Di tengah maraknya isu-isu intoleran, radikalisme dan terorisme di Indonesia, tentu yang menjadi sorotan dunia adalah wajah umat Islam. Pasalnya, ada beberapa kelompok umat Islam yang mengusung narasi dan melakukan aksi tersebut.
Di Indonesia, aksi intoleran, radikalisme dan terorisme banyak dilakukan oleh kelompok dari umat Islam. Misalnya pengeboman yang terjadi di Bursa Efek Jakarta tahun 2000. Pada tahun akhir tahun 2020, terjadi pengeboman di Sigi oleh Mujahidin Indonesia Timur. Terakhir, tragedi penusukan Syekh Ali Jaber saat mengisi pengajian di Masjid Falahuddin Bandar Lampung. Begitu panjang rentetannya peristiwa serupa, seakan ada di tiap tahunnya dan berkesinambungan.
Preseden di atas secara tidak langsung membangun stigma masyarakat tentang Islam. Bahwa Islam itu keras, radikal, dan teroris. Ditambah fenomena sebagian ustadz belakangan ini dengan narasinya yang mengkafirkan sesama. Hal ini bukan hanya mencoreng nama Islam tapi juga memecah belah umat beragama, menyulut pertikaian dan konfik horizontal. Tentu yang demikian sangat berbahaya.
Berdasarkan uraian di atas pertanyaan besarnya adalah apakah benar ajaran agama Islam demikian? Menjadi sumber sikap intoleran, radikalis hingga teroris. Jika tidak, lantas bagaimana sejatinya wajah Islam? Kiranya pertanyaan itulah yang akan saya urai dalam tulisan ini.
Wajah Islam Rahmatan lil ’Alamin
Agama Islam dibawa oleh nabi Muhammad Saw sebagai agama rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi seluruh alam). Wa maa arsanaka illa rahmatan li’alamiin. Artinya Islam bukan hanya untuk umat Islam tapi seluruh alam semesta ini baik manusia, hewan, hingga tumbuhan. Dari sini saja dapat kita simpulkan bahwa agama Islam sesungguhnya agama yang bukan hanya humanis tapi juga cinta alam.
Secara bahasa kata “Islam” serumpun dengan kata “salam”. Islam artinya penyerahan diri dengan basis keimanan dan salam artinya damai. Maka jika seorang telah berIslam semestinya pasrah atas iman kepada Allah dan mencintai kedamaian. Mencintai kedamaian berarti mencintai sesamanya baik saudara seagama maupun saudara sebagai manusia.
Nabi pernah berkata: “Orang yang disebut muslim adalah yang selamat (terpelihara) sesama Islam dari lidahnya dan tangannya” (HR. Ahmad). Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sesungguhnya sangat menjaga umatnya. Jangankan menyerang atau mengebom, bahkan sejak dari lisannya umat Islam telah terjaga.
Islam sangat mengajarkan umatnya tentang nilai-nilai persaudaraan dan persatuan. Persaudaraan di antara sesama umat muslim (Al-Hujurat 10) dan sesama manusia dan bahkan sesama manusia yang berbeda agama (Al-Hujurat 13).
Sahabat nabi Ali bin abi Thalib juga pernah berkata: “jika dia bukan saudaramu seiman maka dia saudaramu dalam kemanusiaan”. Itulah secercah bukti bahwa ajaran Islam sesungguhnya adalah rahmat bagi seluruh alam semesta.
Bahkan sesungguhnya tidak perlu jauh-jauh melihat wajah Islam yang ramah. Dalam kehidupan sehari-hari agama Islam mengajarkan untuk mengucap salam (Assalamualaikum) jika bertemu dengan saudaranya. Salam adalah do’a yang terus dipanjatkan umat Islam kepada sesama hampir setiap hari. Bahkan untuk orang yang telah meninggal sekalipun.
Umat Islam jika hendak berziarah maka adab untuk masuk area kuburan salah satunya mengucap salam. “Assalamualaika dara qaumi mu’minin, wa inna insyaAllah bikum lahiqun” (Semoga keselamatan bagi tuan perkumpulan orang-orang mukmin, sesungguhnya kami, jika Allah menghendaki akan menyusul kalian). Sejatinya sungguh indah ajaran Islam.
Ajaran Islam juga menjunjung tinggi perihal kesetaraan. Inna akramakum indallahi atqookum (Sesungguhnya Kami memuliakan di antara kamu sekalian atas dasar takwamu). Artinya yang membedakan antara satu dengan yang lainnya bukan pangkat atau jabatan, bukan rendah tingginya gaji, melainkan semata-mata karena ketaatan dan ketakwaan mereka kepada Allah.
Tentang kesetaraan Nabi juga berkata di momen haji Wada’: “Segala sisa kepincangan zaman jahiliyah dihabiskan pada waktu ini. Tak ada lagi mengunggulkan diri karena keturunan. Umat manusia adalah keturunan Adam, dan Adam berasal dari tanah”. Artinya sesungguhnya semua manusia itu sama, tidak ada yang lebih superior antara satu dengan lainnya.
Dengan uraian di atas kita bisa memahami bahwa Islam sesungguhnya adalah rahmat bagi seluruh alam. Ajaran yang menjunjung tinggi kesetaraan, persaudaraan dan perdamaian. Lebih jauhnya, Islam juga mengajarkan umatnya untuk cinta tanah air dan memiliki sikap nasionalisme.
Islam Cinta Tanah Air
“Hubbul wathan minal iman” (mencintai tanah air adalah bagian dari iman). Islam adalah agama yang menyeru untuk cinta tanah air, jelas menurut Buya Hamka dalam bukunya Pandangan Hidup Muslim. Seorang harus memiliki sikap nasionalisme tapi jangan keblinger—berlebihan. Nasionalisme juga memiliki batas yaitu kemanusiaan. Ajaran Islam mengajarakan cinta tanah air tanpa mengambaikan sisi kemanusiaan.
Islam mengajarkan cinta tanah air yang berdiri di atas kemanusiaan. Umat Islam Indonesia harus mencintai tanah air sebagai tanah kelahiran yang ditakdirkan Tuhan untuknya. Islam bukanlah Arab sehingga harus “kearab-araban”. Apalagi sampai membenci tanah air sendiri. Sekali lagi, Islam mengajarkan umatnya untuk cinta tanah air dan itu adalah bagian dari iman. Maka perlu kita dipahami bahwa manusia diciptakan memang berbangsa dan bersuku-suku.
“Wahai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling betakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.” (Al-Hujurat: 13).
Menurut Hamka, “li ta’arafu” (untuk saling mengenal) artinya saling mengerti bukan memaksakan. Ajaran nabi Muhammad sesungguhnya untuk seluruh umat dimanapun ereka berada. Misalnya umat Islam Indonesia harus menjalankan agamanya secara kontekstual. Menyesuaikan dengan kondisi sosio-kultural yang ada, karena sejatinya Al-Islam shalihun li kulli zaman wa al-Makan (relevan dengan setiap tempat dan setiap waktu).
Untuk sampai pada proses aktualisasi pemahaman tersebut. Umat Islam memerlukan kedewasaan diri dalam beragama dan sikap toleran terhadap sesama manusia. Kata nabi: “Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun fenomena radikalisme, terorisme dan intoleran yang terjadi belakangan ini. Barangkali terjadi karena kegagalan dalam memahami ajaran agama Islam. Maka tidak salah jika perkataan Jamaluddin al-Afghani hingga saat ini masih relevan: “Al-Islam mahjubun bil muslim” (Islam tertutup oleh keadaan umat Islam sendiri).
Oleh sebab itu, saya mengajak umat Islam untuk tidak hanya kembali ke Al-Qur’an dan sunnah. Tapi berangkat dari kedua masdar syariat tersebut. Menggali kembali pemahaman yang komprhehensif dan kontekstual atas ajaran agama Islam. Terkhusus, dalam memandang ajaran Islam dan relasinya dengan cinta tanah air. Sehingga dengan itu diharapkan mampu tercipta wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Editor: Yusuf