Perspektif

Wajah Muhammadiyah “Yang Lain”

5 Mins read

Oleh: Ali Usman

Muhammadiyah, sebagaimana dipahami publik pada umumnya, dikenal sebagai gerakan Islam modernis yang pemahaman keagamaannya berorientasi pada purifikasi, anti-TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat), di bawah bendera bertuliskan al-ruju’ ila kitabillah wa sunnati rasulillah (kembali kepada al-Qur’an dan sunnah/hadis).

Konsekuensi dari pemahaman itu, dalam waktu yang cukup lama telah memunculkan kesan, dan memang faktanya demikian, Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang kurang bersahabat dengan tradisi lokal masyarakat. Sebab di dalamnya dianggap mengandung unsur-unsur TBC yang perlu diberantas dan diluruskan. Tidak ada ampun. Titik.

Bahwa betul Muhammadiyah memiliki banyak amal usaha (rumah sakit, lembaga pendidikan, dan lain-lain), yang saking banyaknya aset itu, bahkan bisa mendirikan negara sendiri, meski itu tidak mungkin dilakukannya. Namun dalam bidang pemahaman keagamaan, yang menjadi dasar melakukan aktivitas dakwah, Islam di tangan Muhammadiyah, meminjam ungkapan Kuntowijoyo (2000), tampak sebagai agama yang miskin, kering, sepi, selera rendah, dan kurang greget. Buktinya, Wayang Sadat di Klaten, yang jelas-jelas sangat “Muhammadiyah” ditolak oleh cabang dan dalangnya dihujat.

Moeslim Abdurrahman (2003) pernah melakukan otokritik kepada organisasi Islam yang berusia seabad lebih ini. “Dosa gerakan-gerakan purifikasi Islam, mungkin yang harus disesali tidak hanya karena sejarahnya yang ganas dan apriori terhadap seni dan budaya lokal. Tapi, yang lebih parah, kalau seperti Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terjadi menjadi jumud, karena tidak mampu memperbaharui kesadaran Islam yang lebih substansial dan terbuka untuk memaknai bahwa dakwah bukanlah identik dengan propaganda iman. Melainkan, dakwah sesungguhnya adalah setiap kerja religious untuk peradaban dan kemanusiaan”, tulis Kang Moeslim, panggilan akrabnya.

Peran Intelektual Muda

Lalu, apakah pemahaman keagamaan Muhammadiyah tersebut masih bertahan hingga sekarang? Dalam beberapa tahun terakhir, muncul aktor-aktor muda kaum intelektual Muhammadiyah yang rupanya, terlihat melakukan lompatan ide-ide kreatif dan inovatif di luar persepsi publik tentang sikap “konservatisme” Muhammadiyah—meminjam istilah Moh. Shofan (2008) dan beberapa penulis lain.

Kaum intelektual muda Muhammadiyah tersebut telah memberikan sentuhan baru dalam memahami realitas sosial, yang justru berbeda dengan pemahaman mainstream di internal elit organisasi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konsolidasi yang massif di kalangan mereka melalui halaqah-halaqah kultural, yang meski mengalami resistensi, penolakan oleh sebagian elite struktural perserikatan, namun sungguh berkontribusi dalam perjalanan Muhammadiyah.

Baca Juga  Khilaf dalam Berkhilafah

Kebangkitan intelektualitas Muhammadiyah yang kekinian dan dimotori oleh kaum muda, merupakan ciri apa yang oleh Munir Mulkhan (2012) disebut revitalisasi etos pembaruan. Munir Mulkhan mengemukakan fase perkembangan Muhammadiyah terbagi ke dalam tiga tahap. Pertama, fase kreatif-inklusif, ditandai oleh kelahiran berbagai amal usaha (kegiatan terlembaga) yang dipelopori langsung oleh KH Ahmad Dahlan. Kedua, fase ideologis yang ditandai oleh kelahiran lembaga fatwa syariah dengan dibentuknya Majelis Tarjih tahun 1927. Ketiga, rivitalisasi etos pembaruan KH Ahmad Dahlan, melalui ide spiritualisasi atau sufistisasi syariah yang muncul sejak tahun 1990-an bersamaan masuknya aktivis berpendidikan tinggi modern dari berbagai disiplin ilmu.

Kita tahu, pada masa tertentu, awal tahun 2000-an, kaum intelektual muda Muhammadiyah banyak yang berproses dalam wadah komunitas-komunitas kultural yang berorientasi pada progresivitas pemikiran keislaman, seperti JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban), Maarif Institue, Majelis Reboan, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan segar dan konstruktif yang didengungkannya kemudian diuji-coba saat merumuskan visi “dakwah kultural” hasil rekomendasi Muktamar Muhmmadiyah tahun 1995 di Banda Aceh, lalu diperkuat kembali dalam Muktamar tahun 2000 di Jakarta, dan dikonkretkan dalam Sidang Tanwir di Denpasar, Bali, 24-27 Januari, tahun 2002.

Profil Para Intelektual Muda

Alhasil, sekadar menyebutkan contoh, bagaimana kaum muda progresif itu melakukan reinterpretasi terhadap pemikiran keagamaan Muhammadiyah, dapat disimak, ketika  doktrin TBC tidak lagi dipahami berdasarkan paradigma lama, tetapi melahirkan paradigma baru, yang cenderung bersahabat dan pro-TBC. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Zakiyuddin Baidhawi, sekarang guru besar dan Rektor IAIN Salatiga, merupakan satu di antara aktor penting dari gerakan intelektual di kalangan Muhammadiyah ini. Amanah Muktamar Muhammadiyah tahun 1995, 2000, dan Tanwir 2002, untuk melakukan dakwah kultural disambut dengan suka cita dengan melakukan eksperimentasi gagasan.

Baca Juga  Muktamar JIMM 2023: Mendorong Pembaharuan Pemikiran, Pengetahuan, dan Gerakan Muhammadiyah

Pertama, dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab). Kedua, dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah). Ketiga, dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (churafat) untuk membangun citra keberagamaan, keberislaman, dan kebermuhammadiyahan dalam rangka menuju masyarakat utama (Baidhawy, 2003).

Puritanisme sebagai karakter dan ciri awal Muhammadiyah, oleh Hilman Latief (2017) kemudian juga diubah menjadi “pospuritanisme”, yang justru bermakna positif. Sebab ia dikonstruksi sebagai perspektif dan cara pandang yang mengedepankan keterbukaan, substansialis, kosmopolit, dan universal. Hilman Latief, yang baru-baru ini mencapai puncak gelar akademiknya sebagai guru besar di UMY, juga seorang aktor intelektual muda Muhammadiyah yang kini dipercaya sebagai Ketua Badan Pengurus LAZIZMU.

Hilman Latief dalam bukunya, Pospuritanisme: Pemikiran dan Arah Baru Gerakan Islam Modernis di Indonesia, mencatat pada periode 2010-2015, saat Muktamar satu abad di Yogyakarta, melahirkan refleksi terhadap spiritualitas ihsan, dan melahirkan perumusan fikih air dan fikih kebencanaan.

Ada pula Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI, yang menjelaskan sangat baik tentang kompleksitas pemahaman keagamaan Muhammadiyah, dari yang berorientasi pada purifikasi alias Islam murni hingga berkemajuan. Pada intinya sama dengan pemikiran progresif kaum muda yang disebutkan sebelumnya, Najib sampai pada satu kesimpulan, bahwa Muhammadiyah kini mengalami pergeseran, dari puritanisme ke kosmopolitanisme.

Merujuk pada catatan atau dokumen Kiai Syuja’ yang ditemukan oleh Najib, paradigma Islam berkemajuan yang sekarang menjadi jargon Muhammadiyah, memiliki lima elemen, yaitu tauhid yang murni, memahami al-Qur’an dan sunnah secara mendalam, melembagakan amal shalih yang fungsional dan solutif, moderat, dan suka bekerjasama (Burhani, 2016).

Baca Juga  Sejarah Haji Indonesia (3): dari Haji Swasta menuju Haji Negeri

Berikutnya, dari Jawa Timur, layak diapresiasi kontribusi Pradana Boy ZTF, dosen UMM, presidium JIMM yang sangat aktif pada masanya. Boy sejak awal saat masih mahasiswa di almamaternya memang gandrung dengan pemikiran-pemikiran Islam kritis yang dipadu oleh teori-teori sosial Barat, dari tema hermeneutika, hingga kajian sastra dan neo-sufisme. Boy pernah pula menjabat sebagai staf khusus kepresidenan era Jokowi periode I.

Aktivis Muhammadiyah

Selain nama-nama aktor yang disebutkan secara langsung di atas, tentu masih banyak lagi, ada Ahmad Fuad Fanani, Said Ramadhan, Abd Rohim Ghazali, Moh. Shofan, Rifma Ghulam Dzaljad, Zuly Qodir, Tuti Alwiyah Surandi, Abdul Mu’ti, Pramono U Thantowi, Piet H Khaidir, Asep Purnama Bahtiar, dan seterusnya. Mereka ini sebenarnya aktivis muda Muhammadiyah di lapis kedua, sebab di lapis pertama ada yang lebih senior dan menjadi sumber inspirasi, seperti Syafi’i Maarif, M Dawam Raharjo, M Amin Abdullah Munir Mulkhan, Moeslim Abdurahman, dan lain-lain. 

M Amin Abdullah merupakan tokoh yang membuka kran pemikiran progresif di lingkungan Muhammadiyah, sebab atas usulannya, pada Muktamar di Aceh, diputuskan mengubah nomenklatur Majelis Tarjih menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Kini, aktor-aktor intelektual itu masih aktif di pos masing-masing menyuarakan pemikiran progresivitas perspektif Muhammadiyah.

Dan hasilnya, terlihat banyak yang sukses berkarir di posnya masing-masing. Setelah Zakiyuddin Baidhawi dan Hilman Latief yang menjadi guru besar, tidak lama lagi kemungkinan Ahmad Najib Burhani dan Pradana Boy ZTF akan segera menyusul sebagai profesor baru yang dalam sejarah hidupnya berusaha memajukan Muhammadiyah melalui caranya yang khas anak muda.

Dari kontribusi pemikiran dan aksi mereka itulah, saya menangkap kesan Muhammadiyah “yang lain” di luar persepsi umum sebagai gerakan Islam modernis-puritan. Namun demikian, tentu, saya juga yakin seyakin-yakinnya, di tubuh Muhammadiyah sendiri, terjadi kontestasi ide dan pergolakan—untuk tidak mengatakan “konflik”—antara mereka yang masih setia pada doktrin purifikasi absolut dengan kelompok yang mengusung semangat kosmopolitanisme-progresif.

* Kolomnis di Yogyakarta

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds