Ekspresi keberagamaan masyarakat Lamongan terlihat sangat sejuk dan damai. Pandangan tersebut hemat saya sudah tepat dan proporsional dalam melihat dan membaca ekspresi keberagamaan masyarakat Lamongan. Sebab, warga Lamongan dikenal ramah, lugas, energik, toleran-moderat, terbuka, dan memiliki kesadaran tinggi terhadap pendidikan anaknya.
Selain itu, masyarakat Lamongan juga dikenal memiliki semangat tinggi dalam melaksanakan kepercayaan dan ajaran agama masing-masing. Fenomena tersebut oleh Prof Nur Syam disebut dengan istilah “Tus” semisal “Muhammadiyah Tus” – “NU Tus” tetapi tetap saling menghormati-moderat, sehingga semua agama dan aliran kepercayaan yang ada di Lamongan dapat tumbuh sumbur dan damai.
Adapun terkait opini-opini dari pihak luar yang menggambarkan seolah-oalah wajah keberagaman masyarakat Lamongan adalah penuh kebencian-keras-radikal, merupakan tindakan playing victim belaka. Apalagi jika argumentasi opini tersebut hanya jika didasarkan pada kasus yang pernah terjadi terkait kasus Amrozi (warga Solokuro Lamongan) yang terlibat pada kasus Bom Bali.
Hal itu menurut saya sangat tidak adil. Sebab telah terjadi simplifikasi dangkal jika memotret keberagamaan masyarakat Lamongan hanya didasarkan pada potret keberagamaan seorang Amrozi belaka. Artinya, pola keberagamaan Amrozi dkk yang cenderung radikal, tidak dapat dijadikan dasar dalam membuat kesimpulan membaca wajah keberagamaan masyarakat Lamongan secara keseluruhan.
Jadi, pembacaan terhadap ekspresi keberagaman masyarakat Lamongan yang sejuk, damai, moderat, tidaklah berlebihan. Hal itu terpotret dari hasil riset saya bertema “Praksis Moderasi Keagamaan Berbasis Kearifan Lokal Antar Umat Beragama (Islam-Hindu-Kristen) masa Pandemi Covid-19 di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan” pada tahun 2021-2022 yang didanai oleh LPDP-Kemendikbudristekdikti. Hasil riset tersebut menunjukkan beberapa fakta sosial-keberagamaan yang dapat menggambarkan wajah keberagamaan masyarakat Lamongan yang penuh kesejukan dan kedamaian, di antara-nya adalah:
Wajah Keberagamaan Masyarakat Lamongan
Pertama, masyarakat Lamongan yang plural-majemuk dapat hidup secara damai tanpa harus menegasikan atau berkonflik karena perbedaan agama, seperti yang terjadi pada masyarakat Balun Kec. Turi Kabupaten Lamongan. Dalam satu desa, terdapat tiga agama (Islam-Kristen-Hindu) yang hidup rukun-damai saling support dalam kegiatan sosial-kebudayaan dan kemanusian. Seperti mereka saling hadir pada saat ada kegiatan selamatan kematian, kenduri, perayaan natal, pawai ogoh-ogoh, kerja bakti bersama dan sebagainya.
Kedua, wajah keberagamaan sejuk-damai juga terpotret dari pola pemakaman masyarakat Balun yang dijadikan satu kompleks tanpa melihat kepercayaan agamanya, jadi dalam satu kompleks makam desa terdapat makam warga Muslim, warga Kristen dan warga Hindu, sehingga saya sebut dengan istilah “Kuburan Multikultural”.
Ketiga, kesejukan keberagamaan juga terlihat dari lokasi tempat ibadah tiga agama (Muslim-Kristen-Hindu) terletak dalam satu kompleks. Jadi dalam satu kompleks berdiri tiga tempat ibadah masjid-Pura-Gereja yang saling berdekatan, walaupun saling berdekatan mereka saling menjaga dan menghormati dengan menyesuaikan kegiatan masing-masing agama agar tidak bebarengan atau saling mengalah.
Keempat, kesejukan keberagamaan juga terpotret dari pola relasi berkeluarga. Struktur kekeluargaan masyarakat Balun sungguh unik di mana mereka menyikapi perkawinan berbeda agama secara lumrah dan biasa saja tidak mempersoalkan.
Praktik perkawinan berbeda agama tersebut menghasilkan keluarga yang berbeda-beda agama, artinya dalam struktur satu keluarga bisa beragam agama. Misal, bapak Islam, Ibu Kristen, anak Islam dapat orang Hindu dan sebaliknya, sehingga fenomena ini saya sebut dengan istilah “Keluarga Multikultural”.
Mengapa Masyarakat Lamongan Bisa Menampilkan Wajah Keberagamaan yang Sejuk?
Dari potret di atas, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa mereka (masyarakat Lamongan) dapat menampilkan wajah ekspresi keberagaman yang sejuk-damai di tengah pluralitas keagamaan (Islam-Hindu-Kristen), sementara di tempat lain pluralitas keagamaan sering dijadikan alat untuk perpecahan, permusuhan, konflik bahkan saling membunuh?
Jawabanya adalah masyarakat Lamongan terutama warga Desa Balun dapat saling mengendalikan ego fanatisme keagamaannya, dapat saling mengalah dalam membangun relasi sosial-keagamaan dan mereka mampu membangun kohesi antara nilai moderasi dengan kearifan lokal yang berkembang dimasyarakat, sehingga mereka mampu memraksiskan nilai moderasi dan kearifan lokal dalam membangun kehidupan masyarakat keberagamaan yang sejuk-damai dan penuh kebersamaan.
Hal itu tentu dapat dijadikan proses pembelajaran bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk secara Suku-Agama-Ras-Golongan (SARA) untuk dapat belajar membangun kehidupan sosial-keagamaan dari masyarakat Lamongan yang sejuk-damai.
Editor: Yahya FR