Indonesia sebagai populasi terbesar umat Islam tentu berbagai kegiatan ibadahnya tidak lepas dari yang namanya masjid. Dalam Islam masjid memiliki kedudukan yang mulia selain sebagai tempat melaksanakan ibadah. Masjid juga sebagai tempat yang dicintai oleh Allah. Sebagaimana sebuah hadits yang berbunyi, “tempat yang paling dicintai Allah dalam suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya” (riwayat Muslim).
Sesuatu yang dicintai Allah Swt pastilah sesuatu yang bernilai baik dan mulia. Sehingga layak ditempatkan pada kedudukan yang mulia di dalam Islam. Kecintaan Allah Swt terhadap masjid dapat diketahui dari ketentuan untuk melepaskan masjid dari status kepemilikan pribadi atau kelompok manusia melalui mekanisme wakaf agar masjid-masjid di muka bumi sebagai tempat yang paling dicintai Allah Swt hanya dimiliki oleh diri-Nya.
Selain statusnya sebagai tempat ibadah sekaligus tempat yang paling dimuliakan. Dan terbebas dari kepemilikan pribadi, masjid pada kenyataannya juga sebagai ruang terbuka kaum Muslim yang memiliki fungsi untuk aktivitas sosial keagamaan. Di Indonesia sendiri, fungsi masjid akan semakin tampak terlihat ketika bulan ramadhan tiba. Pada bulan tersebut berbagai kegiatan ibadah dilakukan di masjid. Kegiatan tersebut ada yang bersifat hablumminaallah, yakni menekankan hubungan dengan Allah Swt. Dan ada juga yang bersifat hablumminannas, yakni buka bersama atau bertemu untuk mempererat silahturahmi (Firdaus, 2021).
Karena fungsi masjid yang bukan semata-mata tempat ibadah saja, fungsi masjid terkadang juga digunakan sebagai aktivitas propaganda dan pengkaderan kaum Muslim oleh sejumlah pihak untuk kepentingan tertentu. Hal itu sebagaimana terlihat pada masjid Wunsdorf, sebuah masjid pertama di Jerman.
Sejarah Wunsdorf, Masjid Pertama di Jerman dan Dinamika Politisnya
Menurut penelitian dari parlemen, Jerman adalah rumah bagi “setidaknya 2.350 hingga 2.750 masjid atau asosiasi Islam”, yang ditujukan untuk sekitar 4,4 dan 4,7 juta warga Muslim dari berbagai aliran atau kelompok etnis dan pandangan politik (Strack, 2018). Sedangkan dalam sebuah studi oleh Konferensi Islam Jerman, pada tahun 2019 setidaknya terdapat sekitar 24% dari 5,5 juta Muslim yang tinggal di Jerman rutin mengunjungi masjid setidaknya sekali dalam seminggu (Baumann, 2022).
Sebagaimana masjid-masjid di Indonesia pada masa lampu, masjid di Jerman juga memiliki sejarahnya yang unik bahkan politis, salah satunya adalah masjid Wunsdorf. Masjid Wunsdorf sendiri dibangun pada tahun 1915. Masjid ini dianggap sebagai bangunan Islam pertama di Jerman dan seluruh Eropa Tengah. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga digunakan kekaisaran Jerman untuk membangkitkan sentiment negatif tawanan Muslim untuk melawan Perancis dan Inggris (Baumann, 2022).
Kekaisaran Jerman menyebut langkah ini sebagai “strategi revolusioner”. Di masjid inilah, kaum Muslim dimanfaatkan untuk dikirim ke garis depan dalam perang suci melawan Perancis dan Inggris. Strategi kekaisaran Jerman ini, tak bisa lepas dari sejarah ketika perang dunia I mulai membara di seluruh Eropa. Adalah Max Von Oppenheim seorang diplomat dan orientalis Islam yang memberi Kaisar Wilhelm II sebuah rencana besar.
Untuk meningkatkan peluang Jerman memenangkan perang, Max Oppenheim menyarankan agar Jerman melibatkan kembali tentara Muslim yang ditangkap dari pasukan Rusia, Inggris, dan Perancis dengan meyakinkan mereka untuk mengobarkan jihad melawan kekuatan Rusia, Inggris, dan Perancis. Maka pada tahun 1915, Jerman membangun dua kamp untuk menampung tawanan perang yang ditangkap dari pasukan sekutu dari koloni India dan Afrika, serta dari Krimea, Kazan, dan Kaukasus.
***
Para tahanan ini ditempatkan di Masjid yang sengaja dibangun bernama Wunsdorf atau yang dijuluki sebagai “half moon camp”, karena konsentrasi umat Islam dan para tahanan yang tinggal disana ada sekitar 5000 orang. Sedangkan para tawanan yang lain ditempatkan di Zossen (Scheffner, 2017). Di dalam masjid sekaligus menjadi tempat kamp tahanan, para tahanan ini sebagaimana Reinhard Bernbeck, seorang profesor arkeologi Timur dekat di Universitas Berlin, mengatakan bahwa para tahanan ini dianjurkan untuk selalu taat dalam melaksanakan sholat lima waktu.
Sedangkan ketika datang untuk melaksanakan sholat Jum’at, khotbah yang disampaikan harus mengandung unsur-unsur politisasi mengenai jihad. Masjid Wunsdorf dibangun sedemikian rupa termasuk prasasti kaligafinya dibuat untuk membangkitkan sentimen para tahanan dalam berjihad (Scheffner, 2017). Bahkan untuk semakin meningkatkan moral para tahanan ini terhadap pentingnya jihad melawan musuh.
Pihak Jerman sampai mendatangkan seorang imam Tatar Volga bernama Alimcan Idris. Berusia sekitar 20-an tahun, ia merupakan ahli filsafat dan agama yang bekerja di Kementerian Perang Ottoman sebelum mengabdi pada Jerman tahun 1916. Berkat khotbahnya yang berapi-api dan penuh propaganda, ratusan tawanan Muslim berhasil direkrut di Wunsdorf dan Zossen (Oktorino, 2017).
Pada era selanjutnya setelah kejatuhan Jerman pada perang dunia I dan menjelang akhir perang dunia II hingga tahun 1994, masjid Wunsdorf menjadi Pusat Komando Tentara Uni Soviet di Jerman. ada sekitar 35 ribu tentara Uni Soviet yang ditempatkan di Wunsdorf bersama keluarga mereka. Karena itu, pada gilirannya daerah ini juga dikenal dengan sebutan Moskow kecil (Pratiwi, 2017).
Daftar Referensi
Baumann, B. (2022, Oktober 25). Enam Fakta Menarik Seputar Masjid di Jerman. Retrieved from Dw.com.
Firdaus, M. (2021). Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Oktorino, N. (2017). Bulan Sabit dan Swastika (Kisah Legiun Muslim Soviet Hitler). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Pratiwi, F. (2017, Mei 9). Wunsdorf, Lokasi Berdirinya Masjid Pertama di Jerman. Retrieved from Republika.co.id.
Scheffner, P. (2017, Januari 2). The Muslims of Wunsdorf. Retrieved from Exberliner.com.
Strack, C. (2018, Oktober 15). Berapa Banyak Masjid di Jerman? Retrieved from Dw.com.