Perspektif

Apakah Gerakan Pembebasan UKT Utopis? Sebuah Tanggapan

4 Mins read

Saat sore menjelang malam hari, saya seperti biasanya menghabiskan waktu untuk menjual barang dagangan toko di rumah. Seperti biasa juga, pekerjaan itu saya selingi dengan membaca tulisan di beberapa media online, salah satunya Milenialis.id, yang juga diterbitkan di IBtimes.id. Seketika itu juga saya membaca artikel yang ditulis oleh Moh. Shofan yang menjelaskan gagasannya bahwa gerakan pembebasan UKT mahasiswa yang menuntut UKT gratis adalah utopis. Lantas setelah itu tangan saya tak mampu menahan untuk memberikan balasan atas artikel dari bung Moh. Shofan tersebut.

Moh. Shofan dan Pembebasan UKT

Secara umum, artikel dari Bung Shofan menjelaskan beberapa alasan mengapa tuntutan mahasiswa untuk pembebasan UKT adalah utopis. Dari penjelasannya, bisa disimpulkan juga bung Shofan ingin mengatakan bahwa gerakan mahasiswa yang dilakukan di hampir seluruh Indonesia adalah sebuah hal yang sia-sia.

Sebelum saya masuk dalam pembantahan untuk beberapa alasan yang diutarakan Bung Shofan, saya ingin sedikit dulu membahas kata utopis. Dalam artikelnya, Bung Shofan tidak menjelaskan apa yang dimaknai atau minimal menjelaskan definisi dari utopis. Menurut saya, mungkin saja Bung Shofan hanya memaknai utopis sebagai tujuan atau cita-cita yang tak mungkin terwujud.

Bung Shofan menjelaskan bahwa ada tiga alasan mengapa gerakan mahasiswa untuk pembebasan UKT adalah mustahil. Pertama, karena mekanisme kampus yang mengharuskan mengambil uang yang dibebankan kepada mahasiswa yang disebut dengan UKT. Kedua, adalah alasan ketakutan karena kecemburuan yang hadir dari PTS (Perguruan Tinggi Swasta) jika PTN (Perguruan Tinggi Negeri) memiliki UKT gratis. Menurut saya alasan kedua ini adalah alasan yang paling tidak masuk akal untuk membatalkan cita-cita UKT gratis. Ketiga, adalah karena keuangan negara yang terbatas untuk membuat UKT gratis hanyalah utopis.

Baca Juga  Literasi Digital: Refleksi Dua Bulan Belajar di Rumah

Sistem Pendidikan Tinggi yang Neoliberal

Untuk alasan pertama, saya akan menjelaskan lewat sistem relasi pendidikan kita saat ini dengan perspektif neoliberal. Apakah bung tidak mengetahui bahwa pendidikan kita di Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi yang kapitalistik? Struktur ekonomi ini yang membuat pendidikan kita menjadi seolah-olah mustahil untuk digratiskan.

Tentu ini mendesak akan adanya analisis yang mendalam untuk memeriksa fenomena ini secara struktural. Perlu diketahui aktor organisasi internasional seperti IMF, berperan penting dalam liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia.

Ini diawali dari kejadian ekonomi stagflasi tahun 1970-an, membuat kebijakan yang dicetuskan Keynes berangsur-angsur sudah tidak digunakan lagi dalam beberapa negara. Kebijakan Keynes ini digantikan oleh agenda ekonomi yang disebut dengan neoliberalisme.

Agenda-agenda neoliberalisme itu dituangkan dalam perjanjian yang disebut dengan Washington Consensus. Agenda ini diinisasi oleh aktor-aktor neoliberal seperti World Bank, IMF, dan Kementrian Keuangan AS. Pada awalnya terdapat 10 kebijakan yang dihasilkan, jika diambil gagasan dasarnya ada tiga nafas yang tertuang di dalamnya. Tiga gagasan tersebut adalah privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan pencabutan subsidi.

Dari sini lah transformasi ekonomi terjadi dari sistem ekonomi Keynes ke sistem ekonomi neoliberal. Transformasi ini awalnya ditujukan untuk membentuk negara-negara berkembang di dunia ketiga yang diterpa krisis, termasuk Indonesia.

Agenda Liberalisasi di Indonesia

Atas dasar itulah dimulai agenda-agenda untuk menyesuaikan perekonomian ke sistem neoliberal. Untuk bidang pendidikan, bisa dilihat dari perjanjian pemerintah Indonesia dengan lembaga moneter internasional (IMF) yang tertuang dalam General Agreement on Tarif and Service (GATS). Terdapat perjanjian pada tahun 1994 yang berisi kesepakatan dalam 12 sektor jasa untuk diliberalisasi, salah satunya ialah agenda liberalisasi pendidikan.

Baca Juga  Akibat Kebodohan dalam Beribadah di Musim Wabah

Ini membuat perlahan pendidikan tinggi indonesia mulai mengikuti pengelolaan dengan corak neoliberal. Seperti beberapa contoh yang tertuang dalam PP No. 61/1990, tentang penetapan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH), UU PT No 12 Tahun 2012, sampai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 55 Tahun 2013 perihal Biaya  Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ini juga yang membuat pendidikan kita mengharuskan untuk mengambil uang (UKT) dari peserta didik yang Bung Shofan singgung di tulisannya.

Berangkat dari penjelasan saya di atas meniscayakan bahwa cita-cita pembebasan UKT bahkan pendidikan yang gratis adalah cita-cita yang mungkin dan layak diperjuangkan. Dan ia bukanlah sesuatu yang utopis untuk terjadi jika basis struktur ekonomi kita tidak lagi bercorak kapitalistik seperti saat ini.

Anggaran Kita Cukup!

Untuk alasan kedua dan ketiga dari Bung Shofan sungguh tidak berdasar, dengan alasan kecemburuan PTS atas PTN? Apakah Bung tahu jika secara keseluruhan jumlah mahasiswa PTN dan PTS yang berjumlah 7,3 juta orang digabung dan digratiskan UKT-nya untuk satu atau dua semester, itu tidak sebanding dengan anggaran pendidikan kita dalam APBN negara?

Untuk alasan ketiga yang terkait anggaran pemerintah, sekali lagi Bung, saat ini banyak sekali anggaran pemerintah yang didasarkan hanya untuk mengakumulasikan kapital terus menerus. Hal ini sebagaimana pembangunan infrastruktur yang terus dilakukan pemerintah, juga anggaran untuk kartu pekerja adalah contohnya. Belum lagi anggaran lain yang menurut saya sia-sia, seperti dana pemenang pembuatan video new normal dan gaji pejabat yang sangat tinggi. Bukankah itu semua dalam jangka pendek bisa dialokasikan pada bidang pendidikan?

Pembebasan UKT Harus Diperjuangkan

Terakhir, saya tidak mengambil saran dari Bung Shofan bahwa baiknya kita bersama membangun negeri dan berharap pandemi ini berlalu dibanding menuntut pembebasan UKT. Saran saya diametral dari Bung Shofan. Saya menyarankan bahwa gerakan pembebasan UKT mahasiswa harus dilanjutkan untuk bisa mencapai UKT gratis. Tetapi saya menambahkan analisis dalam gerakan mahasiswa harusnya didasarkan dari basis ekonomi saat ini, ialah corak ekonomi kapitalisme neoliberal tentunya dengan analisis kelas.

Baca Juga  Tentang Waktu, Masa Lalu yang Tak Mungkin Terulang Kembali

Untuk itu saya menguti pidato Ernest Mandel di New York pada tahun 1968,  saat menghadiri Majelis Gerakan Mahasiswa Mahasiswa. Pidato itu dijadikan tulisan yang berjudul ‘Gerakan Mahasiswa Revolusioner Teori dan Aksi’. Ernest Mandel menyatakan,

Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen­al kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan  kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan.”

***

Untuk menutup tulisan ini, saya sarankan Bung Shofan coba membaca gerakan-gerakan progresif yang didasarkan dari paradigma pembebasan. Mungkin buku-buku Marx dan Ernest Mandel, salah duanya. Terima kasih, Bung.

Editor: Shidqi Mukhtasor

Avatar
1 posts

About author
Kader HMI Cabang Makassar Timur dan Kolektif di Komunal Nokturnal
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *