Oleh: Mu’tasimbillah Al-Ghozi
Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, bertepatan dengan 18 November 1912, kaum muda di Kauman dan sekitarnya mendirikan sebuah perhimpunan. Di bawah pimpinan Khatib Amin Masjid Agung Yogyakarta, hari itu kaum muda mendirikan Muhammadiyah sebagai perhimpunan yang legal.
Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan adalah seorang santri, seorang khatib, dan seorang guru yang berpandangan luas lagi serius. Banyak kiai di saat itu yang pandai dan termasyhur hingga dari segala penjuru berdatangan santri-santri untuk belajar agama. Tetapi hal ini tidak akan berlangsung lama, karena kemasyhuran ini akan berakhir setelah beberapa waktu kiai itu berpulang.
Hal itu telah menjadi perhatian Aahmad Dahlan. Apa yang di saat itu dicita-citakannya adalah kelangsungan pelajaran agamanya dan caranya berfikir dalam beragama agar jangan berhenti setelah ia berpulang. Apapun yang terjadi pada dirinya sebagai guru, ajaran yang telah diberikan kepada orang lain, harus terus dikembangkan. Tetapi bekal pendidikan dan alam sekitarnya telah memberikan dinding pembatas yang sempit bagi pemecahannya.
Kecerdasan fikiran yang berpandangan jauh ke depan menyebabkan diri Ahmad Dahlan terbuka akan hal yang baik dan bermanfaat bagi cara pengajaran santrinya. Kemajuan orang lain akan selalu membuka hatinya untuk belajar guna memajukan pesantrennya. Dilahirkan dari keluarga Muslim, bahkan dari keluarga pemimpin agama di kala itu, kiai atau pun khatib, bahkan penghulu Kraton di saat itu, masih dalam lingkungan keluarga Ahmad Dahlan. Dan sebagai penduduk kampung Kauman Yogya, beliau juga lahir dari kalangan pedagang batik.
Gerakan Pembaruan
Ahmad Dahlan pergi haji sekali seorang diri dan sekali bersama puteranya. Kesempatan di Tanah Suci digunakan untuk belajar agama Islam. Ini semua merupakan komponen yang merupakan seorang muda bernama Darwis menjadi seorang Ahmad Dahlan yang alim, berpandangan jauh, yang dapat melihat bagian Islam yang masih suci dan mana yang sudah bercampur kebiasaan yang tidak benar.
Dalam keadaan seperti itu, pikiran Ahmad Dahlan mendapat sambutan dari kalangan muda Muslim di kampung Kauman. Idenya untuk membentuk majlis musyawarah terlaksana pada tahun 1898 dengan bantuan dari anak muda yang menjadi muridnya. Musyawarah yang memang tidak mengambil putusan tentang kiblat shalat, telah menggegerkan Masjid di Kauman.
Anak-anak muda yang ikut mendengarkan musyawarah itu melihat adanya kekeliruan arah kiblat di dalam Masjid Besar Kauman yang menghadap lurus ke barat itu. Tanpa memperhitungkan resiko, mereka membuat garis shaf ke arah kiblat Ka’bah, yang berarah agak ke barat laut. Kiai Penghulu murka atas koreksi itu. Tetapi kemurkaan Kiai Penghulu merupakan pengalaman yang berfaedah bagi Ahmad Dahlan di waktu berikutnya.
Didukung Kaum Muda
Sudahlah menjadi kebiasaan anak muda selalu tidak puas kepada kalangan tua yang sudah mulai jenuh. Kejenuhan ditambah kecapekan akan menghasilkan situasi yang rutin. Tidak ada lagi kemajuan, bahkan terhadap kemunduran tidak lagi peka. Mereka mendukung sepenuhnya gerakan Ahmad Dahlan ketika akan mendirikan sebuah perhimpunan.
Berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912 tidaklah dapat dipisahkan dengan enam pemuda yang menjadi murid Kiai Ahmad Dahlan di samping beliau sendiri. Mereka itu adalah pemuda-pamuda yang di hari tuanya bernama Haji Syarkawi, Haji Abdulgani, Haji M. Syudja’ Haji Hisyam, Haji M. Fachrodin, dan Haji Tamim. Tidak dapat dilupakan nama Joyosumarto dan dokter Wahidin Sudirohusodo dengan Boedi Oetomo-nya di Yogyakarta.
Semua itu tercatat di dalam sebuah memori yang kemudian ditulis oleh HM Syudja tentang Riwayat Hidup KHA Dahlan, gurunya.
Sumber: artikel “Peristiwa Kelahiran Muhammadiyah” karya Mu’tasimbillah Al-Ghazi (SM No 2/Th ke-57/1977). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif