Perspektif

Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi: Pentingnya Zakat bagi Perusahaan

2 Mins read

Dunia Islam berduka atas wafatnya ulama besar Syeikh Yusuf Al- Qaradhawi, Senin (26/9/22). Beliau adalah sosok mujtahid yang mengisi kehidupannya dengan sangat produktif. Ia menulis karya-karya terkait masalah ekonomi Islam, akidah, Al-Qur’an, fikih, hingga ushul fikih.

Dalam dunia zakat, beliau pun turut menyumbangkan pemikiran briliannya. Ia banyak melakukan terobosan fiqhiyah dalam pelaksanaan zakat. Hal ini seiring dengan pertimbangannya melihat kondisi empirik-sosiologis masyarakat muslim yang berkembang dari zaman ke zaman.

Mengapa penting? Ini dikembalikan lagi pada tujuan disyariatkannya perintah zakat, salah satunya terkait dimensi sosial. Maqashid (tujuan)-nya adalah adanya semangat berbagi untuk memenuhi hajat para dhuafa. Karena dengan banyaknya profesi yang penghasilannya telah mencapai nishab, sedikit dari pendapatan itu harus terdistribusi juga pada dhuafa, agar harta tidak bertumpuk di situ-situ saja.

Sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang beriman! Infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” (Al Baqarah: 267)

Dengan kompleksitas permasalahan umat di zaman ini, ijtihad-ijtihad sosial Syeikh Yusuf Qaradhawi ini kemudian menghasilkan fatwa zakat yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Zakat Perusahaan

Salah satu yang menjadi ijtihad dari Syeikh Yusuf Al Qaradhawi adalah adanya zakat perusahaan. Sebagaimana dalam karyanya yang bertajuk Fiqh Zakat, sebuah perusahaan ditetapkan wajib zakat atau tidak, perlu dilihat dari sumber penghasilan dan kekayaannya.

Ia mengutip pendapat Syeikh Abdul Rahman Isa yang menegaskan bahwa jika perusahaan itu merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual, seperti perusahaan yang menjual hasil industri, perusahaan dagang internasional, perusahaan impor dan ekspor, atau sejenisnya, maka perusahaan itu wajib zakat.

Baca Juga  Emansipasi Wanita dan Jilbab Menurut Qasim Amin

“Kriteria wajib zakat atas saham-saham perusahaan adalah bahwa perusahaan tersebut harus melakukan kegiatan dagang, baik melakukan kegiatan industri maupun tidak. Nilai itu dihitung berdasarkan kekayaan sekarang dengan pemotongan harga gedung, alat-alat, dan inventaris yang dimiliki perusahaan,” kata Syeikh Yusuf Al Qaradhawi.

Adapun menurutnya, nilai alat dan inventaris itu kurang lebih harus bernilai seperempat dari seluruh kekayaan perusahaan. Setelah dipotong, barulah zakat dikeluarkan dari kekayaan bersihnya.

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa pola perhitungan zakat perusahaan adalah dilihat dari neraca (balance sheet), yakni aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto).

Lalu berapa besarannya? Untuk menjawab ini, Syeikh Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan, zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dengan nishab (batas minimum nilainya) sebesar 85 gram emas.

Akan tetapi besarannya berbeda untuk perusahaan industri atau semi industri yang modalnya terletak dalam perlengkapan dan peralatan perusahaannya, seperti percetakan, pabrik, hotel, angkutan, pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Dalam hal ini, dari pendapatan bersihnya, perusahaan tersebut dikenakan zakat sebesar 10%.

“Zakat dikenakan atas kekayaan yang terus mengalir dan bergerak. Perlakuan terhadap perusahaan dagang ini sama dengan perlakukan terhadap toko dagang yang dimiliki perseorangan. Tidak berbeda sedikit pun,” kata Syeikh Yusuf Al Qaradhawi.

Perbedaan Pendapat

Hingga saat ini, zakat perusahaan masih menimbulkan khilafiyah dari kalangan ulama kontemporer. Sebabnya, tentu karena perusahaan belum ada secara formal dalam wacana fikih klasik.

Kendati demikian, Syeikh Yusuf Al Qaradhawi dan ulama kontemporer lainnya yang mendalami zakat, mengkategorikan perusahaan sebagai penerima hukum taklim dari kekayaan yang dimilikinya.

Dalam persoalan zakat perusahaan yang belum disentuh ulama klasik ini, Syeikh Yusuf Al Qaradhawi menggunakan ijtihad insya’i. Ini bermakna mengambil konklusi hukum baru dari suatu permasalahan yang belum pernah ada di zaman dahulu.

Baca Juga  Menyoal Pemilu 2024 dan Ancaman Terhadap Hak-hak Digital

Syeikh Yusuf Qaradhawi sendiri merupakan ulama yang sangat vokal menyuarakan pentingnya ijtihad pada masalah-masalah yang dianggap perlu tersentuh ijtihad. Salah satunya persoalan zakat saham ini. Tentunya pertimbangannya adalah maslahat, untuk menyempitkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Kendati kini Syeikh Yusuf Al Qaradhawi telah wafat, pemikirannya akan abadi dan menghasilkan manfaat bagi umat. Tak hanya dalam persoalan zakat, juga bidang-bidang lainnya yang telah beliau goreskan dalam puluhan kitabnya. Semoga menjadi amal shaleh yang terus mengalir meski dirinya telah tiada.

“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara:sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak shaleh.” (HR Muslim).

Editor: Yahya FR

Aghniya Ilma Hasan
2 posts

About author
Alumnus Darul Arqam Muhammadiyah yang kini menjadi seorang Certified Islamic Money Manager, dan aktif menyelami dunia sharia-finance.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds