Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam alur kehidupannnya. Oleh karena itu, kebutuhan eksistensi religiusitas dalam dirinya merupakan keniscayaan yang tidak bisa lepas darinya.
Demikian pula, eksistensi agama bagi masyarakat perkotaan maupun pedesaan merupakan bagian kehidupan mereka untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dengan orientasi eskatologis menuju kehidupan yang hakiki yaitu akhirat yang bisa disebut juga jalan tersebut adalah jalan spiritualitas atau tasawuf dalam Islam yang memiliki tali erat yang relevan berkorelasi agama dengan keyakinan.
Korelasi agama dan keyakinan berperan sebagai alat pengikat antar satu individu dengan lainnya dan pengikat antar berbagai komunitas, namun pada waktu lain keyakinan teologis juga menjadi media disintegratif. Agama dan keyakinan telah semestinya dipahami sebagai kerangka nilai, bukan menjadi narasi teks ataupun simbol yang kaku sehingga memberikan kemudahan untuk memicu perpecahan kehidupan bangsa. Eksistensi agama menjadi kerangka moral ketahanan sosial, politik, budaya dan agama sendiri, dan tidak menjadi dikomisasi separatis antar masyarakat bangsa (Iskandar, 2014, p. 163).
Tasawuf Masa Kini
Tasawuf berkontribusi dalam mengharmonisasikan kehidupan duniawi dan ukhrawi bagi masyarakat perkotaan (urban) maupun pedesaan (rural) terkhusus dari kalangan muslim.
Gerakan tasawuf atau pergerakan komunitas sufi sejak beberapa tahun silam hingga masa sekarang, telah memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat luas, termasuk mereka yang berada di lingkungan perkotaan (urban) maupun lingkungan pedesaan (rural).
Pergerakan komunitas tersebut mengacu kepada beberapa komunitas tasawuf berupa tarekat dengan berbagai macam nama yang populer ataupun yang tidak populer, sebut salah satunya yang paling mentereng di Indonesia, yakni Tarekat Naqsyabandiyah yang nyatanya hidup dalam dua lingkungan urban ataupun rural.
Gerakan komunitas tasawuf atau kaum sufi ini memiliki beberapa aspek memiliki relevansinya, yakni perubahan-perubahan di kalangan mereka terjadi karena hubungan dengan pihak luar, terutama dilihat dari terjadinya interaksi antara komunitas sosial mereka dengan komunitas masyarakat lain.
Modifikasi gerakan maupun kelembagaan dalam peran mereka di bidang dakwah dan pendidikan, yang diasumsikan terjadi sebagai respons terhadap tawaran-tawaran luar, termasuk modernisasi dan dampaknya pada masyarakat. Sehingga didapati ada dua istilah tasawuf masa kini dari tasawuf itu sendiri yakni urban sufisme dan tasawuf konvensional.
Titik Persingunggan Urban Sufisme dan Conventional Sufisme
Persinggungan kedua antara urban Sufisme dan Conventional Sufisme (tasawuf konvensional) adalah dalam upaya pembersihan hati (tahdhib alnafs). Dalam hal ini, pembersihan hati dan jiwa, yang dimulai dari pembersihan tubuh lahir, diikuti dengan pembersihan tubuh batin, merupakan perhatian utama para sufi sejak awal. Dan hal itu pula yang menjadi pula menu tasawuf ajaran Aa Gym, yang kemudian mengorganisasi serta mengolahnya menjadi Manajemen Qalbu (MQ) (Anshori, 2015, p. 68).
Di samping persinggungan, antara urban Sufisme dan Conventional Sufisme (tasawuf konvensional) juga terdapat sejumlah perbedaan. Selain tipe jamaahnya, perbedaan yang paling mencolok adalah organisasinya. Jika yang disebut pertama berada dalam wilayah yang sedemikian longgar, sebaliknya yang disebut terakhir sangat menekankan pentingnya sebuah ikatan organisasi yang diwujudkan dalam bentuk tarekat. Tidak heran jika dalam dunia tasawuf konvensional muncul tradisi silsilah dan sanad yang menjelaskan hubungan spiritual antara mursyid dan murid, hal yang tidak berkembang dalam fenomena urban Sufisme (Anshori, 2015, p. 69).
Selain itu, dalam tasawuf konvensional para pengikutnya cenderung menjauhi kehidupan dan aktivitas yang bersifat duniawi (‘uzla). Hal ini sudah mulai hilang ketika tasawuf masuk dalam fase neo-Sufisme, karena umumnya tokoh-tokoh neo-Sufisme adalah para aktivis yang terlibat dalam kehidupan sosial politik masyarakatnya. Hilangnya aspek ‘uzla ini lebih kentara lagi dalam urban Sufisme, yang mana para pengikutnya justru dari kalangan masyarakat menengah yang sangat disibukkan dengan urusan duniawi, tetapi memiliki ketertarikan terhadap Sufisme (Anshori, 2015, p. 69).
***
Keduanya, dibedakan atas dasar standarisasi ajaran dan metode yang dipergunakan dalam penyucian dan upaya pendekatan menuju Tuhan (suluk). Sufisme konvensional sangat mengagungkan genealogi pembimbing (mursyid) dengan apa yang disebut pertalian hubungan antara murid dan mursyid secara berkesinambungan (silsilah) sampai kepada Rasulullah ï·º. Genealogi kemursyidan pada Sufisme konvensional, standarisasi ajaran, dan metode suluk memungkinkan ditelusurinya jaringan internasional sebuah gerakan Sufisme (Mufid, 2006, p. 232).
Kelompok mistik yang tidak melaksanakan syariat Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan haji tidak digolongkan sebagai sufisme kontemporer tarekat (sufisme), meskipun tidak memiliki silsilah kemursyidan hingga Rasulullah ﷺ, tetapi ajaran dan praktik keagamaannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, mendapatkan apresiasi besar oleh masyarakat pedesaan dan perkotaan (Mufid, 2006, pp. 232-233).
Tasawuf juga harus tetap dalam asas syari’at, artinya peraturan dari tarekat itu yang merupakan pelaksanaan, hakekat itu merupakan keadaan dan ma’rifat itu merupakan tujuan yang akhir. Dengan kata lain Sunnah harus dilakukan dengan tarekat, tidak cukup hanya keterangan dari nabi saja, jika tidak dilihat pekerjaan dan cara melakukannya, yang melihat itu adalah sahabat-sahabat, yang menceritakan kembali kepada murid-muridnya, yaitu tabi’in, yang menceritakan pula kepada pengikutnya, yaitu tabi’in-tabi’in dan selanjutnya, sebagaimana yang dituliskan dalam hadist, dalam atsar dan dalam kitab-kitab ulama.
Seperti yang dimaksudkan Imam Malik bahwa barang siapa mempelajari fiqh saja tidak mempelajari tasawuf, maka dia fasik, barang siapa mempelajari tasawuf saja dengan tidak mengenal fiqh, maka dia itu zindiq, dan barang siapa mempelajari serta mengamalkan keduanya, maka itulah mutahaqqiq yaitu ahli hakekat yang sebenarnya (Kaifahmi, 2017, pp. 43-44).
Dengan demikian, titik singgung urban sufisme dengan conventional sufisme adalan terletak pada aspek pengajaran spiritualitas keagamaannya yang berorientasi pada perkara ukhrawi dan dalam pelaksanaan setiap perkara keagamaan mereka tidak terlepas dari landasan syariat serta mereka dikumpulkan dalam sebuah kelompok keagamaan berupa majelis spiritual ataupun komunitas tarekat dengan karaktaristik pengajaran spiritual masing-masing.
Editor: Soleh
keren