Feature

Yasin dan Al-Fatihah untuk Buya Yunahar

3 Mins read

Innalilahi wa inna ilaihi raji’un. Segala-gala yang bermula dariNya, akan berpulang ke pangkuanNya jua. Allah adalah tempat bermula, Allah adalah tempat kembali. Selamat jalan Buya Yunahar Ilyas, kembali ke haribaan Ilahi Rabbi.

Tepat di tahun 2009, kami bertemu dengannya. Di forum ilmiah Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), ia beradu wacana dengan dua pendekar intelektual Muhammadiyah: Moeslim Abdurrahman dan Amin Abdullah.

Dalam pertarungan akbar tersebut, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Hasilnya stalemate, remis!

Tetapi yang paling penting, meskipun remis, ada benang kusut yang terurai: ada masalah baru yang lebih dahsyat ketika kita berkomitmen untuk al-ruju ila al-Qur’an wa al-Sunnah.

Ketika Kang Moeslim menyebut “Ada ayat yang lebih besar, yakni ayat kehidupan,” Sang filsuf, Pak Amin Abdullah menegaskan, “Membaca kedua ayat itu perlu epistemologi baru, jalan dan arah baru, ijtihad yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Namun, di saat yang sama, Buya Yunahar menengahi dua mesin jet yang sedang meluncur cepat sekali itu: pikiran yang melampaui zaman. “Saya pikir, ayat-ayat al-Qur’an perlu kita akrabi, sedekat-dekatnya, seintim-intimnya, sebelum kita terlalu jauh pergi ke mana-mana,” tuturnya yang sangat reflektif.

Ia mengajukan, sebaiknya khazanah pengetahuan Islam klasik tidak dianggap usang dan dibuang begitu saja. Terlebih bahwa tradisi besar Islam tersebut telah melahirkan karya-karya yang masih senantiasa relevan, aplikatif dan ramah dalam imajinasi intelektual kaum Muslim.

Sebenarnya, melalui ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul al-fiqh, ilmu tasawuf, kalam dan falsafah, lalu tarikh, adab dan hadlarah, kitab suci umat Islam tersebut bisa disingkap maknanya, sedikit demi sedikit. Hanya saja, yang perlu dikedepankan adalah semangat ilmiah yang teguh, kesabaran dan kesadaran ilahiah yang utuh dan bulat (tauhid).

Baca Juga  Muhammadiyah dan NU: Saudara Seiman yang Kadang Bertengkar

Memang tampaknya pendekatan yang demikian akan dianggap skripturalis-literalistik. Semua bahan-bahan yang ada, bersumber dan bermuara pada teks. Akan tetapi sebenarnya, penggerak utama yang paling menentukan corak pemikiran keagamaan tertentu adalah rasio.

Buya Yunahar: Tradisionalis dalam Pemikiran, Moderat dalam Berperilaku

Buya Yunahar berargumentasi bahwa, pendekatan klasik terhadap kitab suci merupakan salah satu bentuk kreativitas yang penting. Di samping itu, karena bersandar kepada tradisi Islam sendiri, maka dianggap lebih otentik.

Di saat yang sama, pendekatan ini membuatnya agak alergi dengan khazanah pengetahuan non-Islam (baca: Barat). Terutama metodologi tafsir yang berkembang di lingkungan Kristen Eropa (hermeneutika).

Secara terang-terangan, seorang tokoh penting di jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyatakan keengganannya dalam memakai hermeneutika. Hal ini tentu dapat dipahami. Di samping hermeneutika sebagai disiplin ilmu dianggap asing bagi benak kamu Muslim secara umum, juga tidak semuanya bersifat aplikatif.

Barangkali berkenaan dengan perkara ini, para sarjana Muslim berbeda pendapat. Termasuk, terutama, di lingkungan elit Muhammadiyah.

Masalahnya adalah, tidak selamanya mereka yang mengafirmasi pendekatan klasik Islam dalam memaknai al-Qur’an lantas konservatif. Jelas tidak semudah itu melakukan labelisasi pada kecenderungan berpikir tertentu.

Buya Yunahar meskipun dianggap tradisionalis dalam pemikiran, namun moderat dalam berperilaku. Ia meyakini bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Yang terbaik, adalah meniti dan mengikuti jalan tengah secara konsisten (al-washatiyyah).

Terlampau liberal mendekatkan pada kekafiran. Sementara terlampau konservatif, akan menduakan Allah, karena selalu berpikir dirinya sendiri yang paling benar. Yang ideal adalah senantiasa menjaga kesucian tauhid, berakhlak seperti Nabi dan menyejukkan hati kaum Muslimin dan umat manusia.

Buya Yunahar memang mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Bahasa Arabnya bagus sekali dan wawasannya mengenai tradisi Islam klasik, tak terbantahkan. Ia juga mengenyam pendidikan tinggi di Yogyakarta, di UIN Sunan Kalijaga. Ia berguru kepada Amin Abdullah, seorang penggagas fresh ijtihad.

Baca Juga  Haji dan Dialog Peradaban Global

Dengan pengalaman intelektual dan akademik yang dimiliki, ia secara otonom menentukan gaya dan style-nya sendiri. Buya Yunahar adalah seorang sarjana Muslim yang istimewa.

Ia pelestari khazanah Islam klasik, ia Muslim moderat dan ia di lingkungan Muhammadiyah dianggap sebagai salah satu sosok yang memperkaya wacana Islam Berkemajuan.

Sebagai penghormatan terakhir untuk Buya, izinkan kami mempersembahkan sepotong syair:

Malam mendung
sinar bulan berkilauan
timbul tenggelam
seorang pujangga berpamitan
hendak pergi ke pelataran Arsy
menemui sosok yang dicintai
meninggalkan sepucuk surat
tertulis huruf-huruf Arab
tertenun sebait puisi
berisi doa-doa
pemerdeka seekor merpati putih
dari sangkar besi kehidupan
para pemuda merapal mantra
Yasin dan Al-Fatihah
mengenang jejaknya
jalan tengah di bumi mulia

Di ujung timur Jawa Timur
Rogojampi, 3 Januari 2020

Selamat jalan Buya Yunahar. Terimakasih atas segala pelajaran, nasehat dan isyarat menjaga umat, menjaga tradisi, menjaga jalan tengah, menjaga perdamaian.

.

Editor: Yahya FR

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds