Islam menjadi faktor penting dalam membingkai konstelasi politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sejarah kawasan ini tidak bisa dielakkan dari berkembangnya Islam dalam pentas politik Internasional semenjak masa Khulafa al- Rasyidin hingga Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.
Bernard Lewis menyebut kejayaan Abbasiyah telah diakui oleh sejarawan Muslim dan Barat. Masa keemasan Islam di Timur Tengah (Madinah, Damaskus, dan Baghdad) dan tersebarnya dinasti-dinasti Islam (Mesir, Maroko, Tunisia) menjadi point pertama dalam membaca peta politik di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Gelombang Revolusi Islam di Timur Tengah
Tidak mengherankan jika gelombang revolusi politik di Timur Tengah dan Afrika Utara sekarang ini sangat terkait dengan sejarah pergolakan Islam di masa lalu.
Jatuhnya rezim Zain al-Din ben Ali dari kursi kekuasaanya telah membawa gelombang perubahan politik di kawasan Timur tengah dan Afrika Utara. Negara-negara yang telah lama dipimpin rezim otoriter, seperti Mesir, Libya, Yaman, Jordania, Suriah, Maroko dan kawasan lainnya mengalami pergolakan yang luar biasa.
Tunisia dan Mesir merupakan Negara-negara yang paling jelas sedang mengalami transisi politik setelah gerakan revolusioner menumbangkan rezim penguasa. Tunisia menjadi awal spectrum gelombang revolusi yang mempengaruhi lanskap politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ben Ali harus menerima kenyataannya mundur dari kekuasaannya yang telah digenggamnya selama tiga dekade. Mesir pun ikut bergejolak. Rakyat Mesir melakukan gerakan massa untuk menjatuhkan rezim Hosni Mubarak.
Berikutnya giliran Libya dan Yaman yang terkena efek revolusi Tunisia. Gerakan rakyat menjatuhkan rezim Muammar Khadafi dilakukan, meski Khadafi sendiri menolak mengundurkan diri. Ali Abdullah Saleh harus menerima kenyataan muncul pergerakan rakyat menuntut mundur diri singasana kekuasaannya.
Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan kawasan yang geopolitiknya dipengaruhi oleh konstelasi politik di daerah sekitarnya. Geopolitik di kawasan ini sesungguhnya terpusat pada tiga kekuatan utama: Arab Saudi, Mesir dan Iran.
Konflik Politik Timur Tengah
Arab Saudi dan Mesir mewakili Negara Sunni yang sejak kejatuhan Khilafah Turki Utsmani 1924 hendak mengambil alih pengaruh hegemoninya di Timur Tengah. Sedangkan Iran mewakili Negara Syiah yang sedang memainkan peranan penting dalam geopolitik di Timur Tengah dalam melawan hegemoni Barat.
Konflik bersenjata di Yaman yang semakin besar adalah hasil dari gejolak sebelumnya yang terjadi selama bertahun-tahun. Konflik ini awalnya disebabkan oleh dampak gelombang Arab Spiring. Gelombang Arab Spiring yang melanda Negara-negara Timur Tengah bermula dari ketidakpuasan warga Negara-negara Arab terhadap pemerintahan mereka.
Konflik ini juga terjadi karena perbedaan perlakuan pemerintah terhadap warga Syiah Yaman. Keadaan Yaman makin memanas dengan memuncaknya konflik Sektarian Syiah yang diwakili oleh Kelompok Houthi dengan kaum Sunni yang berada di pemerintahan Yaman.
Politik di Timur Tengah dan Afrika Utara sekarang ini merupakan revolusi lanjutan dari revolusi Islam Iran, 1979 ketika berhasil menumbangkan rezim penguasa Shah Pahlevi yang otoriter dan diback up oleh Amerika Serikat.
Meskipun dalam skala perubahan yang berbeda, tetapi revolusi Iran masih menjadi memori dalam melakukan perubahan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara-negara di Timur Tengah dengan keragaman bentuk negaranya pernah memperdebatkan pengaruh revolusi Islam Iran tahun 1979.
Revolusi Islam Iran merupakan bukti bahwa rakyat Timur Tengah mampu mengatur politik dosmetik dan internasional dengan caranya sendiri. Pengaruh perubahan politik di Iran menyebar ke gerakan politik fundamentalis di Jordania, Mesir, Sudan, Aljazair dan Maroko.
Mungkinkah Bangsa Arab Bersatu?
Bangsa Arab akan sangat sulit bersatu karena beberapa alasan. Negara-negara Arab yang terhimpun dalam Liga Arab itu lebih sering bertikai daripada bersatu. Ketika terjadi peperangan Irak dan Iran pada 1980-an, beberapa Negara Arab, seperti Arab Saudi dan Kuwait mendukung dan membantu Irak sebagai usaha agar revolusi Islam tidak meluas ke Negara-negara mereka.
Sedangkan, Libya dan Suriah justru mendukung dan membantu Iran. Ketika Irak melakukan aneksasi atas Kuwait (tahun 1990) sikap Negara-negara Arab juga tidak sama persis. Hal ini juga terjadi ketika perang antara Amerika Serikat dan sekutunya pada 1990 melawan Irak untuk mengembalikan kemerdekaan Kuwait.
Pada 1992, ketika Amerika Serikat memprakarsai PBB untuk melakukan embargo udara atas Libya, kembali anggota-anggota Liga Arab tidak mencapai kata sepakat. Bahkan, sebagian besar justru mendukung keputusan PBB yang merugikan Negara Arab itu sendiri.
Sejak kematian Saddam Hussein dan Muammar Qaddafi, sikap dunia Arab seakan-akan tak pernah bisa rukun dan kian melunak terhadap Israel. Para pemimpinnya tampak mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan mereka kini membiarkan jet-jet tempur Israel ikut menggempur Yaman dalam perang saudara antar sesama bangsa Arab yang berlangsung belakangan ini.
Terlepas benar atau tidaknya informasi tersebut, tentunya kita harus berharap supaya bangsa Arab kembali bersatu dan menata kembali dunia Islam yang semakin diamuk oleh benturan peradaban.
Bagaimana dengan Masalah Palestina?
Sengketa antara Palestina dengan Israel yang berlangsung begitu lama telah banyak memakan korban. Penyelesaiannya pun telah diupayakan oleh Negara Internasional. Beberapa upaya tersebut di antaranya;
- Dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan 181 untuk pemisahan Palestina dari Negara Yahudi dan Negara Arab, dan Palestina mengacu pada Resolusi Dewan Keamanan 181 dikeluarkan oleh PBB di akhir 1947. Untuk memecah tanah Palestina bagi bangsa Yahudi dan Arab, dalam pembagian wilayah itu lebih banyak untuk bangsa Yahudi sekitar 55%. Sedangkan, sisa tanahnya untuk bangsa Arab.
- Peran PBB sebagai penjaga keamanan dan perdamaian dunia telah mengupayakan mediasi kepada Israel dan Palestina sebagai hubungan diplomatik
- PBB juga mencoba menawarkan pilihan terbaik dalam upaya perdamaian konflik Israel dan Palestina agar tidak berlarut-larut. PBB menawarkan tempat serta sarana mediasi bagi konflik ini, keanggotaan Negara-negara liga Arab dan Israel di PBB merupakan senjata terbesar bagi PBB untuk membawa upaya perdamaian konflik ini menjadi masalah Internasional yang diperhatikan oleh Dunia Internasional.
- Penyelesaian konflik Palestina perlu adanya mediasi kelompok-kelompok pejuang di Palestina dan meningkatkan peran signifikan bagi umat Islam. Misalnya, seperti Turki dan Indonesia dimana Negara ini merupakan penduduk yang mayorita beragama Islam, tentu bisa diharapkan untuk melakukan negosiasi multilateral mendukung kemerdekaan bangsa Palestina dan misi menjaga perdamaian di Yerussalem.
- Tidak hanya umat Islam dan organisasi kerja samanegara-negara Islam (OKI) yang bersatu, tetapi agama lain juga harus bersatu dengan mengatasnamakan solidaritas kemanusiaan.
Jadi, hubungan Israel Palestina sulit diselesaikan jika tidak ada upaya secara sistematis dari sebuah aliansi besar Negara-negara dan komunitas internasional untuk bergerak secara bersama-sama. Taktik lebih rinci dalam mempengaruhi opini publik dunia, begitu juga membangun jaringan yang kuat di Negara-negara yang selama ini menjadi sponsor atau pendukung Israel dalam diplomasi Internasional.
Editor: Soleh