Perspektif

Yuval Noah: Kematian Adalah Kegagalan Manusia yang Dapat Dicegah

7 Mins read

“Apakah virus corona akan mengembalikan kita ke cara pandang tradisional dan pasrah akan kematian, atau, memperkuat usaha kita untuk memperpanjang hidup?”

Pertanyaan retoris tersebut diajukan oleh Yuval Noah Harari, penulis buku best-seller Sapiens (2011) dan Homo Deus (2015), membuka pandangannya yang mencermati hubungan antara sikap manusia dalam memandang kematian di masa pandemi virus corona. Bagi Yuval, kita, manusia modern kini, telah meninggalkan pandangan-pandangan tradisional: yang penuh ketakutan, kepasarahan, metafisik, dan percaya bahwa segala bencana adalah datang dari yang ilahi. Pendeknya, manusia telah meninggalkan keinginan untuk kekal di akhirat, sebaliknya mereka ingin – meminjam kata Woody Allen yang dikutip Yuval – “kekal di apartemen”, dengan cara mencari jalan untuk memperpanjang hidup.

***

Dunia modern telah dibentuk oleh keyakinan bahwa manusia dapat mengakali dan mengalahkan kematian, sebuah sikap baru yang revolusioner. Untuk sebagian besar sejarah, manusia tunduk pada kematian. Hingga akhir zaman modern, sebagian besar agama dan ideologi melihat kematian tidak hanya sebagai takdir kita yang tak terelakkan, tetapi sebagai sumber utama makna dalam hidup. Peristiwa paling penting dari keberadaan manusia terjadi setelah Anda menghembuskan nafas terakhir. Hanya pada saat itulah, Anda datang untuk mempelajari rahasia kehidupan yang sebenarnya. Hanya pada saat itu pula lah, Anda mendapatkan keselamatan kekal, atau menderita kutukan yang kekal. Di dunia tanpa kematian – dan karenanya tanpa surga, neraka atau reinkarnasi –agama seperti Kristen, Islam dan Hindu, menganggapnya tidak masuk akal. Untuk sebagian besar sejarah, pikiran ‘manusia terbaik’ sibuk memberi makna pada kematian, bukan malah berusaha mengalahkannya.

The Epic of Gilgamesh, mitos Orpheus dan Eurydice, atau Al-Kitab, Al-Qur’an, Weda, serta banyak kitab suci dan kisah lainnya dengan sabar menjelaskan kepada manusia yang tertekan, bahwa kita mati karena Tuhan yang menetapkannya, atau Kosmos, maupun Alam, dan kita sebaiknya menerima takdir itu dengan kerendahan hati. Mungkin suatu hari nanti, Tuhan akan menghapuskan kematian melalui gerakan metafisik yang agung seperti kedatangan Kristus yang kedua kali. Tapi mengorkestrasi bencana yang demikian, jelas di atas kemampuan manusia.

Kemudian datanglah revolusi ilmiah. Bagi para ilmuwan, kematian bukanlah keputusan ilahi, bagi mereka itu hanyalah masalah teknis. Manusia mati bukan karena Tuhan berkata demikian, tetapi karena beberapa kesalahan teknis, seperti: jantung berhenti memompa darah, kanker menghancurkan hati, atau virus yang berkembang biak di paru-paru. Kemudian, apa yang bertanggung jawab untuk semua masalah teknis ini? Pasti, masalah teknis lainnya pula: jantung berhenti memompa darah, karena tidak cukup oksigen yang mencapai otot jantung; sel-sel kanker menyebar di hati, karena kemungkinan mutasi genetik;  virus menetap di paru-paru saya, karena seseorang bersin di bus. Tidak ada hal yang metafisik tentang semua kejadian itu.

Setiap Masalah Teknis, Ada Solusinya

Dan sains percaya bahwa setiap masalah teknis memiliki solusi teknis pula. Kita tidak perlu menunggu kedatangan Kristus yang kedua kali untuk mengatasi kematian, karena beberapa ilmuwan di laboratorium pun bisa melakukannya. Dahulu, kematian tradisional menjadi spesialisasi para imam dan teolog berjubah hitam, tapi sekarang, menjadi tanggungjawab orang-orang (ilmuwan) ber-jas laboratorium putihnya. Jika jantung berdebar, kita dapat menstimulasinya dengan alat pacu jantung, atau bahkan transplantasi jantung baru. Jika kanker mengamuk, kita bisa membunuhnya dengan radiasi. Pun jika virus berkembang biak di paru-paru, kita bisa mengatasinya dengan obat baru.

Baca Juga  Mungkinkah Rumah Ibadah Dijadikan Laboratorium Riset?

Benar, saat ini manusia memang belum bisa menyelesaikan semua masalah teknis. Tapi kami sedang mengusahakannya. Pikiran ‘manusia terbaik’, tidak lagi menghabiskan waktu mereka untuk mencoba memberi makna kematian. Sebaliknya, mereka sibuk memperpanjang hidup. Mereka sedang menyelidiki sistem mikrobiologis, fisiologis dan genetik yang bertanggung jawab atas penyakit dan usia tua, serta mengembangkan obat-obatan baru dan perawatan yang revolusioner.

***

Dalam perjuangan mereka untuk memperpanjang hidup, manusia cukup berhasil. Selama dua abad terakhir, angka harapan hidup rata-rata telah melonjak dari di bawah 40 tahun menjadi 72 di seluruh dunia, dan lebih dari 80 tahun di beberapa negara maju. Anak-anak khususnya, telah berhasil lolos dari cengkeraman kematian. Sampai abad ke-20 saja, setidaknya sepertiga dari anak-anak tidak pernah mencapai usia dewasa. Mereka kerap abai dan menyerah begitu saja pada penyakit khas anak-anak, seperti disentri, campak hingga cacar. Di Inggris abad ke-17, sekitar 150 dari setiap 1.000 bayi baru lahir meninggal pada tahun pertama mereka, dan hanya sekitar 700 yang mencapai usia 15 tahun. Saat ini, kita lihat, hanya lima dari 1.000 bayi di Inggris yang meninggal pada tahun pertama mereka, dan 993 dapat merayakan ulang tahun ke-15 mereka. Di dunia, secara keseluruhan, angka kematian anak turun menjadi kurang dari lima persen.

Manusia telah begitu sukses dalam upayanya untuk melindungi dan memperpanjang hidup, sehingga pandangan dunia kita telah berubah secara mendalam. Sementara agama tradisional menganggap akhirat sebagai sumber makna utama, dari ideologi abad ke-18 seperti liberalisme, sosialisme dan feminisme kehilangan semua minatnya pada akhirat. Apa yang terjadi pada seorang komunis setelah dia meninggal? Atau, apa yang terjadi pada seorang kapitalis? Kemudian apa juga yang terjadi pada seorang feminis? Tak ada gunanya mencari jawaban atas pertanyaan itu dalam tulisan-tulisan Karl Marx, Adam Smith atau Simone de Beauvoir.

Satu-satunya ideologi modern yang masih menghargai kematian sebagai peran sentral adalah nasionalisme. Dalam momen-momen yang lebih “puitis dan putus asa”, nasionalisme menjanjikan, bahwa siapa pun yang mati demi bangsa akan hidup selamanya dalam ingatan kolektif masyarakat. Namun, janji ini sangat kabur, sehingga bahkan sebagian besar nasionalis pun tidak benar-benar tahu apa yang harus dibuat darinya. Bagaimana Anda sebenarnya “hidup” dalam memori? Jika Anda mati, bagaimana Anda tahu apakah orang mengingat Anda atau tidak? Woody Allen, misalnya, pernah ditanya apakah ia berharap untuk hidup selamanya dalam memori penonton bioskop. Allen menjawab: “Saya lebih suka tinggal di apartemen saya.” Bahkan, banyak agama tradisional telah beralih fokus. Alih-alih menjanjikan surga di akhirat, mereka kini sudah mulai lebih menekankan pada apa yang dapat mereka lakukan untuk Anda dalam kehidupan ini.

Lalu, apakah pandemi saat ini akan mengubah sikap manusia terhadap kematian?

Mungkin tidak. Bahkan sebaliknya, Covid-19 mungkin akan membuat manusia menggandakan upayanya dalam melindungi kehidupan mereka. Karena reaksi yang dominan terhadap Covid-19 bukanlah bentuk ‘kepasrahan diri’ – tapi lebih kepada campuran “kemarahan dan harapan”.

Ketika sebuah epidemi meletus dalam masyarakat pra-modern seperti Eropa abad pertengahan, orang-orang tentu saja mengkhawatirkan nyawa mereka, dan hati mereka hancur oleh kematian orang-orang yang dicintai, tetapi reaksi budaya utama adalah “kepasrahan”. Para psikolog mungkin menyebutnya “ketidakberdayaan yang dipelajari”. Orang-orang mengatakan kepada diri sendiri bahwa bencana itu adalah kehendak Tuhan –atau mungkin sebuah pembalasan ilahi untuk dosa-dosa umat manusia. Kata mereka:

Baca Juga  Jamaah Positif Covid di Debarkasi Diimbau Tenang dan Patuhi Prokes

“Tuhan tahu yang terbaik. Kami orang jahat layak mendapatkannya. Dan Anda akan lihat, semuanya akan menjadi yang terbaik pada akhirnya. Jangan khawatir, orang baik akan mendapatkan pahala mereka di surga. Dan jangan buang waktu mencari obat. Penyakit ini dikirim oleh Tuhan untuk menghukum kita. Mereka yang berpikir manusia dapat mengatasi epidemi ini dengan kecerdikan mereka sendiri, hanyalah menambahkan dosa kesombongan pada kejahatan mereka yang lain. Siapa kita, yang mampu untuk menggagalkan rencana Tuhan? “

Kematian Sebagai Kegagalan Manusia

Sedangkan sikap hari ini adalah kebalikannya. Setiap kali ada malapetaka membunuh banyak orang, seperti kecelakaan kereta api, kebakaran, atau bahkan badai, kita cenderung melihatnya sebagai kegagalan manusia yang dapat dicegah, daripada sebagai hukuman ilahi atau bencana yang tak terhindarkan. Jika perusahaan kereta api tidak menggunakan anggaran keselamatannya; jika pemerintah kota menerapkan peraturan kebakaran yang lebih baik; dan jika pemerintah mengirim bantuan lebih cepat; tentu, orang-orang itu bisa diselamatkan. Pada abad ke-21, kematian massal telah menjadi alasan untuk tuntutan hukum dan investigasi.

Sikap tersebut juga menjadi sikap kita terhadap wabah hari ini. Sementara beberapa pengkhotbah agama menggambarkan AIDS sebagai ‘hukuman Tuhan untuk orang-orang gay’, masyarakat modern dengan penuh belas kasih mengalihkan pandangan-pandangan tersebut ke arah yang lebih radikal, dan hari-hari ini kita umumnya melihat penyebaran bahwa AIDS, Ebola dan epidemi terbaru lainnya sebagai kegagalan organisasi.

Kita berasumsi, bahwa umat manusia memiliki pengetahuan dan alat yang diperlukan untuk mengekang malapetaka seperti itu, dan jika penyakit menular tetap di luar kendali, maka itu disebabkan oleh ketidakmampuan manusia daripada ‘kemarahan ilahi’, tak terkecuali Covid-19. Krisis masih jauh dari selesai, namun permainan menyalahkan sudah dimulai. Negara yang berbeda (pandangan) saling menuduh. Lawan politik saling melemparkan tanggung jawab dari satu ke yang lain, seperti granat tanpa pin pengaman.

Bersamaan dengan kemarahan, ada juga harapan yang luar biasa. Pahlawan kami bukan pendeta yang menguburkan orang mati dan memaafkan musibah; pahlawan kami adalah petugas medis yang menyelamatkan jiwa. Dan pahlawan super kami adalah para ilmuwan di laboratorium. Sama seperti yang penonton bioskop ketahui , bahwa Spiderman dan Wonder Woman pada akhirnya akan mengalahkan orang-orang jahat dan menyelamatkan dunia, jadi kami sangat yakin bahwa dalam beberapa bulan, mungkin satu tahun, orang-orang di laboratorium akan datang dengan perawatan yang efektif untuk Covid-19, dan bahkan vaksinasi. Lalu kami akan menunjukkan bahwa virus jahat ini merupakan organisme alfa di planet ini! Pertanyaan di bibir semua orang dari Gedung Putih, melalui Wall Street sampai ke balkon Italia adalah: “Kapan vaksin siap?”.

***

Ketika vaksin benar-benar siap dan pandemi berakhir, apa yang akan dibawa pulang oleh umat manusia? Dalam semua kemungkinan, kita perlu menginvestasikan lebih banyak upaya dalam melindungi kehidupan manusia. Kita perlu memiliki lebih banyak rumah sakit, lebih banyak dokter, dan lebih banyak perawat. Kita perlu menimbun lebih banyak mesin pernapasan, lebih banyak alat pelindung, juga lebih banyak kit pengujian. Kita perlu menginvestasikan lebih banyak uang untuk meneliti patogen yang tidak dikenal dan mengembangkan perawatan baru. Kita seharusnya tidak “tertangkap basah lagi”.

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa ini adalah pelajaran yang salah, dan krisis seharusnya mengajarkan kita untuk merendahkan hati. Kita seharusnya tidak begitu yakin dengan kemampuan kita untuk menaklukkan kekuatan alam. Banyak dari penentang ini adalah peninggalan abad pertengahan, yang mengabarkan kerendahan hati sementara 100 persen yakin bahwa mereka tahu semua jawaban yang benar. Beberapa orang fanatik tidak dapat menahan diri –seorang pendeta yang memimpin pelajaran Alkitab mingguan untuk kabinet Donald Trump berpendapat bahwa epidemi ini juga merupakan hukuman ilahi untuk homoseksualitas. Tetapi, bahkan sebagian besar paragraf tradisi dewasa ini, lebih mempercayai sains daripada pada skriptur (tulisan suci) agama.

Baca Juga  Hasil Survei Lazismu: Pendapatan Turun, Kedermawanan Naik

Gereja Katolik, misalnya, memerintahkan umatnya untuk menjauhi (kerumunan) gereja; Israel telah menutup sinagognya; Republik Islam Iran (beserta negeri islam lain) melarang orang mengunjungi masjid; Kuil dan sekte dari semua jenis telah menangguhkan upacara publik, dan semuanya karena para ilmuwan telah membuat perhitungan, serta merekomendasikan untuk menutup tempat-tempat suci itu.

Tentu saja, tidak semua orang yang memperingatkan kita tentang “keangkuhan manusia abad pertengahan”. Bahkan para ilmuwan akan setuju, bahwa kita harus realistis dalam harapan, dan bahwa kita seharusnya tidak mengembangkan kepercayaan buta pada kekuatan dokter untuk melindungi kita dari semua malapetaka kehidupan. Sementara umat manusia secara keseluruhan telah menjadi semakin kuat, individu-individu yang lain masih perlu menghadapi kerapuhan mereka.

Sains Memperpanjang Kehidupan Manusia

Mungkin dalam satu atau dua abad, sains akan memperpanjang kehidupan manusia tanpa batas, tetapi memang (hari ini) belum. Dengan perkecualian, yang mungkin terjadi pada segelintir bayi miliarder, kita semua hari ini akan mati suatu saat kelak, dan kita semua akan kehilangan orang yang dicintai. Kita harus mengakui kefanaan kita.

Selama berabad-abad, orang menggunakan agama sebagai mekanisme pertahanan diri, percaya bahwa mereka akan ada selamanya di akhirat. Sekarang orang kadang-kadang beralih menggunakan sains sebagai mekanisme pertahanan alternatif, percaya bahwa dokter akan selalu menyelamatkan mereka, dan bahwa mereka akan hidup selamanya di apartemennya. Kami membutuhkan pendekatan yang seimbang di sini. Kita harus memercayai sains untuk menghadapi epidemi, tetapi kita harus tetap memikul beban dalam berurusan dengan kematian dan kefanaan individu kita.

Krisis saat ini, mungkin memang membuat banyak individu lebih sadar akan sifat tidak kekal kehidupan dan pencapaian mereka. Namun demikian, peradaban modern kita secara keseluruhan kemungkinan besar akan pergi ke arah yang berlawanan. Diingatkan akan kerapuhannya, ia akan bereaksi dengan membangun pertahanan yang lebih kuat. Ketika krisis saat ini berakhir, saya tidak berharap kita akan melihat peningkatan yang signifikan dalam anggaran departemen filsafat. Tapi saya yakin, kita akan melihat peningkatan besar-besaran dalam anggaran sekolah kedokteran dan sistem perawatan kesehatan.

Dan mungkin itu yang terbaik yang bisa kita harapkan secara manusiawi. Bagaimanapun, pemerintah tidak pandai ber-filsafat, karena itu bukan domain mereka. Pemerintah harus benar-benar fokus membangun sistem layanan kesehatan yang lebih baik. Terserah individu untuk melakukan filosofi yang lebih baik. Dokter tidak bisa memecahkan teka-teki keberadaan bagi kita. Tetapi mereka dapat memberi kita lebih banyak waktu untuk bergulat dengannya. Apa yang kita lakukan dengan waktu, itu terserah kita.

**

Artikel ini merupakan alihbahasa dari tulisan Yuval Noah Harari dengan judul Yuval Noah Harari: ‘Will coronavirus change our attitudes to death? Quite the opposite’ yang tayang di The Guardian, pada Senin (20/4/2020)

Editor: Dhima Wahyu Sejati

3 posts

About author
Ahmad Efendi Yunianto, mahasiswa Sejarah UNY sekaligus wartawan kampus di LPM Philosofis. Penulis di salah satu media berita daring dan aktif mengirimkan esai ke media cetak maupun daring.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds