Menarik untuk membahas utopia cita-cita khilafah versi hizbut tahrir dan pertentangannya dengan demokrasi. Ideologi yang tumbuh sejak dahulu, dibangun atas kesepatakan pendiri bangsa dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Demokrasi dicap suatu hal yang tabu karena banyak kriminalitas, ketidakadilan dan menghidup-hidupi kapitalisme.
Menurutnya kondisi seperti ini dapat menyengsarakan umat. Ide tentang khilafah coba ditawarkan dan berharap ada peruntungan yang dapat merubah nasib masyarakat dalam suatu negara. Salah satu negara itu ialah Indonesia.
Khilafah Versi Hizbut Tahrir
Sudah sebulan yang lalu saya melakukan dialog dengan aktivis Hizbut Tahrir. Dilihat dari prestasi akademiknya lumayan bagus dan bisa dibilang dia berpengaruh dalam suatu gerakan mahasiswa yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Dialog ini sebenarnya lanjutan percakapan kami dari grup WhatsApp. Pada awalnya saya membagi-bagikan berita tentang Covid-19 yang sangat bahaya itu. Kemudian ada anggota grup yang menanggapi lalu dalam percakapan itu, kami menghendaki untuk diskusi bersama. Namun sayang, yang diskusi hanya kami berdua. Anggota grup yang memiliki ide kumpul untuk diskusi tidak bisa hadir.
Kita lanjut diskusi dan malah merambah ranah ideologi dan politik. Pelan-pelan kami berdialog, dia menjelaskan ide khilafah versi Hizbut Tahrir dan saya pun mencoba mendengarkan dengan seksama sembari memberi sanggahan. Sembari sesekali bertanya di sela-sela penjelasannya.
Baik, saya tidak menafikan apa yang menjadi ijtihad Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani yang menghasilkan ide khilafah versinya. Bukan berarti dengan demikian saya mendukung tegaknya khilafah, sama sekali tidak jika di Indonesia.
Saya sangat menghargai pemikiran Syaikh Taqiyuddin An-Nabani. Meskipun hemat saya mengatakan, itu sangat utopis. Sebagai penutup dan perlu diketahui bersama, beliau merupakan pemikir yang produktif. Tercatat ada tiga puluhan kitab yang telah beliau tulis dan yang saya temukan baru tiga kitab—akses menuju mendapatkannya kurang saya pahami. Hasil pemikiran Syaikh Taqiyuddin An-Nabani perlu kiranya kita apresiasi terlepas dari apapun itu.
Dan yang jelas, saya kurang sepakat jika Hizbut Tahrir dikategorikan sebagai ormas. Saya rasa Hizbut Tahrir lebih condong ke partai politik, karena mereka sudah selesai dengan masalah furu’iyah peribadatan kepada Allah SWT. Pendek kata mau ikut mazhab apapun boleh dalam keanggotaannya. Namun, dalam urusan sosial politik mereka harus mengikuti Syaikh Taqiyuddin An-Nabani.
Utopia Cita-cita Khilafah
Dalam dakwahnya, mereka selalu memberi pemahaman mengenai bahaya dan sistem kapitalisme. Mereka juga menggugat sistem demokrasi yang dinilai produk-produk orang kafir. Padahal menurutnya Islam sudah mengatur itu semua. Sebagaimana tertuang dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad;
ثم تكون خلافةعلا منهاج النبوة
“Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian” (HR. Ahmad).
Saya belum tahu bagaimana penjelasan hadis ini dari ulama NU dan Muhammadiyah. Tetapi, sempat waktu itu ikut ngajinya Gus Baha’ via youtube saat beliau membahas tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin As-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli yang tersohor itu.
Beliau menjelaskan, memang khilafah itu akan tegak namun tidak seperti apa yang dimaui oleh orang-orang Hizbut Tahrir. Karena tegaknya khilafah hanya Allah yang tahu, kapan itu: wallahu a’lam.
Berkali-kali ia kekeuh menyalahkan demokrasi yang menurutnya gagap menghadapi tantangan zaman dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang berkecamuk. Pemilihan dengan cara coblosan dinilai tidak ideal dan banyak kecacatan.
Suara seorang preman dihargai sama dengan para ulama. Banyak pemimpin yang tidak amanah dan bualan janji-janji manis, diduga biang dari produk demokrasi. Hingga ia yakin dengan khilafah versinya, umat akan baik.
Catatan untuk Pegiat Khilafah
Saya memiliki catatan penting tentang utopia cita-cita khilafah versi Hizbut Tahrir yang teramati dari argumentasi mereka. Pertama, ia mengkritik bahkan anti terhadap kapitalisme, namun tetap saja menggunakan produk-produk kapitalisme.
Sebenarnya gampang saja, jika kapitalisme dinilai tidak baik, seharusnya mendirikan amal usaha yang jauh dari nilai kapitalisme. Tapi apakah mungkin? Saya kira tidak. Sebersih apapun amal usaha, sedikit banyak pasti juga ada unsur kapitalis.
Kedua, mereka secara lantang mengkritik demokrasi dan menganggap demokrasi produk dari orang-orang kafir. Namun ia menggunakan cara penyampaian aspirasi maupun kritik dengan mengadakan demonstrasi.
Bukankah demonstrasi bagian yang tidak terlepaskan dari sistem demokrasi? Jika negara ini tidak menggunakan sistem demokrasi, saya pastikan demonstrasi tidak ada. Demokrasi untuk semua, tidak mengenal agama, suku, ras, maupun ormas.
Ketiga, mereka menggunakan kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi dengan sebaik-baiknya, sehingga tulisan-tulisan tentang tegaknya khilafah berceceran di mana-mana. Bagaimana jika negara ini tidak memakai sistem demokrasi, mungkin tulisan-tulisan besar tentang khilafah di saat melakukan demonstrasi tidak mungkin bakal ada.
Narasi-narasi yang mereka bangun hanya akan terpendam dalam intern komunitas. Sebetulnya, dari hemat saya, mereka kurang memahami demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi, anda sekalian boleh berpendapat, boleh mengikuti ormas apapun, agama apapun dan partai politik apapun, tidak ada pemaksaan kehendak pribadi atas pribadi yang lain.
***
Mereka tidak sadar bahwa domokrasilah yang menjamin suara mereka tetap menggaung. Pasca pembubaran secara resmi oleh Pemerintah, mereka tetap bisa eksis, memang itulah cara kerja demokrasi. Menjamin hak-hak wara negara.
Jeleknya demokrasi bukan karena demokrasi itu sendiri, bukan, melainkan karena orang yang menjalankannya. Oleh karenanya kita memiliki kewajiban untuk mendidik dan membentuk anak-anak muda menjadi calon-calon pemimpin yang handal, amanah, dan adil. Saya percaya, jika dididik dengan baik akan bermanfaat dan jauh dari tuduhan-tuduhan Hizbut Tahrir.
Editor: Nabhan