Peradaban dibangun oleh budaya baca—literat. Bukan pidato di panggung sambil jari menunjuk berharap applause. Lebih seram lagi mengaku filsuf, namun produksinya meme. Inilah alasan perlunya ulama harus tajam penanya bukan keras microphone-nya.
Tradisi Share dan Copas Lahirkan Hoax
Peradaban Yunani kuno dibangun oleh kecerdasan Aristoteles, Socrates, Plato dkk—buah pikirnya masih terus relevan. Mulai dari demokrasi, moobcrasi, republik, monarchy, oligrarchy, diktatur, gladiator, zoon politicon, dan lainnya. Merupakan pikiran-pikiran bening yang terus di ulang-ulang hingga hari ini karena tidak kehilangan relevansi.
Mereka adalah para pemikir—filsuf yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan. Tradisi baca tulis pada masa Yunani sungguh menakjubkan—para filsuf itu layaknya nabi atau suluh yang mencerahkan. Dari para filsuf itulah peradaban modern berpijak.
Berbeda dengan tradisi Yunani Kuno, peradaban Microsoft justru sebaliknya. Walter J Org penulis buku Literaty and Orality menyebut bahwa kelisanan primer (primer orality) adalah peradaban paling bawah. Meski hidup dalam jaman Revolusi Microsoft tapi tetap saja menggunakannya sebagai bahasa cakap.
Tradisi share dan copas justru lebih mengemuka dibanding tradisi baca (iqra) dan tulis (qalam) sebagaimana diajarkan Islam. Tradisi baca dan tulis melahirkan peradaban—tradisi copas dan share melahirkan kawanan hoax.
Ulama Harus Tajam Penanya
Ulama salaf adalah para cendekiawan, penulis dan pembaca yang baik. Mereka biasa berjam-jam dan berlama-lama di pespustakaan melakukan riset, tahqiq, mensyarah hingga menterjemah. Ulama salaf menghasilkan kitab bukan meme.
Setidaknya artikel, manuskrip atau suhuf yang dikodifikasi menjadi kitab. Ada ratusan kitab dan syarh lahir dari buah pikir ulama-ulama terdahulu (mutaqadimin). Dari tulisan-tulisan merekalah peradaban Islam dibangun.
Kita mengenal ulama-ulama salaf dari tiga generasi emas pertama—karena karyanya. Semisal Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit. Kemudian generasi Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Ghazali, Abu Hasan al Asyari, al Hasan Bashri, hingga Nafi bin Hurmuz. Mereka disebut ada karena tulisannya bukan dari pidatonya. Kita bisa bayangkan, tanpa karya mereka entah darimana kita mengenal Islam.
Para ulama salaf mewakafkan dirinya menjadi bagian peradaban Islam mulia. Mereka tercerahkan (raushnfikir) dengan tradisi literasi yang kokoh sebagai pusat episentrum kemajuan.
Ulama Berlagak Salaf
Para ulama salaf memberikan uswah tentang tradisi membaca dan menulis. Terbuka dan inklusif terhadap perubahan dan dinamika. Tidak taklid dan fanatik buta pada masyayikhnya saja. Tradisi inilah yang menjadikan masa salaf menjadi generasi emas, generasi teladan sebagai sumber moral dan etik.
Ke-salaf-an tidak dibangun sebatas simbol pakaian atau atribut, hanya agar bisa ‘berlagak’ salaf. Perilaku nyalaf atau Salafi hanya lah simbol bukan substansi. Perilaku Salaf kembali pada al-Quran dan as-Sunnah adalah berbudi luhur, lapang dada, tidak merasa benar sendiri.
Selain itu, ulama salaf juga menghormati perbedaan pendapat karena keluasan ilmu, kekokohan akademik, kekuatan literasi. Tidak hanya menghafal tapi membuktikan dengan karya nyata sebagai bukti amal saleh. Puluhan perpustakaan, pusat riset, dan nizamiyah kokoh berdiri menjadi bukti kerja keras para ulama salaf yang serius dan sungguh-sungguh.
Para salaf juga akrab dengan pikiran-pikiran dunia luar—bahkan banyak menterjemahkan karya karya filsuf Yunani. Mereka berdiskusi, memberi catatan kecil, mentahqiq dan memberi syarh. Tradisi yang mana kemudian menghilang dan berubah menjadi tradisi lisan dan visual yang rendah. Hanya semacam kawanan orator yang sedang lomba pidato tetapi miskin literasi. Maka betapapun ribuan atau jutaan applause yang didapat hanya riuh seperti buih tanpa bekas.
***
Dalam sebuah narasi yang bagus Buya HAMKA bertutur indah :
Lapangan siasat bukan medanku, Aku dikenal seorang pujangga.
Yang bersayap terbanglah laju. Aku kan tetap pahlawan pena”