Perspektif

Wajah Islam Milenial: Berkemajuan atau Berkemunduran?

4 Mins read

Seiring dengan berkembangnya informasi-informasi atau kajian keislaman yang merebak di media sosial, anak-anak muda menjadi mudah untuk belajar agama. Sebuah fakta yang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Kabar gembiranya adalah mereka tak perlu kesusahan lagi belajar agama, cukup dengan memiliki gadget dan kuota internet.

Namun menjadi sebuah kekhawatiran juga ketika kita mendapati fakta bahwa tidak semua dari mereka memiliki filter untuk menyaring beragam kajian keislaman yang ada. Mana yang sebaiknya diikuti dan mana yang sekedar untuk diketahui saja.

Ketidakmampuan mem-filter itulah yang dikhawatirkan. Sebab nantinya berpotensi besar menggiring anak muda ke arah ber-Islam yang berkemunduran. Tidak maju dan membuat peradaban Islam stagnan. Namun hal itu bukan sesuatu yang final. Karena itu boleh jadi hanya sebagian dan yang nampak saja.

Adapun yang tak nampak, kita masih belum ketahui secara jelas. Dengan begitu, menjawab pertanyaan bagaimanakah wajah Islam milenial, berkemajuan atau berkemunduran? Bukanlah perkara gampang. Namun tetap akan coba kita jawab dengan mengangkat data-data seputar milenial yang berkaitan dengan Islam.

Siapa Milenial Itu?

Milenial. Sebuah kata yang sangat akrab dengan kita saat ini. Namun ketika ditanya tentang siapa itu milenial? Bagaimana maksud dan pengertiannya? Yakinlah tidak semuanya dapat menjawab. Kalaupun ada, bisa dipastikan pendefinisiannya jauh dari kata tepat. Lantas, siapakah milenial itu? Mari kita lihat beberapa definisi di bawah.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa yang dimaksud milenial itu adalah generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an.

Adapun milenial menurut wikipedia, hampir senada dengan KBBI, adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga 2000-an sebagai akhir kelahiran.

Baca Juga  Refleksi Setahun Pemilu Serentak; Rakyat Makin Melek Politik

Namun pertanyaan selanjutnya, siapakah yang pertama kali mencetuskan istilah ini? Dari beberapa sumber yang ada, dijelaskan bahwa yang pertama kali mencetuskan adalah William Strauss dan Nell Howe terutama melalui buku-buku mereka Generations: The History of Amerika’s Future Generation, 1584 to 2069 (1990) dan Millennials Rising: The Next Great Generation (2000).

Ada beberapa karakteristik yang dilekatkan pada generasi ini. Di antaranya ialah milenial adalah generasi yang kehidupannya cenderung susah melepaskan diri dari teknologi informasi, terutama internet. Internet sudah sedemikian terikat dengan generasi ini. Bahkan sebuah penelitian mengungkapkan, dalam sehari rata-rata generasi milenial bisa berinteraksi dengan internet dalam waktu paling minimal 3 jam. Artinya ada juga yang mengambil waktu di atas dari itu.

***

Itu adalah salah satu dari sekian karakteristik generasi milenial dan masih banyak lagi yang lain. Sengaja yang diangkat cuma ini. Karena ia yang relevan dengan pembahasan kita saat ini. Kedekatan milenial dengan internet telah membuat mereka banyak menjadikan turunan-turunannya sebagai wadah dalam menuntut ilmu agama.

Anggap saja Youtube, Facebook, Instagram, dan Whattsapp. Pada media sosial yang disebutkan itu, sudah banyak terpampang dan digelar kajian-kajian Islam. Tugas pengguna adalah tinggal memilih mana yang akan ditontonnya.

Harus diakui, wacana-wacana keislaman yang konservatif lumayan mendominasi jagat maya kita. Adapun yang moderat, progresif sampai dengan yang dianggap liberal meskipun memiliki banyak penikmat atau follower, tetap saja masih belum sebanyak yang konservatif.

Islam Milenial: Berkemajuan atau Sebaliknya?

Untuk mengukur apakah cara ber-Islam kalangan milenial sekarang itu berkemunduran atau berkemajuan, saya merujuk pada tiga hal:

Pertama, tokoh Islam dengan paling banyak pengikut, penikmat dan follower kajiannya di media sosial. Karena dari situ kita nanti akan mudah menebak dan membaca ke mana kecendrungan beragama kalangan milenial. Sepanjang yang saya lihat, tokoh yang banyak memiliki follower di media sosial adalah mereka mereka yang punya pandangan keagamaan konservatif. Sebut saja yang paling depan ada Felix Shiauw, pejuang khilafah yang juga banyak menghantam orang-orang yang dianggapnya ‘menyimpang’. Kemudian menyusul Hawariyyun, anak ideologis dan murid Felix Shiauw. Juga masih banyak yang lain.

Baca Juga  Berhenti Menilai Buruk Orang Lain

Jika tokoh-tokoh Islam yang demikian yang menjadi rujukan dan memiliki banyak pengikut di media sosial, tentu cara ber-Islam milenial kita tidak jauh-jauh dari situ. Coba lihat dan perhatikan media sosial milik tokoh Islam moderat seperti KH. Nadirsyah Hosen dan Habib Husein Ja’far al-Hadar. Followernya masih kalah jauh dibanding tokoh-tokoh yang saya sebut di atas. Padahal secara konten, keduanya bisa dibilang lebih menyuarakan Islam yang lebih ramah terhadap perbedaan, rasional, lembut dan santun.

Kedua, buku bacaan yang menjadi rujukan. Untuk hal ini, saya sedikit menyimpan kritik terhadap mereka yang menyuarakan Islam moderat, progresif, dan berbudaya (artinya ramah terhadap budaya lokal). Yakni mereka dalam menyajikan pemikiran dan konten-konten keagamaannya masih menggunakan cara-cara lama. Bahasa-bahasa yang digunakan terlalu teknis, berat, dan terkesan elitis. Makanya kemudian tidak heran jika bukunya hanya menjadi konsumsi kalangan khusus.

Bahasa mereka teramat sukar dipahami. Padahal milenial ini tidak suka berpikir berat dan yang rumit-rumit. Karenanya jika ingin diterima dan tetap mudah dijamah, para pemikir dan penyaji konten-konten itu harus bersedia merendahkan bahasanya dan menyesuaikan dengan keadaan pasar (mad’u). Tidak ada salahnya seperti itu. Sebab yang penting adalah subtansinya tersampaikan.

Tahukah kita apa akibat dari bahasa yang terlalu teknis, berat, dan elit dari kalangan Islam moderat, progresif, dan berbudaya di atas? Milenial jadi lebih sering merujuk pada buku-buku bacaan yang kontennya bisa dibilang konservatif. Karena bahasanya santai, ringan, dan renyah.

Misalnya tentang nikah muda, hijrah-hijrah yang lebih pada perubahan identitas (seperti cara berpenampilan, berpakaian dan lain-lain) ketimbang yang subtansial. Mereka lebih suka membaca buku yang kemudian isinya adalah seputar teori konspirasi yang ingin menghancurkan Islam dan lain sebagainya.

Baca Juga  Tragedi Kanjuruhan adalah Tragedi Kemanusiaan

Ketiga, kajian offline (tatap muka) yang ramai jamaahnya. Dalam hal ini, harus kita akui juga bahwa kajian-kajian di masjid yang paling banyak jamaahnya kebanyakan kajian milik kelompok-kelompok salafi, tarbiyah, dan jamaah tabligh. Dan rata-rata yang mengikuti kajiannya adalah anak-anak milenial. Anak-anak yang ingin memuaskan dahaganya akan pengetahuan agama karena belum sempatnya menerimanya lewat bangku madrasah atau pondok pesantren.

Adapun kajian-kajian di masjid yang diadakan kalangan progresif berkemajuan sepi jamaah. Karena memang kalangan-kalangan progresif ini belum terbiasa di mesjid. Mereka hanya terbiasa di seminar-seminar dan diskusi nasioanl yang berada di kampus. Sesuatu yang perlu kita benahi dan introspeksi diri. Karena jika tidak, mesjid akan sunyi akan dari pencerahan-pencerahan intelektual sekaligus spiritual.

Setelah semua yang diungkap di atas, saya kira tidak perlu bagi saya untuk menjawab mana yang menjadi kecenderungan milenial, berkemajuan atau berkemunduran? Karena pembaca pasti sudah mafhum akan jawabannya.

Editor: Yahya FR
Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds