Falsafah

Cara Memperoleh Kebahagiaan Menurut Al-Farabi

3 Mins read

Kebahagiaan akan menjadi topik hangat yang tak lekang oleh waktu untuk didiskusikan. Hal itu dapat dipahami bahwa setiap individu atau kelompok di seantero bumi ini pasti mendambakan kebahagiaan. Konsep mengenai kebahagiaan telah dipersoalkan dan dikembangkan oleh para tokoh bahkan sejak sebelum masehi.

Sokrates, misalnya, menyebut bahwa cita-cita hidup manusia ialah untuk mencapai kebahagiaan atau apa yang ia sebut eudaimonian. Sementara Plato, muridnya, mengerucutkan ide gurunya tersebut dengan mempertalikan konsep eudaimonia dan polis (negara). Menurut plato, ada hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat; bila sistem pemerintahan suatu negara buruk, mustahil masyarakatnya bahagia, sebuah ide yang masih sangat relevan hingga saat ini.

Sejak terbukanya arus keilmuan filsafat Yunani di dunia Islam, bermunculan filsuf-filsuf Islam yang sebagiannya juga berbicara mengenai kebahagiaan. Adalah al-Farabi, filsuf Islam pasca al-Kindi dikenal sebagai al-Mu’allim ats-Tsani, menulis dua buah karya besar yang fokus mendiskusikan konsep kebahagiaan yaitu Tahsil al-Sa’adah dan al-Tanbih al-Sa’adah.

Pandangan Al-Farabi tentang kebahagiaan selain memiliki keunikan tersendiri, terlihat masih dipengaruhi oleh gagasan filsuf-filsuf Yunani. Menurut al-Farabi, kebahagiaan merupakan absolute good atau kebaikan puncak, sebuah ide yang secara umum dapat ditarik dalam gagasan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates pernah menyatakan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan pengetahuan akan yang baik, sementara pengetahuan itu muncul dari suara hati (etika otonom).

Dalam karyanya yang berjudul al-Tanbih al-Sa’adah, al-Farabi mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri. Maksudnya ketika seseorang melakukan kebaikan maka tindakan itu didasari oleh kemauannya sendiri dan dengan motif suka melakukan kebaikan. Alasan seseorang melakukan kebaikan bukan karena apa-apa atau ada apanya, melainkan bahwa melakukan hal yang baik itu membuatnya bahagia, begitu sebaliknya.

Baca Juga  Henri Bergson: Meraih Kebebasan Hidup dengan Intuisi

Tegasnya, bagi al-Farabi, kebahagiaan merupakan sebuah fase tertinggi di mana jiwa manusia menjadi sempurna dalam wujudnya sendiri, tidak menghendaki keberadaan materi apapun. Al-Farabi juga beranggapan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan yang diinginkan dan nantinya akan menjadi akhir dari segala aktivitas manusia.

Langkah-Langkah Memperoleh Kebahagiaan Menurut Al-Farabi

Bagaimana langkah-langkah memperoleh kebahagiaan dalam artian absolute good-nya al-Farabi tersebut? Dalam karyanya Tahsil al-Saadah al-Farabi menunjukkan ada empat jalan yang mesti ditempuh.

Pertama, seseorang mesti menumbuhkan kehendak, niat, tekad, dan sikap bersedia untuk menghadapi peraturan moral di dalam hatinya. Menurut al-Farabi kehendak menjadi langkah awal manusia menuju kebahagiaan. Niat dan kehendak manusia yang ada di hati dan di pikirannya harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari atau segala hal yang menurutnya baik harus diwujudkan. Jika tidak maka kebahagiaan tidak akan pernah terwujud.

Beberapa tahun belakangan, 2013, sebuah laporan penelitian berjudul Trying to be Happier Really Can Work yang ditulis oleh Yuna L. dan Kennon M. (2013) menyimpulkan hal senada. Penelitian dilakukan dengan menguji dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama diminta untuk mendengarkan musik dan memusatkan pikiran pada rasa bahagia, sementara kelompok lainnya hanya diminta untuk mendengarkan musik tanpa intensi apapun.

Hasilnya, kelompok yang diminta untuk memikirkan tentang rasa bahagia ketika mendengarkan musik mengalami peningkatan rasa bahagia yang lebih besar ketimbang kelompok lainnya. Kesimpulan ini membuktikan secara ilmiah pernyataan al-Farabi beberapa abad yang lalu.

Selanjutnya, kedua, menurut al-Farabi kebahagiaan dapat dicapai melalui upaya terus-menerus mengamalkan perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Hal itu berarti setelah faktor niat, kebahagiaan dapat diperoleh melalui upaya yang continue mengintegrasikan antara pemahaman dan aksi akan hal-hal kebajikan sehingga pada saatnya menjadi habit.

Baca Juga  Ketika Islam dan Kristen Bersatu

Sesuai dengan pepatah lama “siapa yang menanam dia yang akan menuai”. Maksudnya, kebiasaan baik yang terus dirawat akan berdampak baik pula pada yang merawatnya. Kebiasaan membaca buku, misalnya, membuat seseorang memiliki bangunan intelektual yang baik. Dia akan memperoleh kebahagiaan lewat data, informasi, pengetahuan, wawasan, dan ilmu yang luas sehingga tidak gampang tertipu dan termakan informasi hoax.

***

Ketiga, melakukan keutamaan yang bersifat tengah-tengah (moderat). Menurut al-Farabi, keutamaan yang tengah-tengah ialah tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan jasad. Seperti sifat berani yang berada ditengah-tengah sifat tercela yaitu membabi buta dan juga penakut. Hal ini serupa dengan pendapat Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah. Menurutnya, semua keutamaan adalah pertengahan antara dua sifat yang ekstrim.

Ilustrasi tentang dua kecenderungan yang sangat berlawanan dalam membelanjakan uang dapat menjelaskannya. Orang pertama membelanjakan uangnya dengan berpesta pora. Sedangkan, orang kedua membelanjakan uangnya dengan sangat sedikit dan bahkan tidak cukup untuk dirinya sendiri. Dua sifat ini disebut dengan boros dan kikir, jalan tengah dari dua hal yang ekstrem ini adalah “kemurahan hati”.

Terakhir, keempat, diperlukan pemahaman yang baik terhadap empat sifat keutamaan untuk mencapai kebahagiaan. Hal-hal itu ialah keutamaan teoritis, keutamaan intelektual, keutamaan akhlaki, dan keutamaan amalia.

Keutamaan teoritis maksudnya mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat kontemplasi. Sementara itu, keutamaan intelektual sebagaimana dijelaskan Aristoteles merupakan keutamaan yang mampu menyempurnakan aspek rasio.

Rasio sendiri menurut Aristoteles memiliki dua fungsi; memungkinkan manusia mengenal kebenaran dan memberikan petunjuk agar orang dapat memutuskan sesuatu pada tindakan tertentu. Keutamaan intelektual menghubungkan seseorang pada pengetahuan teoritis sekaligus praktis.

Selanjutnya al-Farabi berpendapat bahwa keutamaan akhlak memiliki hubungan yang erat dengan kebahagiaan. Bila seseorang membiasakan hidup dengan akhlak yang terpuji, hal itu tanpa disadari akan mengarahkannya menjadi seorang insan yang berbudi pekerti baik.

Baca Juga  Makna Ujian Hidup Menurut Ibnu Qayyim

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, pangkal kebahagiaan ialah kebaikan. Terakhir, keutamaan amalia, menurut al-Farabi diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan yang merangsang.

***

Demikianlah konsep kebahagiaan menurut al-Farabi. Kesimpulannya ialah semua orang akan merasakan kebahagiaan tergantung kapan dan bagaimana ia mengupayakannya. Karena menurut al-Farabi, kebahagiaan merupakan kebaikan puncak sekaligus tujuan dari hidup.

Sebagai penutup, mari kita renungkan tentang kebaikan apa yang akan kita lakukan untuk menjemput kebahagiaan kita sendiri. Usah iri dengan kebahagiaan dan kesuksesan orang lain, karena bisa jadi ia bekerja lebih keras tanpa kamu ketahui.

Editor: Yahya FR

Herlina Suhardi
1 posts

About author
Mahasiswi IAIN Kerinci
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *