Akhirnya saya tiba di Big Ben, London. Sebuah landmark yang setiap orang ingin berfoto di depannya. Yang terletak persis di atas Palace of Westminster, sebuah gedung parlemen tertua di jagat raya, yang pemerintahannya pernah mencapai ujung jauh Semenanjung Malaysia, Selatan India, hingga nun barat di Amerika. Yang pernah dengan sewenang-wenang menggaris batas-batas negara dan membaginya dengan kekuatan sekutu seolah itu hanya kue lapis saja.
Big Ben adalah landmark paling terkenal di dunia. Boleh jadi ia setara dengan Menara Eifel di Paris dan Patung Liberty di New York. Begitu sampai di hadapan kemegahannya, saya sedikit tertegun—tak semegah yang saya bayangkan. Tentu ada perasaan bahagia. Namun memori saya justru jauh mundur ke belakang. Ketika waktu SD, saya, anak pasangan miskin di desa, diajak masuk ke sebuah mall oleh salah seorang paman yang cukup berada.
Saat itu, saya diminta memilih roti di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Kota Solo. Saya awalnya malu. Namun dipaksa. Ya sudah, pilihlah apa saja. Toh tidak ada roti di situ yang saya sudah tau rasanya.
Bohong kalau saya bilang tidak ada excitement dalam gigitan pertama di roti itu. Mulut yang biasa mengunyah roti murah seribuan di toko kelontong terdekat, tiba-tiba merasakan roti yang display-nya saja sudah cantik, tentu ada kebahagiaan. Namun, setelah segigit dua gigit, rasanya—ah begini saja ternyata. Enak, namun tidak sampai di level “seenak itu”.
Saya juga ingat, beberapa tahun silam, ketika kaki ini pertama kali keluar dari Pulau Jawa. Saat tiba di Pelabuhan Gilimanuk di Jembrana, Bali. Seminggu dua minggu sebelum berangkat, saya sangat antusias. Saya ingat persis, langkah kaki saya ketika menginjak tanah Jembrana membuat saya begitu bahagia. Akhirnya, saya menginjak tanah yang bukan tanah Jawa. Namun, excitement itu toh tidak langgeng juga. Setelah dua-tiga hari di sana, atau setelah kunjungan kedua-ketiga, rasa-rasanya Bali ya begitu-begitu saja.
Hal yang sama terjadi ketika pertama kali ke luar negeri, menginjak Tanah Singapura melalui Pelabuhan Batam. Ada rasa kagum yang begitu dalam terhadap Singapura, sekaligus rasa bangga bisa menjelajahi peradaban yang begitu maju. Lama-lama, semua terasa biasa saja. Ternyata, momen “pertama kali” itu selalu berbeda dengan momen-momen yang bukan pertama kali.
Sepulang dari Big Ben, saya berpikir, jangan-jangan manusia itu memang tidak ada puasnya. Dulu saya begitu ingin menghirup udara luar negeri. Setelah mendapati hal itu, ya sudah rasanya begitu-begitu saja. Dulu saya senang sekali bisa ke Pulau Dewata. Setelah sampai di sana, pantai-pantai selatan Jawa, yang jaraknya hanya dua jam dari rumah, juga sama indahnya.
Dulu, di masa-masa frustasi dan jenuh karena skor IELTS tak kunjung naik, saya protes ke seorang kawan yang lebih dulu berangkat ke luar negeri. Ia, yang tengah kuliah di kampus top Inggris, sering mengeluh karena tugas yang berat. Saat itu saya protes, wong sudah dapat privilege belajar di kampus top, ditambah beasiswa yang luar biasa besar, kok masih saja ngeluh sampai nangis-nangis. Protes saya itu agaknya diwarnai oleh rasa frustasi saya yang belum bisa berangkat dan begitu suntuk karena setiap hari harus berhadap dengan IELTS.
Setelah saya berada di posisi kawan itu tadi, saya begitu mafhum. Selain karena tugasnya memang berat, excitement karena mendapatkan privilege itu tadi sudah aus termakan waktu. Excitement untuk jalan-jalan ke tempat-tempat fenomenal sudah hilang ditelan zaman. Kegembiraan-kegembiraan kecil itu rupanya tak langgeng. Yang tersisa hanya beban menjalankan kewajiban sebagai seorang mahasiswa dengan ekspektasi orang-orang yang relatif tinggi.
Setelah saya cari, sepertinya ada elemen yang bisa menggantikan excitement kecil, yang bagi sebagian orang disebut dengan “kegembiraan” (untuk membedakannya dengan kebahagiaan). Yang bisa menggantikan kegembiraan itu adalah rasa syukur.
Rasa syukur adalah rasa di mana kita merasa cukup, untuk tidak lagi mengejar sesuatu yang artifisial, yang berorientasi hanya pada komentar “keren” dari orang-orang. Lebih jauh, syukur, bagi saya, adalah perasaan untuk mengejar sesuatu yang membuat hati kita menjadi tenang dan bahagia, alih-alih mengejar supaya pamor di hadapan orang lain bertambah. Syukur adalah rasa dimana kita merasa cukup dengan memiliki hal-hal yang membahagiakan diri sendiri, alih-alih terus menerus berusaha mengejar pujian-pujian artifisial.
Syukur bagi saya adalah melihat ke dalam hati. Mempertanyakan apa yang sejatinya saya cari. Jangan-jangan, excitement saya yang cepat menguap itu disebabkan oleh motivasi awal yang sudah menyimpang. Jangan-jangan tujuan saya bukan menapaki jalan kebahagiaan sejati, namun justru sekedar mencari tepuk tangan dan sorak sorai.
Kebahagiaan, kata seorang kawan, adalah secara jujur dan tulus mengikuti kata hati. Kata nabi SAW, istafti qolbak, tanyakan pada hatimu. Apa mau hatimu, apa kata nuranimu. Sementara kegembiraan, excitement, adalah mengikuti apa mau khalayak. Apa yang menurut kata orang itu keren. Apa yang membuat kita dihormati, disanjung-sanjung. Padahal, ia menyimpang dari keinginan jauh di lubuk hati.
Kegembiraan berasal dari luar. Melekat pada barang-barang mewah. Pada foto-foto keren. Pada “gengsi” yang mengundang kekaguman. Sementara kebahagiaan berasal dari hati. Bersifat langgeng. Mengundang ketenangan dan kekhusyukan jiwa.
Pada akhirnya, setelah menjalani hidup seperempat abad ini, pelajaran yang saya dapatkan, yang masih begitu sulit untuk saya praktikkan, adalah: mari kita kembali pada kedaulatan hati dan pikiran. Tidak perlu terlalu haus ingin mencari puja-puji di luar sana. Itu hanya akan membuat kita lelah, tak berujung. Tak ada habisnya. Tak ada puasnya. Tidak perlu ingin dibilang hebat, bisa ini itu. Gagah, tampan, bergelimang harta, itu di mata orang lain. Di mata Tuhan, di mata semesta, lain soal.