IBTimes.ID – Indonesia bisa mengatasi korupsi yang sering disebut sebagai kanker stadium IV. Bangsa Indonesia tidak boleh putus asa karena Alquran mengajarkan umat Islam untuk tidak putus asa.
Hal ini disampaikan oleh Ustaz Hamim Ilyas dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya” pada Sabtu (12/12) secara daring.
Ustaz Hamim menjelaskan bahwa dalam buku Tali Ikatan Hidup Manusia, Kiai Dahlan menegaskan bahwa pemimpin harus mengenali yang dipimpin, harus membawa kemajuan, dan harus optimis karena yang dipimpin adalah manusia. Manusia pasti taat pada hukum-hukum Allah termasuk hukum kehidupan.
“Kata Kiai Dahlan, kita harus optimis untuk membawa kemajuan karena manusia itu berakal. Selama manusia itu berakal, pasti manusia itu akan memilih yang bermanfaat dan menghindari madharat,” ujarnya.
Menurut Ustaz Hamim, korupsi adalah kendala paling besar untuk melaksanakan pembangunan. Padahal, untuk bisa mengentaskan umat Islam dari keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan dari pembangunan. Ketika pembangunan terkendala oleh korupsi, maka Indonesia akan tetap terbelakang.
Ia menyebut bahwa salah satu putusan Munas Tarjih Muhammadiyah 2010 di Malang adalah tentang fiqh tata kelola dan mengandung pemberantasan korupsi dalam perspektif Islam. Hal ini bisa dijadikan rujukan teologis untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di dalam fikih tata kelola tersebut, definisi korupsi adalah perbuatan fasad fil ardh dan itu adalah perbuatan yang pertama kali dilarang oleh Alquran. Namun, meskipun itu adalah perbuatan yang pertama kali dilarang, masih banyak orang yang tetap melakukan.
“Mestinya larangan yang pertama kali dijauhi adalah al-fasad fil ardh,” jelasnya.
Pandangan Islam tentang korupsi berangkat dari tiga istilah. Pertama, ghulul. Ghulul adalah mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan. Dalam pemberantasan korupsi, ghulul berarti komisi.
Ustaz Hamim menjelaskan bahwa potongan belanja termasuk ke dalam ghulul. Ghulul dalam Alquran dihukum dengan apa yang dia ambil.
“Kalau yang dikorupsi adalah uang untuk membangun jembatan, besok ia di akhirat akan membawa jembatan itu. Kuat apa enggak?” imbuhnya.
Kedua, riswah. Penyuap dan penerima suap tempatnya di neraka. Ada sebagian masyarakat yang berdasarkan fiqh, mengutip Ibnu Abbas meyakini bahwa ketika hak seseorang tidak dipenuhi oleh negara, maka orang tersebut boleh menyuap pejabat negara supaya haknya dipenuhi.
“Banyak yang berpandangan seperti itu. Di Lazismu juga sering ada pertanyaan seperti itu. Boleh enggak zakat itu digunakan untuk biaya politik yang diusung oleh Muhammadiyah? Saya tetap menjawab tidak boleh,” tegas Ustaz Hamim.
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menyebut bahwa dulu, para rahib Yahudi sering melakukan diskriminasi hukum. Jika yang memiliki perkara adalah Yahudi darah biru, maka ia diuntungkan oleh keputusan rahib. Namun ketika yang memiliki perkara adalah Bani Quraizhah yang bukan darah biru, maka hak-haknya tidak dipenuhi. Suapan Yahudi darah biru ini juga termasuk suap jenis ketiga.
Pelaku korupsi memiliki dua motif, yaitu motif intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah ketamakan. Adapun faktor ekstrinsik adalah faktor diluar diri.
Ia menyebut ayat politik yang sentral adalah Surat An-Nisa ayat 58 & 59. Dua ayat ini mengandung enam asas yang dapat digunakan untuk membangun masyarakat islami. Antara lain asas amanah, keadilan, ketuhanan, kerasulan, ulil amri, dan legalitas.
“Maka jangan salah kaprah mengutip ayat politik,” tegasnya.
Menurutnya, ada sepuluh jalur yang bisa ditempuh untuk memberantas korupsi. Di antaranya adalah jalur keagamaan. Jalur keagamaan berarti mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih menghayati ajaran agamanya. Karena penghayatan terhadap agama secara benar akan mendorong orang untuk menghindari tindak pidana korupsi.
Reporter: Yusuf