibat perang, jadi salah satu isu di Pemilu 2023 kemaren.
5. Jatuhnya Rezim Assad Melemahkan Perjuangan Palestina
Rezim Assad tidak pernah sepenuh hati mendukung Palestina. Dukungan Bashar dalam banyak hal mengikuti Iran, sekutu utama Bashar di kawasan, dan karena rivalitasnya dengan Israel. Syria punya hubungan pasang-surut dengan Palestina. Mereka mendukung Fedayeen di masa Perang Sipil Lebanon dan dekat dengan PLO di tahun 1970an dan 1980an. Di tahun 2000an, mereka juga dekat dengan Hamas karena faktor Iran, yang menyuplai senjata terhadap gerakan perlawanan melawan Israel.
Namun, rezim Assad juga mengeksekusi pengungsi Palestina di Syria karena terlibat konfrontasi. Di sisi lain, Assad enggan membuka Front Golan karena menjaga rivalitas dengan Israel dan menghindari serangan balasan (retaliation) dari Israel, dengan difasilitasi oleh Rusia. Hal ini konon dikeluhkan oleh pemberontak Houthi. Di sisi lain, Hamas mengucapkan selamat pada pemberontak dan orang-orang Palestina tidak suka dengan Bashar karena kekejamannya terhadap pengungsi Palestina dan kekejamannya terhadap oposisi. Dalam banyak hal, rezim Assad ini juga penjahat perang, memenjarakan dan menyiksa ratusan ribu umat Islam. Yang membuat figur pemerintahannya tidak disukai bahkan oleh orang-orang Palestina sendiri.
6. Jatuhnya Rezim Assad Melemahkan Iran dan Rusia
Kejatuhan Assad memang kejutan dan kerugian bagi Iran dan Rusia, yang kehilangan mitra strategis untuk menjadi markas angkatan laut dan proxy yang dipercaya untuk menjaga pengaruhnya di Timur Tengah. Namun, Hubungan Iran-Syria tidak sebaik yang kita kira. Sebelum rezim Assad jatuh, Iran dan Rusia mencoba memfasilitasi Bashar berkomunikasi dengan negara-negara Timur Tengah dan perwakilan pemberontak lain di Astana, Kazakhstan. Belakangan, mereka juga mencoba menjembatani Assad dengan Presiden Turki Recep Erdogan, yang menginginkan solusi lebih baik untuk masalah pengungsi Syria. Upaya-upaya diplomatik ini ditolak Bashar. Iran mengutus mantan Ketua DPR Ali Larijani untuk berkomunikasi dengan Bashar dalam upayanya menjembatani perbedaan dengan Erdogan, namun juga ditolak. Hal ini membuat Iran pada akhirnya juga berkomunikasi dengan HTS dan kekuatan pemberontak untuk melindungi minoritas Syiah di Syria, yang mereka setujui sesaat sebelum Damaskus jatuh.
Di sini, kompleksitas geopolitik penting diperhatikan. Rusia tidak dalam posisi bisa membantu Bashar karena sedang sibuk ofensif di Ukraina. Iran sendiri sibuk membantu Hizbullah di Lebanon Selatan, selain juga cukup lemah akibat serangan Israel dan krisis ekonomi. Pada akhirnya, Rusia menerima Bashar Al-Assad dan keluarganya sebagai pengungsi setelah Damaskus jatuh, yang bisa jadi hanya balas budi karena Syria dulu sekutu dekat Rusia.
7. Para Pemberontak Syria Didukung/Mendukung Israel
Sering muncul anggapan bahwa pemberontak Syria didukung Israel, terutama karena Israel sendiri punya kepentingan geopolitik melemahkan Syria yang membantu Hamas selama ini. Namun, Israel juga khawatir dengan jihadis yang menguasai Syria sekarang karena bisa mengancam keamanan mereka. Gerakan-gerakan jihadi yang menguasai Syria juga sama tidak sukanya dengan Israel. Pemimpin HTS Ahmad Al-Syara’a, yang dikenal dengan nama Abu Munammad Al-Golani, berasal dari Dataran Tinggi Golan yang dikuasai Israel setelah Perang Arab-Israel 1967. Bapaknya berperang melawan Israel di tahun 1967.
Oleh karena itulah Israel langsung menyerang Gunung Hermon di sisi Syria di Dataran Tinggi Golan, dan sehari setelahnya melakukan serangan udara ke fasilitas militer di Damaskus untuk menghancurkan fasilitas militer Syria agar tidak dikuasai pemerintahan baru. Mereka khawatir pemerintahan Syria yang baru akan mengancam Israel, dan mereka khawatir Syria mau merebut Golan kembali. Kegelisahan ini menunjukkan Israel tidak mendukung pemberontak Syria.
Editor: Soleh