Tulisan saya sebelumnya mengulas bagaimana warganet Indonesia mendayagunakan pengalaman kultural untuk membentuk resiliensi dalam bentuk sandi komunikasi untuk menghadapi determinasi algoritma transnasional dalam membantu perjuangan Palestina di media sosial.
Sandi komunikasi tersebut digunakan dua tujuan. Pertama, mereka menyuarakan boikot terhadap produk dan jasa dari perusahaan yang terindikasi berafiliasi atau mendukung agresi Israel. Kedua, mereka melakukan perang psikologis dengan menyerang akun-akun tentara Israel, tokoh-tokoh superior Israel, bahkan siapa saja yang mendukung Israel.
Julid Fisabilillah dan Perang Psikologis
Pada 2020 Microsoft mempublikasikan survei tentang tingkat kesopanan warganet di dunia. Warganet Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 negara atau artinya warganet Indonesia terbilang tidak sopan. Sesaat setelah survei itu terbit, perdebatan di dalam negeri mengemuka. Banyak pihak menyayangkan perangai tersebut.
Namun, kini 2023, warganet Indonesia justru merayakan perangai mereka tersebut karena justru efektif menimbulkan keguncangan psikologis orang-orang yang mereka sasar dalam membantu perjuangan Palestina.
Mereka melakukan spamming komentar, melaporkan akun, sampai menyebarkan identitas pribadi atau nomor ponsel. Teror sebagai tindakan perang psikologis telah masuk ke ranah yang lebih intim. Jurang bahasa antara orang Indonesia dan Israel atau siapapun yang mendukung berhasil dilampaui dengan menggunakan fitur teknologi yang disediakan media sosial atau internet pada umumnya.
Warganet Indonesia bisa mengolok secara retoris bertanya ‘bagaimana rasanya tangan berlumur darah setelah membunuh anak-anak, bayi Palestina?’ dengan bahasa Ibrani kepada seorang tentara wanita Israel. Kefasihan teknologi dalam melakukan perang psikologis ini mendapat legitimasi religius dalam terminologi julid fisabilillah.
Warganet Indonesia menamai diri mereka sebagai brigade Hassan bin Tsabit, mengacu pada sahabat Rasulullah yang berjihad dengan syair-syairnya untuk melemahkan mental musuh, dalam melakukan operasi julid fisabilillah. Â
Banyak literatur akademik akhirnya mendefinisikan kembali arti dari tindakan politik dengan integrasi manusia dalam teknologi internet. Tindakan politik tidak lagi hanya berdimensi fisik, seperti memilih pemilu atau demontrasi.
Kini tindakan menyukai, membagi, spamming komentar, atau melaporkan menjadi tindakan politik. Oleh karena itu, interseksi politik dan internet menjangkau persoalan tirani mayoritas.
Mayoritas ini dapat dipahami sebagai kapital politik dan ekonomi, seperti dalam kasus kebijakan media sosial yang menentukan bagaimana alogaritma dioperasikan, atau mayoritas sebagai akumulasi jumlah.
Aksi warganet Indonesia tergolong dalam pengertian kedua, bagaimana individu-individu kecil akhirnya membentuk kerumunan yang melawan mayoritas dalam pengertian pertama. Perjuangan solidaritas untuk Palestina adalah kontestasi pengertian mayoritanisme.
Menanti Respon Pemerintah
Di sisi lain, seruan boikot oleh warganet Indonesia seolah mendapat legitimasi religius dari fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 83 tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina.
Ketentuan keempat dari fatwa tersebut yang berbunyi ‘mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram’ menjadi legitimasi aksi boikot tersebut. Seruan boikot ini diindikasi membuat penurunan harga saham emiten yang dianggap mendukung Israel di pasar saham Indonesia.
Pelaksana Tugas Harian Ketua Umum Kantor Dagang Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi sampai merespon aksi boikot ini dengan meminta pemerintah untuk turun tangan karena merugikan dunia usaha. Dampak buruk bagi ekonomi Indonesia ini dikhawatirkan akan berdampak pada nasib tenaga kerja dalam negeri.
Namun, warganet Indonesia menyambut baik respon Kadin tersebut karena mengindikasikan perjuangan boikot mereka berhasil dan menuntut eksekutif perusahaan transnasional untuk mengubah dukungan ke Palestina atau paling tidak menghentikan dukungan ke Israel jika masih ingin dibeli oleh mereka. Mereka tetap hidup konsumtif terhadap jenis produk yang dibeli, hanya saja mereka mengubah pilihan merk. Momentum boikot juga dirayakan sebagai era kebangkitan produk UMKM Indonesia.
Kebijakan luar negeri Indonesia sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi di PBB pada 28 November 2023 menuntut Israel diadili di Mahkamah Internasional. Kebijakan anti-kolonialisme ini selaras dengan semangat pendirian Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Indonesia. Semangat anti-kolonialisme inilah yang melahirkan Peraturan Menteri Luar Negeri nomor 3 tahun 2019 yang melarang pengibaran bendera Israel.
Namun, bagaimana respon terhadap dinamika di dalam negeri terkait boikot produk. Dampak ekonomi memang potensial terjadi dan bisa menimbulkan keguncangan ekonomi-politik di Indonesia. Meski demikian, turun tangan menengahi aksi boikot sebagaimana tuntutan Kadin akan menimbulkan keguncangan pula akibat kemarahan warganet. Warganet Indonesia menyasar siapa saja mendukung Israel. Akankah akhirnya mereka menyasar pemerintahan dalam negeri karena pemerintah dilema menghadapi persoalan boikot ini?
Editor: Soleh