Inspiring

Buya HAMKA: dari Panji Masyarakat Hingga ke Hati Umat

4 Mins read

Oleh : Nibros Hassani

“Lapangan siasat bukan medanku, Aku dikenal seorang pujangga.

Yang bersayap terbanglah laju. Aku kan tetap pahlawan pena”

(Pidato HAMKA dalam rangka menyambut datangnya abad ke-15 H di Taman Ismail Marzuki)

Dalam sebuah tulisan berjudul “Buya Hamka dan Media” yang ditulis oleh Roni Tabroni, keteladanan Buya HAMKA secara dominan digambarkan melalui peranannya sebagai jurnalis surat kabar masa itu. Tulisan ini hendak menambahkan tulisan sebelumnya, terkait peranan HAMKA dari sisi lain yang terangkum dari beberapa peristiwa dalam kilas balik sejarah; menjadi sebuah memoar dari penulis dalam rangka menyambut hari lahir seorang ulama multitalenta dari tanah Maninjau, pada usianya yang kini telah mencapai lebih dari 11 dekade. 

Barangkali bila HAMKA memutuskan untuk tidak memuat tulisan Mohammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”, majalah Panji Masyarakat tidak akan masyhur dan mendapat ruang lebih pada hati sejarawan Islam. Selain menjadi media massa Islam yang terhitung lebih sukses bertahan dibanding majalah lainnya, Panji Masyarakat berjasa dalam menceritakan tragedi-tragedi nasional yang terjadi pada kurun waktu tersebut.

Gambaran ini penulis dapatkan setelah membaca rangkaian tulisan yang diterbitkan ulang oleh Gema Insani Press pada tahun 2017 berjudul “Dari Hati ke Hati”. “Dari Hati ke Hati” merupakan salah satu rubrik dalam Panji Masyarakat—diantara rubrik lainnya seperti Mutiara Hikmah, Surat Pembaca, Forum Pendapat, yang ditulis rutin oleh HAMKA selama memimpin majalah tersebut. Panji Masyarakat sendiri ketika itu mengusung motto “Majalah Penyebar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan untuk Dakwah dan Pembangunan Umat”. 

Dalam buku ini, tulisan HAMKA dibagi menjadi 3 kluster bahasan : Agama, Sosial Budaya (yang terbagi lagi menjadi dua cakupan), dan Politik. Mulai dari bab agama, mula-mula pembaca akan dibawa pada permasalahan menyangkut aqidah, akhlak dan ibadah. Disebutkan, Akhlak dalam definisi HAMKA ialah sifat tabah dan teguh, sedangkan ibadah artinya percaya kepada takdir dengan menggiatkan usaha dan menimbulkan ilham. Dalam bab ini, HAMKA juga mengangkat kisah A.R Sutan Mansur ketika mengingatkan presiden saat itu untuk “Kembali Ke Masjid” yang justru disambut oleh sang presiden sebagai—dalam diksinya—cemoohan.

Baca Juga  Hamka & Bung Karno: Potret Persahabatan Ulama dan Negarawan

“A.R. St. Mansur menghadapi seorang yang mengambil dari Islam gelar-gelar yang mentereng untuk jadi pakaian, yaitu ketika perlu akan dipakai dan bila perlu ditinggalkan pula,” (hal.60)      

Pada paragraf selanjutnya, HAMKA dengan jelas menyebutkan Soekarno mengagungkan Marxisme :

“Oleh karena itu, ajakan Abuya A.R Sutan Mansur supaya Bung Karno kembali ke masjid tetapi disambut dengan permusuhan adalah bukti yang penting dan sangat terang sebagai tambahan bahwa dalam dada Bung Karno Marxisme-lah yang lebih hidup, lebih hakiki. Karena salah satu prinsip ajaran Marxisme yang dipegang teguh oleh kaum Komunis ialah memusuhi sekalian orang yang tidak mau menuruti teori dan ajarannya, walaupun soal yang diperselisihkan sudah lapuk. Sebagaimana kita lihat betapa dahsyatnya sikap permusuhan Stalin kepada Trotsky” (hal.61)

HAMKA memang cukup dikenal dengan kritiknya yang tajam, temasuk ketika mengritik Muhammadiyah, organisasi yang ia juga kembangkan karena dianggap tidak tepat memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang Ilmu Tauhid kepada Soekarno, yang kebetulan juga dipromotori oleh Baroroh Baried. Baroroh Baried yang kini dikenal sebagai profesor perempuan pertama di Indonesia.

Dalam bahasan Sosial Budaya, HAMKA pun menaruh kepedulian dalam bidang linguistik. Ia mengamanatkan kepada generasi muda Islam ketika itu untuk tidak terlalu mengistimewakan bahasa asing (baca : bahasa Belanda) untuk membuktikan seseorang cerdas atau bukan, sehingga tipis rasa bangganya terhadap bahasa negara sendiri. Pengetahuan hari ini ialah hak universal, sehingga dalam membuka kuncinya harus menggunakan banyak sudut, dari segala bangsa dan negara. Begitupun juga dalam berpikir Islam modern.

Selain itu, dalam topik lain berjudul “Peristiwa Makassar”, yang membahas kegaduhan atas pengrusakan gereja masa itu,  HAMKA rupanya sempat mengkritisi Muchtar Lubis yang dianggapnya tidak tepat memberi nasihat kepada pemuka agama, para kiai dan haji saat itu dalam harian KAMI. Hamka menilai, Mochtar Lubis mengalamatkan kesalahan dan tanggung jawab kepada mereka. Tulis HAMKA,

Baca Juga  Seabad TK ABA (1919-2019): Mendulang Generasi Emas

“orang tidak perlu harus sepintar Muchtar Lubis lebih dahulu mengerti bahwa perbuatan itu tidak boleh. Bukan semata-mata ‘demi Pancasila’,  bahkan lebih dari itu, yaitu Islam memerintahkan memelihara tempat-tempat orang beribadah”  

Hingga pada kluster terakhir yakni Politik, semakin nampaklah HAMKA sebagai ulama yang cerdas dan berani. Pernah dalam satu khutbahnya di Masjid Al-Azhar dengan lantang ia mengatakan kepada jamaah : “sekarang ini Islam dalam Bahaya”, yang kemudian dibalas oleh Soekarno dalam pernyataannya : “Islam tidak dalam bahaya, yang dalam bahaya ialah yang berkhutbah itu sendiri”. Kejadian itupun ia bahas dalam tulisan berikutnya melalui analisa yang mendalam dan referensi yang luas. 

Aktivitas HAMKA sebagai jurnalis yang menuntut ia harus mengerti banyak soal, disamping ia teramat giat membaca buku, membuatnya banyak menulis perihal politik. Tapi, sebagaimana disebutkan oleh Rani Tabroni, bahwa HAMKA bukan kuli tinta—sebab kuli tinta hanya menulis sebab pekerjaannya—ia pun menjadikan aktivitasnya sebagai salah satu syiar Islam.

Penulis teringat dengan kajian yang penulis ikuti di salah satu masjid kawasan Otista, dimana Azizah HAMKA selaku anak kandung Buya ikut hadir menjadi pembicara. Selain bercita-cita menjadi pujangga, HAMKA memang tidak menaruh minat pada politik praktis. Pun ketika ia juga merupakan bagian dari Masjumi, ia hanyalah “korban politik” saat itu, ketika Natsir dan Agus Salim memintanya untuk masuk.

Pada akhirnya, penulis mengamini apa yang HAMKA sendiri ucapkan dalam pidatonya untuk menyambut abad ke-15 H di Taman Ismail Marzuki sebagaimana telah dikutipkan pada permulaan tulisan. Karirnya sebagai jurnalis sejak majalah Tentara Makassar terbit tahun 1931 hingga berdirilah juga Pedoman Masyarakat, membuatnya harus berinteraksi dengan situasi politik pada masa itu secara tidak langsung. Hingga kini, sebagaimana mulai banyak buku dan tulisan yang beredar membahas HAMKA dan karyanya sebagai objek pembelajaran, HAMKA jugalah rolemodel yang melampaui banyak bidang. Ia bersama karyanya ibarat telaga murni yang airnya bisa diambil untuk mencegah haus hingga tak berkesudahan.

Baca Juga  Gus Yaqut, Membela Hak Minoritas

Pun dibanding perannya sebagai politisi, HAMKA tetaplah pahlawan pena, meski dengan kiprahnya menebar kebermanfaatan di banyak sisi itu: penulis, pejuang, politisi, ataupun ulama—kesemuanya akan selalu dikenang umat.      

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *