Opini

Urgensi Kurikulum Pendidikan Berbasis Cinta dan Welas Asih

2 Mins read

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) baru-baru ini meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) di Asrama Haji Sudiang, Makassar. Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya memperkuat moderasi beragama di tengah tantangan disrupsi sosial global dan meningkatnya krisis kemanusiaan. Kurikulum ini dirancang sebagai jembatan kemanusiaan yang mengedepankan cinta kasih sebagai landasan nilai dalam pendidikan.

Menteri Agama, Prof. Dr. H. Nazaruddin Umar, menyampaikan bahwa peluncuran KBC dimaksudkan untuk membangun hegemoni sosial yang lebih elegan dan harmonis dengan menekankan titik temu antarmanusia. “Kita bermaksud menciptakan suatu hegemoni sosial yang lebih elegan, yang lebih harmoni, dengan menekankan aspek titik temu, bukan perbedaan. Jangan sampai kita mengajarkan agama, tapi tidak sadar menanamkan kebencian kepada yang berbeda,” tegasnya pada Kamis, 24 Juli 2025.

KBC menekankan pentingnya nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab ekologis sejak dini—mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan tidak lagi semata-mata dipandang sebagai proses transfer ilmu, melainkan sebagai proses internalisasi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai cinta diharapkan menjadi fondasi dalam pembelajaran, tidak hanya di mata pelajaran agama, tetapi juga diintegrasikan dalam mata pelajaran umum. Kurikulum ini akan dilengkapi dengan rujukan literatur dan panduan praktik untuk memastikan implementasi yang komprehensif dan berkelanjutan.

Cinta dalam Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih, seorang filsuf dan teolog Muslim dari Iran, dikenal sebagai Guru Ketiga (al-Mu’allim al-Ṡāliṡ) melalui karya fenomenalnya Tahzib al-Akhlak, yang membahas pendidikan akhlak manusia. Sebagai cendekiawan multitalenta—filsuf, pustakawan, dan bendaharawan—Miskawaih menekankan pentingnya kebajikan jiwa sebagai inti dari akhlak. Akhlak, menurutnya, adalah keadaan jiwa yang mendorong perilaku tanpa harus dipikirkan secara sadar—cerminan dari laku cinta yang murni.

Baca Juga  Apakah Majelis Tarjih Muhammadiyah Masih Digdaya?

Dalam pandangannya, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dan persahabatan sebagai sarana mencapai makna dan kesempurnaan hidup. Cinta dalam konteks ini tidak hanya bersifat emosional, melainkan juga rasional—melibatkan kehendak dan akal. Cinta, menurut Miskawaih, menjadi sarana untuk meraih empat tujuan utama manusia: kebahagiaan, kebajikan, manfaat, dan perpaduan ketiganya.

Lebih jauh, cinta sejati harus diarahkan kepada Sang Pencipta sebagai wujud kebahagiaan spiritual, yang menjadi inti dari kurikulum cinta yang mengajarkan manusia untuk memahami makna kasih ilahi. Persahabatan antarsesama manusia adalah ekspresi cinta dalam konteks kemanusiaan, yang dipelajari melalui interaksi penuh kesadaran dan kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan yang didasarkan pada kasih sayang ini, sebagaimana diajarkan dalam kurikulum cinta, akan menumbuhkan rasa saling menghargai dan empati lintas batas perbedaan, membentuk jiwa yang harmonis dan penuh welas asih.

Menerjemahkan Cinta ke dalam Kurikulum Pendidikan

Konseptualisasi kurikulum cinta memerlukan keseriusan baik dalam penyusunan gagasan maupun dalam tahap implementasi. Sejalan dengan pernyataan Menteri Agama, realitas kebinekaan Indonesia menuntut adanya kurikulum yang mampu menjembatani perbedaan melalui pendekatan berbasis cinta kasih.

Dalam perspektif Ibnu Miskawaih, cinta bukan sekadar relasi personal, melainkan metodologi pendidikan yang menumbuhkan ikatan antara pendidik dan peserta didik. Hubungan yang dilandasi oleh rasa sayang dan penghargaan inilah yang akan mendorong terciptanya proses belajar-mengajar yang tulus, ikhlas, dan penuh makna.

Hal ini sejalan dengan pandangan Dr. Azaki Khoiruddin dalam artikelnya di Harian Disway, yang menekankan bahwa paradigma baru pendidikan karakter harus tumbuh bersama murid melalui bimbingan konseling. Aktivitas konseling menjadi wadah penting yang menyentuh dimensi batin dan kemanusiaan, sekaligus memperkuat peran guru sebagai pendidik dan pembimbing psikologis.

Baca Juga  Perubahan Iklim Segera Diintegrasikan ke Kurikulum Sekolah Muhammadiyah

Dr. Azaki juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi empatik sebagai salah satu dari tujuh aktivitas pelajar hebat Indonesia. Komunikasi yang penuh empati antara pendidik dan peserta didik menjadi fondasi penting bagi terciptanya suasana pembelajaran yang harmonis dan toleran—sebuah manifestasi nyata dari cinta dalam pendidik.

Editor: Assalimi

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *