Tajdida

Untuk Jadi Moderat, Pisahkan Agama dari Sifat Absolut!

4 Mins read

Selama ini, istilah absolutisme lebih sering digunakan dalam konteks politik dan kekuasaan. Dalam Merriam-Webster Dictionary, absolutisme didefinisikan sebagai “teori mengenai kekuasaan absolut seorang penguasa yang despot dan menjadikan dirinya standar kebenaran dan moral bagi semua orang.” Maka, tepatkah jika absolutisme dikaitkan dengan agama? Tentu saja. Sebab agama telah menjadi penguasa yang menjadikan dirinya standar kebenaran dan moral bagi semua orang.

“Jika ayat suci sudah berkata begini, maka tidak boleh ada yang membantahnya” adalah salah satu ekspresi absolutisme dalam beragama.

Mengapa Manusia Cenderung Beragama

Sebagian besar manusia mendapati dunia sebagai tempat yang membingungkan, tidak jelas, dan penuh perubahan. Kita lebih senang dengan kejelasan dan kemudahan. Kondisi ini membuat kita merasa perlu tuntunan. Bagaimana jika tuntunan itu adalah sebuah ajaran yang absolut, yang mengaku punya jawaban atas segala sesuatu? Pasti orang akan memeluknya beramai-ramai.

Dalam dunia yang serba tidak menentu dan tidak jelas ini, absolutisme memberi jawaban pasti bagi kebingungan kita.

Belum lagi dalam hidup yang hanya sekali dan sebentar ini, tentu manusia perlu kepastian yang menenangkan dan menyenangkan, bahwa setelah mati ia akan ke mana. Agama pun muncul memberi kita jawaban atas pertanyaan eksistensial tersebut. Katanya, “masuklah agama kami, dan kau akan selamat di kehidupan sesudah mati.”

Mengapa begitu mudah manusia percaya dan mengikuti agama? Entahlah. Tapi, persepsi manusia secara alami diajari untuk memihak sesuatu. Kita, secara intuitif dan naluriah, akan cenderung mengikuti sesuatu yang kita setujui dan sukai, karena otak mengenali adanya unsur-unsur yang dapat mendukung harapan kita, pada sesuatu yang kita sukai itu.

Kita suka yang manis-manis, karena evolusi membentuk spesies kita peduli pada kelangsungan hidup, dan gula memberi harapan untuk itu. Apa kira-kira yang bisa memberi manusia harapan keselamatan (salvation)? Apakah filsafat, sains, atau matematika? Tidak. Agama adalah yang paling ahli memberi kita harapan keselamatan.

Baca Juga  Milad 108 Tahun Muhammadiyah: Ikhtiar Mengarungi Batas Internasional

Maka, ketika satu-satunya pemberi harapan itu dipertanyakan dan dikritisi oleh orang lain, kita mudah meledak, marah, dan menerkam, seperti halnya jika ada yang tiba-tiba mencopet uang kita.

Itu pula yang menyebabkan mengapa ada orang yang rela mati demi agama, atau rela menghabisi orang yang dia anggap musuh agama. Dia berusaha menjaga sakralitas iman, karena imannya bernilai absolut, dan iman pula yang menjamin apakah dia akan diterima Tuhan, atau disiksa selamanya, juga oleh Tuhan.

Dinamika Agama dan Absolutisme

Dari sini kemudian kita bisa paham mengapa absolutisme menjadi ciri agama-agama. Sebab absolutisme membuat semua orang harus mendengar dan patuh pada agama. Dan kekuasaan absolut itulah yang ia narasikan, wacanakan, dan pasarkan ke mana-mana.

Dalam proses penyebarannya, tentu ada saja keuntungan sosial, ekonomi, dan politik yang diperoleh kalangan agamawan. Mereka dipuja masyarakat, memperoleh harta, dan duduk sebagai penguasa. “Jika agama(wan) kami berkuasa, maka itulah kehendak Tuhan. Dan jika kaum kafir yang berkuasa, maka kami akan melawannya demi Tuhan.” Begitulah logika alamiah para pembela absolutisme agama.

Sebenarnya, itu semua menakjubkan. Melihat bagaimana agama memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan spesies kita di bumi, adalah sebuah nasib yang harus kita syukuri. Mungkin kita perlu bertanya: Untuk melanjutkan eksistensinya, apakah manusia yang butuh agama, atau, agama yang butuh manusia?

Biasanya kita mengira bahwa manusia yang butuh agama. Padahal bisa jadi kedua-duanya saling membutuhkan. Jika begitu, maka harus diakui bahwa agama membutuhkan manusia untuk survive.

Bukan hanya entitas biologis yang berevolusi, pemikiran manusia juga. Agama adalah bagian dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, kita melihat dalam sejarah, agama berevolusi dari satu bentuk ke bentuk lain, yang terjadi untuk mempertahankan eksistensi agama di muka bumi.

Baca Juga  Perbedaan Wacana Sufisme di NU dan Muhammadiyah

Sebagai bagian pemikiran manusia, tentu saja evolusi agama sangat terkait dengan evolusi manusia. Itulah mengapa cerita-cerita yang agama sampaikan menunjukkan watak spesies kita sendiri. Semua tragedi yang agama kisahkan pada kita, adalah cerminan diri kita sendiri. Siapa di dunia ini yang tak mau hidup dengan cinta dan dikasihi? Agama berkisah bahwa ada Tuhan yang mahacinta dan mahakasih.

Begitu pula konflik yang dinarasikan agama. Konflik dan pertentangan adalah watak manusia itu sendiri. Agama hanya menceritakan ulang siapa sosok kita yang sebenarnya.

Lagi pula, persepsi manusia secara alamiah akan memihak sesuatu. Dengan kata lain, kita juga mudah untuk mengidentifikasi sesuatu sebagai kawan dan lawan, karena kita mesti memihak.

***

Jangan heran jika agama juga bercerita tentang konflik antara tentara Tuhan versus tentara setan. Belum lama berlalu, dunia terpecah antara Blok Barat dan Blok Timur. Spesies kita mudah sekali menilai sesuatu secara bipolar, hitam atau putih, kawan atau lawan.

Perlu usaha keras untuk berpikiran terbuka dan mengakui keragaman. Itulah mengapa usaha ini selalu mulia di hadapan kita. Jika agama bercerita tentang siapa lawan Anda dan siapa kawan Anda, itu adalah warisan leluhur kita yang tidak bisa lepas dari konflik dan persaingan.

Begitulah watak agama dan peran yang ia mainkan dalam hidup manusia. Absolutisme adalah output sekaligus input yang dibutuhkan agama dalam rangka menjaga eksistensinya.

Sebab, jika tanpa klaim-klaim bahwa ajarannya berasal dari Tuhan Pencipta, maka ide-ide keagamaan yang diwariskan selama berabad-abad, akan mudah tergerus oleh daya kritis dan kreatif akal manusia. “Agama datang dari Tuhan. Akal tidak boleh melawan Tuhan,” adalah rumus absolutismenya.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Sepakbola : Sejarah dan Masa Kini

Masa Depan Absolutisme Agama

Akhirnya, absolutisme adalah selimut agama yang melindunginya dari panas, dingin, dan hujan. Karena terlindungi, ia bisa bertahan dan awet hingga sekarang. Filsafat dan sains tidak mengklaim bahwa ide dan hipotesisnya adalah wahyu dan satu-satunya suara kebenaran. Sulit menemukan absolutisme seperti itu dalam filsafat dan sains.

Tapi, apakah juga sulit untuk memisahkan sifat absolut dari agama? Apakah Anda bisa beragama tanpa harus mengklaim hanya agama Anda jalan keselamatan satu-satunya? Itulah yang dilakukan para kaum moderat agama. Mereka berusaha meyakinkan saudaranya dan lawannya bahwa agama dan absolutisme itu berbeda.

Tapi, benarkah agama bisa kita pisahkan dari sifat absolut seperti anggapan kaum moderat? Jika agama tidak lagi absolut, apa lagi yang akan tersisa darinya? Apakah tanpa dukungan absolutisme, agama tetap bisa signifikan dalam kehidupan manusia? Mengapa tidak. Kita mesti objektif dalam mengamati, bahwa, sebenarnya agama lebih dari sekadar klaim-klaim kebenaran.

Seharusnya kita bertanya: Apakah tanpa mengabsolutkan agama kita sendiri, kita tetap bisa khusyuk dan khidmat dalam bersujud kepada Tuhan? Rasanya bisa-bisa saja, tidak ada yang aneh. Dan memang sama sekali tidak aneh. Mungkin yang aneh adalah nafsu kita selama ini bahwa hanya boleh ada satu versi kebenaran di muka bumi.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds