Surakarta-IBTimes.ID-Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surakarta kali ini berkesempatan mendatangkan Prof. DR. Yunahar Ilyas sebagai pembicara dalam acara Refreshing Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surakarta bertema “Penguatan Bermuhammadiyah Dalam Rangka Mewujudkan Kader Yang Berkualitas“, Selasa (21/05/19), di Aula Balai Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surakarta. Acara tersebut dihadiri oleh mayoritas anggota Muhammadiyah dari berbagai tingkat, mulai dari tingkat Ranting hingga tingkat Daerah Kota Surakarta. Nampak terlihat perwakilan dari Ortom dan AUM yang turut hadir meramaikan acara tersebut.
Dalam acara yang dimulai tepat pukul 20.30 WIB tersebut, Yunahar mengulas secara jelas dan terperinci sepuluh karakter kader Muhammadiyah yang wajib dimiliki. Para peserta terlihat sangat antusias mendengar uraian ceramah yang disampaikan oleh Yunahar, bahkan ada yang sempat mencatat poin-poin penting di sela-sela ceramah yang disampaikan.
Sepuluh karakter yang harus dimiliki ialah; (1) al-Fahmu, (2) al-Ikhlas (3) al-Amal, (4) al-Jihad, (5) at-Tadhiah, (6) al-Jama’ah, (7) ath-Tho’ah, (8) al-Ukhuwwah, (9) ats-Tsabat, dan (10) at-Tajarrud.
Pertama, yaitu Al-Fahmu yang bermakna paham atau memahami. Yakni paham tentang Islam secara kaffah. Kader Muhammadiyah tidak boleh mempunyai paham Islam yang setengah-setengah.
“Yang harus Kita pahami pertama kali yaitu Islam, karena Muhammadiyah adalah gerakan Islam, jangan salah paham apalagi gagal paham” ujar Yunahar diiringi gelak tawa para hadirin.
Menurutnya, paham Islam yang dianut oleh Muhammadiyah ialah paham Manhaji bukan paham Mazhabi karena Muhammadiyah tidaklah bermazhab. Pemahaman tentang Islam adalah pondasi dasar kader Muhammadiyah untuk memahami lebih jauh Muhammadiyah.
“Paham tentang agama Islam itu sangat penting, di setiap materi Baitul Arqom itu pasti ada materi tentang Al-Islam. Kalau sudah paham Islam dengan baik, maka otomatis paham Muhammadiyah. Jadi sudah memiliki paham Muhammadiyah, tidak perlu mendaftarkan diri jadi anggota Muhammadiyah pun dengan sendirinya sudah menjadi Muhammadiyah” imbuhnya.
Poin kedua yaitu al-Ikhlash (keikhlasan). Yunahar bersyukur karena keikhlasan sudah menjadi sifat mainstream yang dimiliki oleh mayoritas warga Muhammadiyah. Lantas, Yunahar memaparkan tiga indikator suksesnya seorang kader dalam kehidupan. Pertama yaitu Ikhlasunniyyah (niat yang ikhlas). Kader harus memiliki rasa ikhlas berkorban membantu menghidupi persyarikatan, tidak pamrih dan tidak pelit. Kedua yaitu itqonul ‘amal (profesional dalam bekerja) kader Muhammadiyah harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Jika kader Muhammadiyah bekerja maka dia harus bekerja dengan ikhlas, cerdas, dan tuntas. Sering datang rapat, kata Yunahar, juga termasuk perwujudan dari itqonul amal. Yang ketiga itu jaudatul ada’ atau memberikan hasil yang terbaik/maksimal. Setiap periode kepemimpinan haruslah lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya. Jika diberi amanah, harus berusaha memberikan hasil yang memuaskan.
Karakteristik kader yang ketiga yaitu al-Amal. Yakni ulet dan rajin bekerja. Senantiasa mengamalkan Islam untuk pribadi, agama, dan Negara supaya terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (MIYS).
“Alhamdulillah, Muhammadiyah dalam gerakan amalnya sudah cukup menonjol” kata Yunahar diiringi tepuk tangan para hadirin.
Amal Usaha Muhammadiyah itu dimiliki secara resmi oleh organisasi bukan perorangan, oleh karena itu sistem pengelolaannya bisa tertata rapi. Yunahar memisalkan amal usaha Muhammadiyah itu layaknya korporasi, sementara amal usaha yang dimiliki oleh NU layaknya koperasi, karena dimiliki oleh perorangan.
Keempat yaitu Al-Jihad. Kader Muhammadiyah harus mengerahkan segenap kompetensi yang dimiliki untuk melakukan kebaikan. Dalam masalah infaq, misalnya. Kader Muhammadiyah harus mengeluarkan infaq sebaik-baiknya, meniru apa yang sudah dilakukan oleh Khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddieq.
Kelima yaitu at-Tadhiah, yang bermakna rela berkorban. Korban waktu, korban harta, serta korban perasaanpun harus dicurahkan oleh kader Muhammadiyah.
“tidak ada ceritanya Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberi uang, yang ada malah PP yang menggalang bantuan dari tingkat bawahnya. Seluruh PTM itu wajib menyumbang 1% untuk Muhammadiyah, tidak ada PP itu bagi-bagi” tandas Yunahar.
Keenam yaitu al-Jama’ah (semangat berjama’ah). Merupakan suatu kensicayaan bahwa Muhammadiyah sebagai jam’iyyah (persyarikatan) harus memiliki sinergitas dan kekompakan dalam berorganisasi. Mulai dari tingkat ranting hingga pusat.
Karakteristik yang ketujuh itu at-Tho’ah (loyalitas/kepatuhan). Warga Muhammadiyah harus patuh dan loyak kepada pimpinan di tingkatnya masing-masing, dari ranting hingga pusat. Namun, pesan Yunahar, Kader Muhammadiyah janganlah terlampau patuh.
“Warga Muhammadiyah harus patuh tapi jangan terlalu patuh”.
“Kalau terlalu patuh biasanya apa-apa ditanyakan, permasalahan kecil-kecil pun akan ditanyakan ke majelis tarjih bagaimana fatwanya, kalau sekiranya sudah jelas atau bisa diputuskan sendiri, ya gak perlu minta fatwa tarjih, lah” tambah Yunahar.
Tapi, ada juga warga Muhammadiyah yang tidak patuh dan pura-pura bertanya.
Yunahar kemudian menceritakan pengalamannya, “Dulu ada yang tanya kepada saya, “pak, apa warga Muhammadiyah harus patuh putusan tarjih?” lalu saya jawab, “pak, pertanyaan Anda salah, harusnya kenapa Anda tidak ikut putusan tarjih dan alasan apa yang Anda gunakan untuk tidak patuh putusan tarjih?, tarjih memang tidak memaksa untuk dipatuhi tapi jangan sampai tidak mengikuti putusan tarjih tanpa alasan”.
Meskipun patuh terhadap pemimpin tapi semangatnya masih sahabat (egaliter)
Poin kedelapan yaitu al-Ukhuwwah (persaudaraan). Menurut Yunahar, iklim persaudaraan di Muhammadiyah sudah cukup bagus. Meskipun Muhammadiyah itu struktural, namun hubungan sehari-hari antar warganya masih bersifat kultural dan egaliter. Dulu, ketika pak AR Fachruddin antri mau makan, warga NU yang melihatnya menganggap hal itu kurang ajar, padahal hal tersebut sudah sangat biasa di Muhammadiyah. Muhammadiyah sangat egaliter tapi semangatnya itu semangat ukhuwwah, ta’awun dan takaful (saling memberi jaminan).
Kesembilan yaitu ats-Tsabat (konsisten/istiqomah). Istiqomah mencerminkan suatu sikap teguh pendirian, tidak gampang terbujuk dan tidak takut dari ancaman. Diancam tidak takut, dirayu tidak terbujuk.
“Watak Muhammadiyah sejak zaman penjajahan itu teguh dan fleksibel, tidak berpolitik dan mengambil jalur kultural. Agus salim pernah mengajak Muhammadiyah jadi parpol, tapi ditolak Ahmad Dahlan” ulas Yunahar.
Jika sudah menjadi gerakan Islam (seperti Muhammadiyah yang fokus pada ranah kultural) berarti mencakup seluruh aspek, tinggal strategi kita saja bagaimana mengaturnya tidak harus menempuh jalur politik.
Poin terakhir yaitu at-Tajarrud. Ke manapun dan dimana pun harus bangga bermuhammadiyah dan berdakwah.
“kalau saya ceramah di orang yang tidak suka Muhammadiyah, maka ya bikin mereka suka, jangan sembunyikan identitas kita. Dimana pun berdakwah perkenalkan diri sebagai warga Muhammadiyah”.
Pada sesi tanya jawab. Terdapat salah seorang hadirin yang bertanya mengenai Amar Makruf Nahi Munkar yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Karena selama ini, terutama paska Pilpres, Muhammadiyah kurang gaung terkait Nahi Munkar.
Yunahar menjawab “Jadi PP agak gamang menghadapi itu. Kalau bersuara keras khawatir dianggap 02 kalau diam saja dikira 01. Menyikapinya yaitu dengan berbicara secara normatif, kalau ada kesalahan laporkan ke MK, Polisi harus tegas dan lain-lain. Maka disampaikan secara normatif saja. Jadi keputusan-keputusan itu normatif dan silahkan tafsirkan sendiri”.