Wali dan Ziarah – Wali Allah bagi umat Islam sudah bukan sesuatu yang asing, melainkan sudah membaur dalam kehidupan sehari-hari. Ia sudah dianggap salah satu bagian dari hal-hal yang berkaitan dengan keimanan. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitabnya Minhaajul Muslim, yang berkaitan dengan wali Allah.
Beliau menulis: orang muslim mengimani bahwa Allah Swt mempunyai wali-wali dari hamba-Nya yang Dia pilih untuk beribadah kepada-Nya, menjadikan mereka taat kepada-Nya, memuliakan mereka dengan memberikan cinta dan karamah-Nya kepada mereka (As-Sirbuny, 2014).
Dengan begitu, maka tidak heran jika para kaum muslim baik di Indonesia maupun di dunia begitu memuliakan wali-wali Allah di muka bumi. Bahkan ketika sang wali telah kembali di sisi Allah, kaum muslim tetap memuliakan dan menghormatinya dengan mengirim doa serta menziarahinya.
Definisi dan Pengertian Wali Allah
Secara bahasa kata wali berasal dari bahasa Arab “al-waliy” bentuk jamaknya adalah “al-awliya”, yang merupakan rumpun kata walayali-walyan dan walayatan yang memiliki makna varian antara lain: mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, atau pengasuh (Luth, 2018).
Kiai Mustofa Bisri dalam beberapa kesempatan ceramahnya seringkali merujuk konsep mengenai wali pada isi dari surah Yunus ayat 62, “Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”, dan surah al-Ahqaf ayat 13, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka tetap istiqamah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak pula bersedih hati”.
Dari dua ayat ini, Kiai Mustofa Bisri lantas membuat sebuah silogisme sederhana yang menghasilkan definisi wali. Menurutnya, wali Allah Swt adalah mereka yang beriman, dengan mengatakan “Tuhan kami adalah Allah”, dan kemudian beristiqamah.
Selain itu, wali Allah Swt juga menunjukkan sikap tidak tunduk pada rasa takut dan tidak pula bersedih (Anasom, 2021). Dua definisi yang diberikan oleh Kiai Mustofa Bisri ini sejalan dengan definisi yang diberikan oleh al-Qusyairi. Menurut al-Qusyairi, term wali dalam bahasa asalnya (waliyyun) mengikuti bentuk mubalaghah yang memiliki dua fungsi yang berbeda yaitu fungsi subjek dan fungsi objek.
***
Kata wali yang memiliki fungsi subjek didefinisikan dengan “mereka yang mentaati perintah Allah Swt dengan penghambaan kepada-Nya tanpa disertai dengan kemaksiatan sedikit pun”. Sedangkan kata wali dengan fungsi objek didefinisikan dengan “mereka yang segala urusan dan perkaranya berada dalam penjagaan Allah Swt” (Anasom, 2021).
Sedangkan beberapa tokoh tasawuf seperti al-Hakim al-Tirmidzi mendefinisikan wali adalah seseorang yang dekat kepada Allah Swt dalam petunjuk, pertolongan jiwanya dan mengangkatnya ke tempat yang tinggi dengan penuh kesungguhan sehingga ketika seluruh upaya tercurahkan, Allah memposisikan dirinya dihadapan-Nya dengan sikap tunduk patuh dan berserah diri (Thohari, 2021).
Wali yang paling utama adalah para nabi dan rasul. Mereka terlindung dari dosa dan kesalahan, juga diperkuat dengan mukjizat dari Allah. Tingkatan setelah itu adalah para sahabat yang mengamalkan kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan para wali yang berada setelah masa para sahabat hingga masa kita sekarang (Al-Bugha, 2007).
Ziarah Islam di Wilayah Balkan
Di Indonesia sendiri, kaum muslim telah lama mengenal beberapa wali, diantaranya yang paling terkenal adalah Wali songo. Kaum muslim mengenal Wali songo bukan sekedar sebagai wali melainkan sebagai tokoh yang berjasa bagi penyebaran agama Islam di Nusantara.
Maka tidak heran jika setelah para Wali songo wafat, banyak kaum muslim yang masih memuliakan dan menghormati dengan cara menziarahi pemakaman mereka.
Namun ternyata, tradisi ziarah wali dan para tokoh agama ternyata bukan saja terjadi di Indonesia. Melainkan tradisi ini juga terjadi di berbagai belahan dunia, salah satunya di wilayah Balkan.
Seperti daerah lain di dunia Islam, praktik ziarah ke makam wali pernah dan masih memegang peran penting dalam kehidupan kaum muslimin wilayah Balkan. Di wilayah Balkan wali-wali yang diziarahi umumnya para syekh-syekh atau sufi tarekat yang dianggap mewarisi berkah Nabi Muhammad dan pejuang yang dikenang karena peranannya dalam penaklukkan Balkan oleh kesultanan Turki Utsmani atau gerakan Islamisasi.
***
Namun, di lain pihak juga terdapat beberapa tokoh yang kendati tidak memainkan peran yang jelas dalam proses Islamisasi, menduduki posisi penting dalam kehidupan orang Islam di suatu daerah. Sebagaimana yang terjadi di kota Prusac Bosnia bernama Hasan Kafi.
Hasan Kafi setelah berjuang melawan kaum heterodoks mendampingi kadi Sarajevo pada masa mudanya. Ia menjadi tersohor sebagai penulis sebuah buku tentang keadaan Turki Utsmani pada akhir abad-16, serta sebagai perintis pendirian berbagai bangunan, seperti masjid, madrasah, dan pondok sufi.
Di pinggiran kota Prusac Bosnia sampai hari ini, makam Hasan Kafi tetap diziarahi oleh masyarakat Islam setempat (Loir, 2007). Selain para pejuang Islam yang diziarahi dan dianggap sebagai seorang wali. Umat muslim di wilayah Balkan juga menziarahi beberapa tokoh atau syekh-syekh sufi.
Para syekh sufi yang acapkali merangkap sebagai pendiri pondok cenderung lebih diagungkan daripada para penerusnya. Makamnya sering lebih besar, lebih indah, dan diberi tempat tersendiri. Identitasnya dikenal melalui sejumlah cerita yang menggambarkannya sebagai orang dengan banyak keistimewaan. Tak hanya syekh-syekhnya saja yang diziarahi, tetapi juga anggota keluarga sang syekh (istri dan anak) yang memiliki keistimewaan dan kesalehan yang luar biasa.
Ziarah dan Keterkaitannya dengan Wasilah
Hal yang menarik dari praktik ziarah di wilayah Balkan dan Indonesia adalah adanya kesamaan mengenai wasilah atau perantaraan terhadap keistimewaan sebuah derajat kewalian. Dimana para penziarah memanfaatkan kemampuan wali untuk menjadi wasilah terhadap kehidupan seseorang, seperti kesehatan dan batin (spiritual). Sebagaimana yang terjadi di Skoplje ibukota Makedonia Utara, penderita yang mengharapkan kesembuhan akan minum air yang didapatkan di sebuah makam pondok Rufa’iyah.
Makam tersebut terletak dekat makam pendiri pondok, yakni Mehmed Baba. Para penderita mengoles badan mereka dengan minyak lampu makam. Orang yang sakit keras akan tidur tiga kali di dekat makam wali paling sedikit setengah jam setiap kali. Hal itu juga terjadi di kota Djakovica dan desa Rogacica di Kosovo (Loir, 2007).
Kendati demikian, kunjungan ke makam para wali sering disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kesehatan. Namun adakalanya juga disebabkan oleh faktor masalah batin manusia.
Sebagaimana diceritakan oleh J.F. Trifunoski yang bercerita tentang penduduk di desa Hadzi Hamzali di lembah sungai Bregalnica di Makedonia yang memohon bantuan kepada syekh-syekh yang telah meninggal, ketika harus mengambil keputusan yang pasti sangat sulit, yakni pindah ke Turki untuk selamanya (Loir, 2007).
Apa yang diceritakan oleh J.F. Trifunoski terkait motivasi dan faktor ziarah untuk masalah-masalah batin, tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Seiring dengan kegelisahan manusia terhadap kekeringan spiritual yang hanya mengandalkan tekstualitas tafsir, ziarah kubur bisa menjadi alternatif atau faktor pendukung terkait beberapa hal dalam hidup. Diantaranya; 1). Untuk mengingatkan kepada manusia yang masih hidup akan datangnya kematian. 2). Mengingatkan manusia akan akhirat. 3). Mengingatkan untuk selalu insyaf dan bertobat (Rahayu, 2019).
Daftar Referensi
Al-Bugha, M. D. (2007). Al-Wafi. Jakarta : Mizan Publisher.
Anasom. (2021). Karamah dan Kharisma (Sebuah Kajian Analisis Wacana Kritis Atas Komik Walisongo). Semarang: CV Lawwana.
As-Sirbuny, A. A. (2014). 198 Kisah Haji Wali-Wali Allah. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Loir, H. C. (2007). Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Luth, T. (2018). Diskursus Bernegara Dalam Islam (Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan). Malang: UB Press.
Rahayu, P. (2019). Tradisi-Tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Semarang: Forum Muda Cendekia.
Thohari, M. H. (2021). Akhlak Tasawuf. Universitas KH. A. Wahab Hasbullah.
Editor: Marjuki Al Mujakir