Impian Haji Hisyam mendirikan universitas pada zaman kolonial memang hampir mustahil. Sekalipun kerja keras dan cerdas jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah Bagian Sekolahan telah menghasilkan banyak sekolahan, tetapi belum cukup untuk mewujudkan universitas Muhammadiyah pertama.
Bahkan, sampai masa kepemimpinan KH. Ibrahim habis (1934), mimpi tersebut belum sempat terwujud. Tetapi momentum penting nan strategis kembali hadir ketika dalam kongres akbar XXIII pada tahun 1934. Jajaran HB Muhammadiyah telah diisi oleh kader-kader ideologis KH. Ahmad Dahlan seperti: MJ. Anies, Hisyam, Mochtar, Hadjid, Syujak, Faried Ma’ruf, Hadjam, Siradj Dahlan, dan M. Amjad (lihat Boeah Congres XXIII, h. 7). Haji Hisyam mendapat amanat sebagai president HB Muhammadiyah yang memungkinkan baginya untuk mewujudkan cita-cita mendirikan universitas.
Universitas Muhammadiyah Pertama
Masa kepemimpinan Haji Hisyam (1934-1936) memang dinilai sebagai puncak kemajuan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Djarnawi Hadikusuma dalam buku Matahari-matahari Muhammadiyah (t.t.) mencatat bahwa program-program HB Muhammadiyah memang lebih fokus pada pengembangan pendidikan. Tetapi di sisi lain sangat lemah dalam menjalankan program-program dakwah.
Pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Haji Hisyam sangat pesat dan banyak mendapat subsidi dari pemerintah kolonial. Sebagai bentuk apresiasi pemerintah kolonial atas usaha Muhammadiyah memajukan pendidikan, sang president bersama tokoh-tokoh bumiputra lainnya mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda. Sampai akhir masa kepemimpinan Haji Hisyam, impian mendirikan Universitas Muhammadiyah belum sempat terwujud. Bahkan, sampai akhir hayat, mimpi Haji Hisyam belum sempat terwujud.
Akan tetapi, setelah komponen-komponen pendukung telah tersedia, yaitu setelah memasuki alam kemerdekaan Republik Indonesia, pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Badawi, Muhammadiyah baru berhasil mewujudkan impian besar universitas pertama. Dengan demikian, impian tersebut baru terwujud setelah melewati masa sekitar 43 tahun. Setelah lima periode kepemimpinan di Muhammadiyah, dimulai dari KH. Mas Mansur (1937-1941), Ki Bagus Hadikusuma (1942-1952), AR. Sutan Mansur (1953-1958), Yunus Anis (1959-1962), hingga KH. Ahmad Badawi (1962-1967).
”…sesudah tahun 1950, Muhammadiyah dapat memusatkan perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan SD, SMP, SGA (SPG), PGA dapat pulih kembali, bahkan bertambah jumlahnya tersebar di seluruh Indonesia. Ditambah adanya SMEP, SMEA dan Sekolah Perawat Bidan. Demikian pula mulai tumbuhnya Perguruan Tinggi. Dimulai dari Padang Panjang berdirinya Universitas Muhammadiyah,” tulis H.Mh. Mawardi dalam artikelnya, ”Perkembangan Perguruan Muhammadiyah,” (Suara Muhammadiyah no. 10 Th. Ke-58/1978).
Apa yang dimaksud Mawardi dengan pertumbuhan Universitas Muhammadiyah di Padang Panjang adalah proses transformasi sebuah lembaga pendidikan. Lembaga ini bernama Tabigh School yang berdiri sejak 1935 kemudian berubah menjadi Kulliyatul Muballighin pada 1941.
Lembaga ini kemudian menjadi akademi lewat keputusan Konferensi Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran Daerah Sumatra Barat yang diselenggarakan pada 30 Mei-2 Juni 1964. Tanggal 1 September 1964 dimulai kuliah perdana Akademi Kulliyatul Muballighin dengan 28 mahasiswa (Hasan Ahmad, ”Kulliyatul Muballighin Padang Panjang Zaman Kemerdekaan Hingga Sekarang”, Suara Muhammadiyah no. 7/ Th. Ke-66/1986, h. 27).
Pribadi dan Keluarga Haji Hisyam
Siapakah Haji Hisyam yang mendapat amanat sebagai Ketua Pertama Bagian Sekolahan? Dialah salah seorang murid ideologis KH. Ahmad Dahlan yang berjuang sampai akhir hayat di persyarikatan Muhammadiyah.
Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 10 November 1883, dia putra Wedana Haji Hoesni. Hisyam bin Haji Hoesni masih termasuk kerabat jauh KH. Dahlan (Djarnawi Hadikusuma, t.t.: 35). Selain menjabat sebagai abdi dalem, Hisyam muda seorang pengusaha batik (batikhandel) di Kauman.
Dalam iklan hari raya Idul Fitri yang dimuat di Soeara Moehammadijah nomor 5 dan 6 tahun 1925 disebutkan nama-nama tokoh Muhammadiyah, salah satunya ialah istri Haji Hisyam. Dalam iklan tersebut disebutkan identitas istri Haji Hisyam sebagai lid (anggota) ’Aisyiyah dan batikhandel Kauman, Yogyakarta.
Menurut sumber Djarnawi Hadikusuma (t.t.: 35), Haji Hisyam dikenal sebagai seorang pakar hukum Islam. Dia juga memiliki keahlian dalam manajemen dan administrasi. Keahliannya boleh dikata cukup mahir untuk ukuran zamannya. Perhatiannya terhadap dunia pendidikan diterapkan dalam keluarga.
Semua putra dan putri Haji Hisyam mendapat pendidikan formal, baik pendidikan umum dan agama. Muhammad Ziad, putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Europes Kweekschool di Surabaya. Muhammad Hadjam, juga putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Hogere Kweekschool di Purworejo.
Sepak Terjang Haji Hisyam
Karir organisasi Haji Hisyam dimulai ketika dia bersedia bergabung dengan KH. Ahmad Dahlan membentuk kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Hisyam termasuk salah satu di antara murid-murid inti yang mendapat pengajian dan pengajaran langsung dari K.H. Ahmad Dahlan. Selagi muda, Hisyam sudah terlihat sebagai pemuda cakap yang mementingkan pengajaran bagi generasi muda.
Ketika Muhammadiyah dideklarasikan (1912), Hisyam berumur sekitar 29 tahun. Ketika HB Muhammadiyah membentuk empat unsur pembantu pimpinan, Haji Hisyam mendapat amanat sebagai ketua Bagian Sekolahan. Jabatan ketua pertama unsur pembantu pimpinan ini diamanatkan kepada Haji Hisjam yang berumur sekitar 37 tahun.
Haji Hisyam adalah satu-satunya murid inti hasil didikan KH. Ahmad Dahlan yang berhasil menduduki posisi sebagai president HB Muhammadiyah. Pasca wafat KH. Ibrahim (1934), dalam Congres Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, Haji Hisyam terpilih sebagai president HB Muhammadiyah.
Bersama Djiwosewojo, Haji Hisyam telah mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Ratu Belanda. Anugerah ini diberikan kepada para pejabat, priyayi atau orang-orang yang dianggap berjasa kepada pemerintah Belanda dan masyarakat pada waktu itu.
Akhir Kisah Haji Hisyam
Kepemimpinan Haji Hisyam berlangsung sejak tahun 1934-1937. Dalam Congres Muhammadiyah ke-26, kelompok pemuda, M. Basiran, Abdul Hamid, Farid Ma’ruf, dan lain-lain, menolak kepemimpinan kelompok tua, Haji Hisyam, Haji Mochtar, dan Haji Syujak. Ki Bagus Hadikusumo menjembatani konflik antara kubu kaum muda dan kaum tua ini. K.H. Mas Mansur, Konsul Muhammadiyah Surabaya, kemudian diminta untuk menjabat sebagai president HB Muhammadiyah.
Selain menjabat sebagai president HB Muhammadiyah, Haji Hisyam juga pernah menjabat sebagai Penghulu di kabupaten Magelang pada tahun 1937. Haji Hisyam meninggal dunia pada 20 Mei 1945. Mimpi Haji Hisyam mendirikan Universitas Muhammadiyah baru terwujud kira-kira 19 tahun pasca wafatnya.
Tulisan tentang impian universitas Muhammadiyah pertama