Indonesia banyak memiliki kearifan lokal, salah satunya pada budaya gotong-royong dan tolong menolong terhadap sesama. Seperti peribahasa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Bahkan setiap suku dan budaya di Indonesia memiliki kearifan lokal. Secara langsung maupun tidak langsung menegaskan kepedulian kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan.
Hal ini juga dapat tergambar dari warisan spirit perjuangan Said Tuhuleley. Tokoh pemberdayaan masyarakat yang juga aktif di Muhammadiyah dengan gerakan sosial dan kemanusiaannya. Mottonya ialah “tidak ada kata istirahat selama rakyat masih menderita”.
Secara teologis hubungan antara manusia dan alam adalah hubungan kemitraan yang berada dalam bingkai kemakhlukan. Dalam hal ini, hubungan tersebut terbentuk antara pengelola dan pemanfaat yang didasarkan atas tanggung jawab terhadap fungsi dasar kekayaan dan kebutuhan dasar manusia. Al-Quran sudah menetapkan sebuah instrumen formal yang berkaitan dengan pengelola dan pemanfaat terhadap kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan orang fakir dan miskin. Istrumen yang dimaksud disebut dengan zakat.
Islam mewajibkan zakat diantaranya adalah agar terjadi sirkulasi terhadap harta dalam masyarakat, tidak berputar diantara orang-orang kaya saja. Hal ini tergambar dalam QS. al-Hasyar ayat 7.
Selain kewajiban zakat, Islam juga mengenal infak, sedekah, hibah, waris, wakaf, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar harta di tengah msyarakat mengalir untuk membantu mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Karenanya zakat merupakan salah satu komponen pokok kesempurnaan keislaman seseorang serta menjadi gambaran kesalihan seseorang, baik terhadap Tuhannya maupun terhadap sesamanya yang menjadi manifestasi dari tanggung jawab kemanusiaan.
Zakat sebagai Terapi Budaya Penindasan
Tujuan yang hendak dicapai dari zakat adalah mengatasi kebutuhan dasar hidup kelompok yang lemah, untuk mencapai aturan kehidupan yang berdasarkan pada keadilan dan nilai kemanusiaan. Sehingga visi zakat yang diusung oleh ajaran Islam, sesungguhnya adalah terapi terhadap budaya penindasan oleh kelompok penguasa terhadap kelompok tidak berdaya. Dalam Islam tujuan hidup manusia adalah untuk mengabdi kepada Tuhan. Harta yang dimiliki adalah sarana untuk melakukan pengabdian kepada-Nya.
Setiap kita yang mencari dan mengumpulkan harta tidaklah boleh merugikan orang lain apalagi sampai merusak nilai-nilai keadilan. Karena keadilan pun menjadi bagian penting yang diusung oleh misi ajaran samawi. Kepemilikan manusia yang berupa harta itu hanyalah kekuasaan dan kewenangan dalam pemanfaatan dan pengembangan, bukan kepemilikan dan kekuasaan secara mutlak.
“ …. kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Maidah: 17)
Dalam realitas sosial, harta kekayaan bisa membedakan antara kelompok yang lemah dan kelompok yang serba berkecukupan. Menyamaratakan antara dua kelompok tersebut adalah usaha yang naif. Yang dapat mensejajarkan kelompok tersebut adalah nilai keadilan dan yang memisahkannya adalah kezaliman yang dialami oleh mereka yang lemah dalam kehidupan.
Usaha untuk mendapatkan kekayaan bisa berhasil dan juga gagal. Jika berhasil, maka hasil yang diperoleh secara bersih harus dikeluarkan sebagian yang menjadi hak orang lain dengan berzakat. Karenanya, zakat pada hakikatnya hanyalah menyerahkan hak orang lain yang singgah dalam harta seseorang. Sehingga harta yang diperoleh benar-benar bersih, baik dari segi prosesnya maupun dari perolehannya.
Antara Kewajiban dan Misi Kemanusiaan
Kelompok yang lemah ekonominya memang harus mendapatkan penanganan. Akan tetapi bukan berarti Al-Quran mengajak kelompok lemah secara langsung untuk menyelesaikan permasalahannya dengan menunggu dan bergantung sepenuhnya terhadap kelompok yang berkecukupan. Dalam hal ini, Al-Quran memberikan dorongan terhadap kelompok lemah untuk keluar dari belenggu kemiskinannya. Upaya ini dilakukan dengan memberdayakan potensi pada dirinya agar mendapatkan kelayakan sebagai makhluk.
Ulama klasik masih menganggap bahwa zakat adalah kewajiban manusia atas perintah Tuhan. Sehingga zakat memberikan pemaknaan bahwa orang yang berzakat tidak lagi didasarkan pada kesadaran diri secara utuh. Melainkan pada bayang-bayang ancaman dari lahirnya hukum yang imperatif dan akhirnya membatasi kebebasan jiwa manusia.
Jadi zakat bukan lagi hanya sekedar pemenuhan kewajiban terhadap Tuhan. Melainkan sebagai kesadaran terhadap harta kekayaan yang dimiliki untuk kemudian dipindahkan sebagian hartanya untuk yang berhak menerima.
Al-Quran telah memberikan solusi terhadap penyelesaian permasalahan kelompok lemah kepada kelompok yang serba berkecukupan. Yakni dengan mengetuk kesadarannya agar memikirkan nasib saudaranya lewat zakat yang disalurkan. Bagi muzakki, zakat bukan hanya sekedar melepas kewajiban terhadap Tuhan. Lebih dari itu, zakat dapat memunculkan perasaan kemanusiaan, kesamaan di hadapan Tuhan dan memikirkan keberlangsungan hidup manusia lain yang membutuhkan.
Yusuf Qardlawi dalam karyanya yang monumental tentang zakat, menjelaskan pengaruh zakat bagi pemberi zakat dan penerima zakat. Bahwa zakat diharapkan dapat mensucikan jiwa orang kaya dari sifat kikir dan mendidik untuk senantiasa berinfak.
Hal ini sebagai manifestasi rasa syukur terhadap pemberian Tuhan. Senantiasa dapat mengendalikan kecintaan terhadap harta kekayaan agar kita yang serba berkecukupan tidak menjadi budak kekayaan. Sementara pengaruh zakat terhadap si penerima zakat, diharapkan dapat membantu untuk menyelesaikan persoalan ekonominya dan menghilangkan rasa iri atau terhadap orang yang memiliki harta kekayaan.
Ketika kita orang mukmin memberikan zakat, kita tidak merasa kehilangan sebagian dari harta yang dimiliki. Namun malah sebaliknya, yakni merasa bahwa kita telah mengembalikan sebagian yang sangat kecil dari yang Tuhan berikan. Selain itu, harta yang diberikan merupakan suatu cara atau usaha untuk memenuhi tanggung jawab kemanusiaan.
Allahu a’lam
Editor: Nirwansyah/Nabhan