Inspiring

Gus Yaqut, Membela Hak Minoritas

3 Mins read

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan reshuffle kabinet Indonesia Maju. Ada enam nama baru dalam kabinet, dan salah satunya adalah Gus Yaqut yang mengisi kursi Menteri Agama, yang sebelumnya dipegang oleh Fahrul Razi. Munculnya nama Gus Yaqut tentu mengejutkan banyak pihak.

Sebagai Ketua GP Ansor, sosoknya juga sarat kontroversi. Ia dikenal cukup keras terhadap beberapa kelompok, seperti FPI, HTI, dan beberapa kelompok Islam lainnya.

Oleh karenanya, banyak pihak yang tidak menyukai ketika ia ditunjuk oleh Presiden sebagai Menteri Agama yang baru. Walaupun begitu, banyak juga yang mendukung kiprahnya dalam melawan kelompok-kelompok Islam yang dinilai keras dan radikal.

Mengenal Gus Yaqut

KH. Yaqut Cholil Qoumas, yang lebih dikenal sebagai Gus Yaqut atau Gus Tutut, ia lahir di Rembang, pada 4 Januari 1975. Ia adalah putra dari KH. Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri PKB, dan adik dari KH. Yahya Cholil Staquf, atau yang dikenal dangan Kiai Staquf, yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga akrab dikenal sebagai Ketua Umum GP Ansor, salah satu sayap gerakan NU di kalangan pemuda.

Pria berumur 45 tahun ini adalah Menteri Agama di Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dilantik pada 23 Desember lalu. Sebelum menjadi Menteri Agama, ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa.

Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Rembang periode 2005–2010 dan Anggota DPRD Kabupaten Rembang periode 2004–2005.

Ahmadiyah, Syiah, dan Hak Minoritas

Perlu diakui, sebagai bangsa yang majemuk, kita masih punya banyak sekali pekerjaan rumah terkait toleransi dan kerukunan beragama. Kita mungkin sering kali mengklaim sebagai bangsa yang menjunjung tinggi toleransi. Namun faktanya, diskriminasi atas kelompok-kelompok minoritas juga masih kerap kali terjadi. Dua di antaranya adalah kelompok Syiah dan Ahmadiyah.

Baca Juga  Menag Lepas Penerbangan Haji Perdana dari Bandara Kertajati

Di tengah diskriminasi itu, perkataan Menteri Agama Gus Yaqut pada Kamis, 24 Desember 2020 lalu, bahwa akan mengafirmasi keberagamaan Syiah dan Ahmadiyah, cukup memberi angin segar bagi kehidupan toleransi beragama di Indonesia.

Menurutnya, orang-orang Syiah dan Ahmadiyah juga warga negara Indonesia. Sebagai warga negara, kedudukannya setara dengan warga negara lainnya yang berasal dari kelompok mayoritas, misalnya. 

Gus Yaqut juga sempat memberi klarifikasi atas statementnya itu, “Sekali lagi, sebagai warga negara, bukan jemaah Syiah dan Ahmadiyah, karena semua warga negara sama di mata hukum”, kata Gus Yaqut dalam salah satu klarifikasinya.

Sehingga, jelas bahwa Gus Yaqut tidak hendak mengistimewakan Syiah dan Ahmadiyah, namun hanya mendudukkan mereka setara dengan warga negara yang lainnya.

Menurut Azyumardi, salah satu intelektual muslim terkemuka asal Indonesia, para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram, telah mengalami persekusi oleh kelompok lain.

Kelompok-kelompok Islam mayoritas umumnya mengusik hak beragama kelompok Syiah dan Ahmadiyah dengan alasan bahwa dua kelompok tadi telah menyimpang dari ajaran Islam.

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.

“Di wilayah yang mayoritas Kristen, Katolik susah bikin gereja. Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun”, kata Azyumardi. Sehingga, Kemenag harus hadir sebagai mediator untuk memediasi, dan sekaligus menghidupkan semangat toleransi di tengah-tengah umat beragama di Indonesia.

Agama Milik Pribadi bukan Negara dan Ormas

Terlepas dari beberapa tokoh yang mempermasalahkan ucapan Gus Yaqut soal Syiah dan Ahmadiyah, kita patutlah mendukung gagasan-gagasan Menteri Agama yang berusaha menjaga toleransi di tengah keberagamaan di Indonesia.

Baca Juga  KH Hasan Ali, Tokoh Muhammadiyah Bali yang Teguh dan Moderat

Perlu kita pahami bersama bahwa baik Syiah, Ahmadiyah, bahkan NU dan Muhammadiyah, semuanya adalah warga negara. Tidak ada yang lebih unggul dari yang lainnya. Karena di depan hukum, semuanya setara sebagai warga negara.

Sudah saatnya kita berhenti memandang rendah mereka yang barangkali tidak sama dengan kita dalam hal agama, bukankah kita semua sama dalam kemanusiaan?

Agama adalah hak setiap warga negara di Indonesia. Tidak ada satu pun orang yang boleh melarang seseorang menjalankan praktik keagamaannya. Pun sebaliknya, tidak boleh ada paksaan atas agama apa yang harus dianut oleh seseorang.

Agama adalah urusan pribadi tiap-tiap insan manusia. Ormas, bahkan negara, sekalipun tidak boleh mengganggunya. SKB Tiga Menteri yang dibuat untuk penganut Ahmadiyah juga perlu kita pertanyakan kembali, mengapa negara mengurusi agama apa yang harus dianut oleh warga negaranya?

Campur tangan negara, dan yang lebih parah ormas, dalam hak privasi seseorang, tentu tidak dapat diterima. Apalagi di negeri demokrasi, seperti Indonesia. Harusnya, negara melalui Kemenag fokus saja menjadi penengah. Turut serta mencarikan solusi bagi perseteruan dan kesalahpahaman yang terjadi, bukan malah terlibat aktif dalam konflik yang terjadi.

Sebagai warga negara, kita harus lebih giat lagi menumbuhkan ruang-ruang dialog, untuk saling mengenal satu sama lainnya, bukan malah saling memusuhi. Bukankah perbedaan Allah ciptakan supaya kita saling mengenal? (Al-Hujurat: 13).

Harapan ke depan, berhubung Gus Yaqut juga baru beberapa hari menjabat sebagai Menteri Agama, tentu percakapan kita tadi hanya sebatas hal-hal yang diwacanakan oleh sang Menteri. Harapan saya, tentu saja agar wacana-wacana tadi tidak hanya sebagai lipservice di awal pelantikan, dan benar-benar dijalankan.

Menteri Agama harus netral dalam menyikapi konflik antar (aliran dalam) agama. Ia harus menjadi mediator yang adil dan mampu menghadirkan solusi di tengah konflik tersebut. Tidak hanya di antara kelompok-kelompok Islam, tapi juga kelompok-kelompok agama lain yang juga hidup di Indonesia.

Baca Juga  Temukan Model Toleransi, Mahasiswa UNY Lolos PIMNAS ke-34

Editor: Lely N

Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *