Inspiring

Yusuf al-Qaradawi: Fokus Persatuan Umat, Jangan Dibikin Pusing Urusan-Urusan Furu’iyyah!

4 Mins read

Ulama besar umat Islam sekaligus pemikir Islam terkemuka, Syaikh Yusuf al-Qaradawi, telah meninggal dunia pada hari Senin, 26 September 2022 di usianya yang ke-96 tahun. Wafatnya beliau menyisakan duka mendalam bagi umat Islam. Umat Islam kehilangan salah satu suluh yang selama ini menjadi penerang.

Kepergian al-Qaradawi menghadap tuhannya jangan hanya ditangisi dengan air mata. Namun, ide dan gagasannya dalam membangun peradaban Islam harus terus lestari. Al-Qaradawi mengidamkan kondisi umat Islam yang ideal dalam salah satu karyanya yang berjudul Fiqh al-Aulawiyat: Dirasah Jadidah fi Dlau’ Al-Qur’an wa as-Sunnah.

Beliau menginginkan umat Islam mencurahkan seluruh energi dan potensinya untuk hal-hal besar yang lebih prioritas dibanding mempersoalkan perkara kecil yang remeh yang kadang malah menjadi kesibukan umat.

Yusuf al-Qaradawi: Komoditisasi Agama dan Rendahnya Penghayatan Agama

Al-Qaradawi menyaksikan berbagai fenomena paradoks dan ambivalen yang dilakukan oleh umat Islam. Banyak umat Islam yang berkali-kali pergi haji dan menangis di hadapan ka’bah, namun mereka tidak menangis ketika masih banyak orang tertindas dan kelaparan di lingkungan sekitarnya.

Beliau pernah menjumpai sekelompok orang yang sangat dermawan ketika dimintai sumbangan untuk membangun masjid. Meski di tempat tersebut populasi masjid sudah banyak. Mereka rela mengeluarkan uang yang tak sedikit demi membangun masjid yang megah dan menawan. Akan tetapi, ketika diajukan proposal donasi untuk program-program dakwah sosial dan kemanusiaan, mereka tidak berkenan berpartisipasi.

Al-Qaradawi menyebut orang-orang semacam ini dengan ungkapan, “liannahum yu’minuna bi bina’il ahjar, wa la yu’minuna bi bina’ir rijal!” (mereka lebih percaya bahwa membangun batu (bangunan) itu lebih utama dibanding membangun manusia!).

Al-Qaradawi juga menyayangkan ketika ada pemuda-pemuda Islam yang meninggalkan bangku kuliah dengan alasan ingin berdakwah dan mendalami ilmu syariah. Padahal umat Islam juga membutuhkan tenaga profesional di berbagai bidang untuk laju kembang kemandirian umat.

Baca Juga  Djazman, Tantangan Perkaderan Muhammadiyah di Kelahiran ke-107

Umat Islam membutuhkan pakar medis yang handal. Umat Islam juga memerlukan negarawan yang kompeten dan amanah. Umat Islam membutuhkan banyak tenaga ahli dan praktisi profesional di berbagai bidang pekerjaan.

Lantas, bagaimana itu semua bisa terwujud jika para pemuda Islam yang memiliki semangat tinggi dalam beragama tidak serius dalam belajar? Al-Qaradawi mengutip pernyataan al-Ghazali yang menyatakan ketidaksetujuannya jika ada suatu negeri di mana orang-orang di dalamnya hanya sibuk belajar ilmu fikih saja. Tidak ada satu pun yang belajar ilmu kedokteran. Sehingga tidak terdapat seorang dokter kecuali dari pihak Yahudi dan Nasrani.

Padahal umat Islam juga mengalami sakit dan melahirkan. Mereka rela aurat istri dan anak perempuannya dilihat oleh dokter laki-laki yang bukan mahram-nya.

Apa yang disampaikan oleh al-Qaradawi dan al-Ghazali sejalan dengan seruan dari KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1922. Beliau berpesan:

“Wahai Wanita Moehammadijah! Apakah kamoe tidak maloe aoerotmoe dilihat laki-laki? Tentoenja kamoe akan maloe boekan? Maloe kepada Toehanmoe, karena kamoe merasa berdosa. Apalagi bila kamoe sakit ataoe maoe melahirkan anak tentoe kamoe datang ke dokter (laki-laki). Kaloe kamoe benar-benar maloe, teroeskanlah beladjar, djadikanlah dirimoe seorang dokter wanita, sehingga kita mempoenjai dokter dan soester (perawat) wanita oentoek kaoem wanita. Alangkah oetamanja.”

Persatuan Menuju Kesadaran Kolektif

Syaikh Yusuf al-Qaradawi ingin mengajak umat agar mau menyelami realitas sosial. Beliau menginginkan tumbuhnya kesadaran akan banyaknya problem dan tanggung jawab yang sedang dihadapi. Jangan sampai umat Islam hanya terkungkung dalam perkara juz’iyyah (kulit) semata dan melalaikan perkara yang jauh lebih urgen.

Kesadaran semacam ini idealnya juga dibangun dan tumbuh merata di setiap komunitas dakwah. Oleh karena itu, upaya pertama yang ditempuh al-Qaradawi adalah mengajak kepada persatuan umat. Persatuan menuju kesadaran kolektif. Bukan persatuan dalam arti menyatukan seluruh komunitas Islam dalam satu naungan. Terlalu utopis. Tapi yang dimaksud adalah persatuan menuju sikap saling menghargai dan menjalin kerjasama antar kelompok dakwah. Sebagaimana kaidah yang digagas oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, “natawa’anu fima ittafaqna ‘alaihi, wa ya’dziru ba’dluna ba’dlan fima ikhtalafna fihi” (mari kita bekerjasama dalam masalah yang kita sepakati dan saling bertoleransi dalam masalah yang kita perselisihkan).

Baca Juga  Djazmanisme Anti-tesis Ikatan Mahasiswa Manja

Kerjasama antar kelompok dan komunitas Islam tidak mungkin bisa dirajut kecuali dimulai dari sikap saling memahami (tafahum). Perbedaan pendapat dalam beberapa perkara furu’iyyah fiqhiyyah dan sebagian ushul yang tidak prinsipil seharusnya tidak boleh menjadi sebab retaknya jalinan persaudaraan. Banyak agenda besar yang menanti umat dan membutuhkan kerja bersama. Jangan sampai kita berdebat hukum memakai arloji di tangan kanan atau di tangan kiri, tapi di samping kita masih ada anak-anak yang tidak memakai pakaian yang layak.

Perbedaan dalam perkara furu’ (cabang agama) adalah sesuatu yang bersifat dlarurah (kemestian) yang mendatangkan rahmat bagi umat sekaligus menjadi tsarwah (kekayaan khazanah) dalam ajaran Islam.

Klaim-klaim kebenaran tunggal dalam perkara furu’ dengan menganggap diri dan kelompoknya sebagai pengamal Islam paling kaffah adalah sesuatu yang tidak bijak. Tindakan yang hanya akan memperlebar ruang khilafiyyah.

***

Organisasi Muhammadiyah melalui Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad juga mengajak kepada internal umat Islam agar meningkatkan dialog dan kerjasama sebagai metode untuk mempersempit khilafiyah furu’iyyah. Begitu juga dari kalangan NU, almarhum KH. Ali Maksum mengajak umat untuk saling memahami dan tidak berkonflik dalam perbedaan-perbedaan furu’.  Karena menurut beliau, masing-masing pihak yang berbeda sama-sama memiliki sandaran dalil.

Menurut al-Qaradawi hakikat perbedaan-perbedaan dalam permasalahan fiqhiyyah tersebut bukanlah terletak pada perselisihan hukum syar’i. Namun lebih kepada perbedaan bagaimana menilai suatu realitas (fahm al-waqi’) yang dimaksudkan oleh hukum syariat.

Para fuqaha’ mengistilahkan hal ini dengan nama tahqiq al-manath. Kita sering menjumpai para fuqaha’ berbeda kesimpulan hukum dalam menilai suatu realitas padahal dalil yang digunakan sama. Bahkan lebih jauh lagi al-Qaradawi mengajak untuk mengesampingkan perselisihan klasik antara Muktazilah dengan Ahlusunnah terkait kemakhlukan Al-Qur’an.

Baca Juga  Sa'id bin 'Amir: Sang Gubernur Sederhana

Beliau berpendapat bahwa “Sesungguhnya persoalan kita sekarang bukan dengan orang yang menyatakan kemakhlukan Al-Qur’an, tetapi dengan orang-orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan dari sisi Allah tetapi dari Muhammad, yakni orang-orang yang menuduh Al-Qur’an sebagai buatan manusia”.

Selain itu juga, al-Qardhawi mengajak untuk meninggalkan perdebatan “langit” seputar permasalahan makna “bersemayam di atas ‘Arsy”, perselisihan lama antara kelompok Asy’ariyah dengan Atsariyah. Karena menurut beliau, permasalahan sebenarnya adalah dengan orang-orang yang mengingkari ‘Arsy dan Rabb al-‘Arsy.

Masih banyak permasalahan keummatan yang perlu digarap dibanding melakukan perdebatan dalam perkara semacam ini. Namun, bukan berarti membahas dan mendiskusikannya sama sekali tidak diperbolehkan. Jika memang masih dalam rangka kajian ilmiah yang objektif dan sebagai sarana untuk memahami keragaman fikih Islam.

Referensi

Yusuf al-Qaradawi, Fi Fiqh al-Aulawiyat: Dirasah Jadidah fi Dlau’ Al-Qur’an wa as-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Wahbah, 1996.

Mustal Ma’ruf, Sejarah dan Perjuangan Cabang Muhammadiyah thn. 1922 s/d 1995. Dokumen Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pekajangan.

Yusuf al-Qaradawi, Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa at-Tafarruq al-Madzmum. Kairo: Daar asy-Syuruq, 2001.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010.

Ali Maksum, Hujjah Ahl as-Sunnah wal Jama’ah. Diterbitkan dari donasi Ibnu Mahdi, Sampangan, Pekalongan.

Editor: Yahya FR

Muhammad Fikri Hidayattullah
7 posts

About author
Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama dan Koordinator Madrasah Fiqih Sumber Ilmu
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds