IBTimes.ID – Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta dengan mengÄ£andeng STAI DR KHEZ Purwakarta, dan Komunitas Aisyiyah ITB Ahmad Dahlan Jakarta (26/7), kembali mengadakan diskusi online dengan tema “Perempuan dan Tren Urban Farming di Tengah Pandemi COVID-19: Kebiasaan Baru untuk Membangun Kedaulatan Pangan dan Solidaritas Sosial”.
Hadirnya Pandemi COVID-19 telah menyebabkan dunia sejenak berhenti dari hiruk pikuk aktivitas masyarakat industri akibat fenomena lockdown dengan berbagai macam bentuk dan istilahnya. Fenomena ini telah menegur manusia dari perilaku dan kebiasaan buruknya dalam mengeksploitasi alam. Teralienasinya masyarakat dari pasar dan pusat perdagangan, telah memberikan pelajaran baru bagi kita semua untuk tetap bisa survive dengan bahan pangan di sekitar kita. Dengan beragam bentuk seperti menanam sayur di pekarangan ataupun donasi sayur dan kebutuhan pokok sehari-hari melalui ‘cantelan’.
Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan dalam sambutan pembuka mengatakan sejatinya apa yang dikatakan Silveria Jacob, perempuan pemimpin dunia yang berhasil menyelesaikan corona dengan mengajak warganya memakan makanan yang ada di rumah penting kita ingat. Jika dikontekskan dengan Indonesia, kembali memakan makanan khas Indonesia seperti klepon, singkong, ubi-ubian, lebih baik daripada mencari makanan yang tidak ada sebagai ketahanan pangan. Lalu, penting juga memanfaatkan lahan terbatas untuk bercocok tanam. Berbagi ide termasuk berbagi bibit tanaman adalah bagian untuk saling dukung secara sosial.
Helmi Ali dari Perhimpunan Rahima mengingatkan bahwa virus corona yang mengancam jiwa manusia, bukan kali pertama hadir, misalnya sebelumnya ada flu yang melanda Eropa. Dan semua ini terjadi karena sikap manusia yang mengeksploitasi alam.
Perempuan dan Alam
AD Kusumaningtyas menarasikan alam sangat dekat dengan perempuan, misalnya air dan tanah dengan kehidupan perempuan. Perempuan acapkali disimbolkan sebagai sosok dewi kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan. Seperti kisah Dewi Sri di Jawa, Nyai Pohaci di tanah Sunda, atau Dewi Luing Indung Bunga di Kalimantan Selatan.
Ekofeminisme bagian dari kritik dan otokritik kita bagi kita. Termasuk kesadaran untuk membangun pola hidup sehat dengan menggalakkan kembali tanaman obat keluarga dan berkebun sayur mayur di pekarangan rumah. Tren pertanian organik dan hidroponik yang ramah lingkungan, dan keinginan mempercantik lingkungan dengan tanaman hijau, telah menghadirkan gaya hidup baru yang lebih sehat.
“Setelah PSBB mulai dilonggarkan, dan pola hidup New Normal diperkenalkan, sejatinya bukanlah kembali pada kehidupan ‘normal’ yang eksploitatif sebelum munculnya pandemi ini. Namun, tuntutan akan hadirnya kebiasaan baru tidak saja soal pakai masker dan jaga jarak. Juga sikap dan berbagai aktivitas yang lebih ramah lingkungan. Perempuan juga punya pengalaman luar biasa untuk memanfaatkan alam dari pemanfaatan alam, termasuk memanfaatkan sampah,” ujar Ning.
Ririn, Sekretaris Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat berbagi cerita menumbuhkan semangat menanam bahan pokok pangan. Dimulai dengan cara membuka pemikiran masyarakat yakni menghitung jumlah uang yang dihabiskan untuk membeli sayur. Ketika satu desa bisa menghabiskan uang lebih dari satu milyar untuk membeli sayur, ini menumbuhkan kesadaran bahwa biaya itu bisa dipakai untuk biaya sekolah anak.
Maka gerakan menanam menjadi semakin luas. Awalnya hanya 700 meter tanah kosong desa tak bermanfaat yang dipakai untuk bercocok tanam. Kini mendapat kepercayaan desa bertambah menjadi 1 hektar yang dikelola ibu-ibu komunitas. Dan kini keuntungannya sudah mencukupi pangan anggota dan sudah menjadi tempat wisata. Selain itu Ririn juga mengatakan bertanam di komunitas menumbuhkan solidaritas antar anggota dan lebih sabar mengelola situasi, sebagai hal positif lainnya.
Urban Farming Melawan Pandemi
Sulistyo Setiutami (Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta) yang memulai urban farming sejak corona mengatakan kesadaran individu maupun kesadaran kelompok menjadi pilar hijaunya lingkungan. Bisa dimulai dari halaman rumah sendiri maupun memanfaatkan fasilitas umum lingkungan untuk bercocok tanam. Menanam kangkung dan bayam tidak bersamaan, agar suplay makanan terpenuhi. Sisa tumbuhan yang tidak terpakai bisa dijadikan pupuk. Panen sayur mayur ini mendukung ketahanan pangan dan penghematan keuangan keluarga.
“Apa yang ditanam? Apa yang kita suka untuk dimakan, makanlah apa yang kita tanam dan tanamlah yang kita makan,” ungkap Anis Hidayah memulai diskusi. Anis juga berhasil membangun urban farming di komunitasnya menjadi ruang dialog antar tetangga. Bahkan cara paling efektif mengkikis gerakan intoleransi di komunitas. Kini 50 persen warga di lingkungan tempat tinggalnya sudah menerapkan urban farming.
Kebiasaan urban farming ini menguatkan lingkungannya tetap sehat, terutama menanam cabe dan bawang merah sebagai sumber bumbu dasar. Namun sayangnya sudah mendapatkan pestisida sejak awal menanam. Banyak orang tidak bisa makan kangkung karena asam urat. Tetapi ketika ditanam sendiri semua menjadi organik. Komunitas Anis kini sudah menjadi percontohan dan wisata kota yang baru (sebelum corona) dan berhasil menciptakan pasar organik.
Yanthi Burhan, (‘Aisyiyah Tangerang Selatan) berbagi tips bahwa beternak lele tidaklah sulit. Hanya dibutuhkan terpal dengan kolam di rumah selebar 3×1,5 m. Dan yang terpenting rajin diberi makan. Lele-lele ini bisa mencukupi pangan dilingkungannya.
Menambahkan berbagai penjelasan tersebut, Pera Shopariyanti dari Rahima menyampaikan tentang urgensi diperkenalkannya urban farming dan pemanfaatan lahan di komunitas pesantren. Oleh karenanya, mengajak ulama perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan ini sangat dibutuhkan.
“Mereka adalah panutan masyarakat. Dan hasil musyawarah keagamaan KUPI bahwa perusakan alam dengan berbagai bentuknya adalah haram. Itu dapat dimaknai bahwa secara normatif kesadaran ini sudah selesai. Namun, secara praktis bagaimana mengelolanya, kami perlu belajar banyak dari Mbak Anis, Mbak Ririn, ataupun Bu Sulis yang bergiat langsung di lapangan mengenai hal ini,” imbuhnya.
Kiranya, kembali ke alam dan memanfaatkan alam menjadi cara efektif menaklukkan corona serta meningkatkan ketahanan pangan.
Editor: Yusuf