Feature

Whoever Wins, We [Might] Lose

6 Mins read

Oleh : Aditya Pratama*

Jadi, sekitar lima belas tahun yang lalu, dirilislah sebuah film fiksi ilmiah yang dalam posternya ditampilkan slogan Whoever Wins, We Lose (Siapapun yang menang, kita kalah). Masuk akal memang, karena film yang dimaksud menceritakan tentang pertarungan dua spesies alien elas wahid yang kekuatannya jauh di atas kekuatan rata-rata manusia. Sehingga, dalam pertarungan itu manusia hanya bisa jadi penonton. Kalau bertarung langsung melawan salah satu spesies alien, manusia tak mungkin menang, hanya bisa kalah.

Agak mirip dengan yang dikisahkan film tersebut, tahun ini pun manusia di Indonesia juga akan menyaksikan pertarungan dua jago politik nasional dalam ajang pesta demokrasi. Bedanya, jika dalam film yang disebutkan di atas kedua jago adalah alien, dalam Pemilu 2019 kedua jagonya adalah manusia, jadi kita bisa sedikit optimis dan melunakkan slogan menjadi Whoever Wins, We [Might] Lose (Siapapun yang menang, [bisa saja] kita kalah).

Mengapa kita [bisa saja] kalah? Kadang politik memang ganas, dari jelata sampai pembesar, dari jongos sampai tuan, dari bajingan sampai agamawan, dari pengangguran sampai cendekiawan, dari guru honorer sampai guru bangsa, semua terperanjat menyaksikan betapa menggodanya tarian dalam jagad perpolitikan. Ada yang tetap sadar dan waras, namun ada yang terkadali atau terkooptasi. Banyak yang ingin mementaskan nafsunya di panggung politik, meski banyak juga yang konsisten berpuasa. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya berdevolusi menjadi—meminjam ungkapan Buya Syafii Maarif—politisi rabun ayam, yang hanya memikirkan urusan jangka pendek, seperti keuntungan pribadi dan pandangaya hanya sebatas pemilu, sedangkan mereka tidak mau naik kelas menjadi negarawan (Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan [2004]).

Begitu terjun, tidak sedikit elite dan pendukungnya yang tidak segan-segan menghitamkan yang putih, begitu juga sebaliknya, terlepas dari seberapa hebat iman atau tingginya tingkat pendidikannya. Gelar Homo sapiens (arti harfiahnya, ‘manusia yang bijak’) bisa saja ditanggalkan oleh sebagian elite politik atau pendukungnya. Ada juga filosof yang siap meninggalkan kebijaksanaannya dan menjadi pengemis suara. Kadang kala, ada sebagian mereka yang menjadi praktisi politik senggol-bacok. Sebab, ketika gerak politiknya, atau junjungannya, dikritik, naik pitamlah mereka. Pada titik itu, bagi mereka tukar bogem hingga banjir darah hukumnya naik jadi “sunah muakad”. Ada pula sebagian jago yang gandrung memerangi jago lain dan pendukungnya, karena toh untuk mencapai perdamaian, orang harus berperang (ingat si vis pacem parabellum!). Hal demikian tidak hanya dijumpai di antara wakil rakyat, tapi juga pendukung mereka di jalanan.

Baca Juga  Belajar Filsafat, Siapa Takut!

 Itu lumrah, sebab beberapa abad yang lalu negarawan Jerman, Claus von Clausewitz, dalam bukunya On War (1974:7), sempat bilang bahwa perang adalah anak kandung politik. Tak sedikit pula elite yang siap menjadi setan asalkan kekuasaanya tergenggam. Pada titik itu, kawula yang berseberangan dengan elite yang berkuasa harus menjadi pihak yang kalah. Kebenaran pihak yang kalah akan—jika bukan harus—menjadi kesalahan. Itu sangat mungkin terjadi karena, dalam beberapa kasus, history is written by the victor (sejarah ditulis oleh para pemenang). Kebenaran bisa difabrikasi. Karenanya, politik pun juga memecah-belah.

Relevan jika saya sebut kita [bisa saja] kalah. Tapi jangan kaget, sejak bergulirnya waktu kawula sudah dipermainkan oleh elite ataupun jago politik yang menyamar sebagai pemimpin bagi kawulanya. Sejatinya, yang dipertaruhkan dalam setiap manuver politik para elite dan jawara adalah nyawa rakyat kecil, bukan leher penguasa, elite partai, anggota dewan, bukan pula lidah komentator politik. Rakyat kecil, yang notabene hanya memiliki modal hidup yang sangat terbatas, adalah mereka yang harus bergulat setiap harinya melawan naiknya harga kebutuhan bahan pokok, mahalnya harga bahan bakar minyak, tingginya pajak, mahalnya biaya pendidikan, ataupun bencana alam dan kemanusiaan lainnya akibat “kasih sayang” Tuhan atau malpraktik administrasi pusat maupun daerah. Bahkan dalam manuver politik sekaliber revolusi pun, sehabis-habisnya rakyat berjuang dan berkuah darah di garis depan, pada akhirnya mereka adalah yang pertama tenggelam dalam ketidakjelasan. Demikian ungkap Peter Kropotkin dalam salah satu magnum opus-nya, The Conquest of Bread (1995:52)

Meski banyak yang memberi manfaat serta menghadirkan zaman keemasan dan kemakmuran bagi kawulanya, banyak pula penguasa (padanannya elite) yang lebih senang menjajakan dan menjual nasib, dan bahkan nyawa, kawulanya ke tangan penjajah, perampok, kolonialis, industrialis, kapitalis, dan semacamnya. Maka dibuatlah perjanjian dagang, lahan pertanian, gulag, penjara, kamp konsentrasi, kamp reedukasi, persekusi, kekerasan retorik, hingga tuduhan makar yang khusus diperuntukkan bagi dan memarginalkan mereka yang kalah, atau tak sejalan dengan penguasa. Atau, yang paling mutakhir, tak segan-segan menggunakan alat negara untuk menghabisi lawan politiknya, sebuah keajaiban yang oleh Ariel Heryanto disebut menembak lalat menggunakan meriam (“Setengah Abad Golput,” Tempo 1 Februari 2019). Karenanya, tak mengherankan pula jika faktanya penguasa (yang termasuk elite politik) bumiputra sendiri lah yang pertamanya dengan senang hati menjajah dan memperbudak rakyatnya agar bisa berdagang dengan, atau menjadi “sahabat” dari, calon penjajah untuk mendapatkan kemakmuran dan keuntungan pribadi yang dapat mendongkrak prestisenya.

Baca Juga  Melihat Pancasila di Pakelan: Sepenggal Kisah Merayakan Iduadha Bersama Non-Muslim

Situasi seperti itu tak jarang dijumpai, mulai dari zaman nirleka hingga kontemporer. Yang tak jarang terjadi adalah Tuhan dan agama dimanipulasi dan dijadikan perhiasan oleh elite. Atau, lebih parah lagi “Tuhan ‘dipaksa’ untuk berpihak kepada kelompok-kelompok politik yang saing bersaing,” tegas Buya Syafii Maarif dalam Membumikan Islam (1995). Entah dengan cara menjadikan ulama sebagai elite politik atau menunggangi emosi dan suara ulama. Dengan skema pikir seperti itu, tumpukan derita dan mayat rakyat akan menjadi perkara mudah, sebab itu bisa membusuk dengan sendirinya. Sepertinya, kecenderungan semacam dijumpai nyaris di seluruh penjuru bumi, dan dilakukan oleh berbagai elite dan jawara politik, terlepas dari latar belakang keagamaannya. Yang lebih menyedihkan, penguasa Islam tak luput dari dosa semacam ini.

 Konon, menurut Kiai Hadjid dalam Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan (2018:39), Kiai Dahlan pernah berpesan, “Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.” Pemimpin yang seperti itu jelas hidup dalam keadaan yang sangat aman. Sambil menjual ilusi kemakmuran, mereka menginjak mayat rakyat melarat. Sedangkan leher mereka jauh dari tiang gantungan, dan perut mereka aman dari lapar. Pada titik ini, politik bisa membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri, sesamanya, alamnya, dan bahkan Tuhannya, sebab kekuasaan sudah dijadikan berhala. Dalam kondisi demikian, “evil is human,” tandas Erich Fromm dalam On Being Human (2002:27–29).

Elite politik, atau pemimpin, yang demikian itu hanya dapat memberikan kekalahan, dunia maupun akhirat, dan menghadiahkan bencana kepada kawulanya. Sampai sini, tentu kita perlu dengan serius mempertanyakan apakah kita sudah benar-benar yakin bahwa elite politik yang kita dukung akan membawakan kemenangan kepada kita; ataukah justru kekalahan? Pentingkah kita mengorbankan segala daya, upaya, waktu, harta, dan suara kita hanya demi mendukung ataupun menghujat salah satu elite politik atau pendukungnya? Bagaimana mungkin kita menyerahkan nasib kita sepenuhnya kepada elite politik yang belum tentu sepenuh hati memikirkan kita dan jelata lainnya?

Baca Juga  Sikap untuk Teman yang Merasa Gagal

Niscaya, yang ada hanya tanda tanya. Karena manusia memang sama sekali bukanlah makhluk yang omniscient, bahkan ilmu yang dipakainya membaca situasi politik dan kebangsaan pun sama sekali tidak bersifat omniscience. Ada lubang relativitas di mana-mana. Meski bisa optimis ataupun pesimis, keyakinan kepada jago ataupun jawara politik (yang bukanlah adimanusia) adalah suatu hal yang tak pasti dan sangat relatif. Apalagi mereka sangat bisa berubah, terlebih bila menyangkut urusan duniawi. Lidah mereka tiba-tiba bisa saja bercabang, dan wajahnya atau kulitnya dapat berubah sewaktu-waktu. Hal yang sama juga berlaku bagi kawula biasa.

Waktu kita untuk bernafas tidak banyak, masih perlukah kita gandrung meramaikan urusan politik sedangkan urusan yang lebih penting lainnya masih terbengkalai di luar sana? Padahal, masing-masing kita akan “bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Al-Muddatstsir ayat 38), dan umur, ilmu, harta, dan badan akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Tentulah, suara manusia bakal dihisab pula di hari nanti. Meski banyak orang menyatakan bahwa berpolitik atau mendukung elite politik adalah ijtihad, bahkan jihad, perlu kita takar lagi substansialitasnya. Sebab, kenyataannya masih ada jutaan ranah lain di luar politik yang masih memerlukan ijtihad dan jihad dari kita.

Sabda Kiai Dahlan di atas nampaknya perlu kita jadikan nasihat untuk berkaca diri dan terus meningkatkan kesadaran dan kewarasan di tahun politik yang sarat godaan duniawi ini. Sebab, politik memang mampu menciptakan polarisasi di tengah umat dan memiliki potensi memecah belah.[1] Apalagi, siapapun elite yang menang, harga minyak dunia bisa saja akan terus naik, sehingga akan berdampak kepada tingginya harga barang lain yang niscaya menyebabkan tingginya biaya hidup. Artinya, rakyat pun bisa saja tetap kalah; dan kalaupun ada yang menang, itu hanya segelintir saja. Setidaknya, itu yang terjadi di negeri ini sejak awal zaman hingga kini. Dengan demikian, dibandingkan urusan politik praktis, ada banyak ijtihad lain di berbagai bidang yang jelas dapat memberikan keuntungan langsung kepada khalayak dan memenangkan mereka. Seyogianya pengalaman itu dijadikan pelajaran agar kita tak berpikiran dan bersikap ekstrem soal politik.

Ketimbang bermain politik, manusia seperti Kiai Dahlan—dan manusia bijak-bajik lainnya—lebih senang mengurusi urusan duniawi yang bernilai surgawi, yang sudah jelas moral dan kebenarannya. Sehingga, jika kita mengikuti jejak Kiai Dahlan dan insan semacamnya, barangkali hanya ada satu slogan yang tepat, Whoever Wins, We Win [Earthly and Heavenly]. Mengapa demikian? Sebab—menurut nasihat Buya Syafii (1995)—Tuhan memang memihak. Ia memihak kepada golongan manusia yang bertakwa dan berbuat baik. Pertanyaannya kemudian, apakah politik benar-benar dapat membuat kita semakin takwa atau semakin baik? Nampaknya, pertanyaan yang satu ini perlu kita jawab sendiri, berbekal hati suci. Wallahu a’lam bishawab.


[1] Ahmad Najib Burhani, “Muhammadiyah di Tahun Politik,” Kompas 25 Januari 2019.

*) Peminat kajian humaniora dan Muhammadiyah

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds