Oleh: Abdul Azis Fatkhurrohman (Lulusan S1 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Walisongo Semarang)
Menilik fenomena keagamaan beberapa dekade terakhir ini, perlu kiranya mendapat perhatian lebih. Khususnya dalam mengemukakan beberapa gagasan dalam memahami kitab suci Al-Qur’an.
Pembacaan terhadap kitab “pamungkas” umat Muslim (red; Al-Qur’an) menjadi sebuah kajian yang tidak ada habisnya. Bagaimana pun, spirit untuk menggali nilai-nilai yang terpendam dari setiap ayat, menjadi sebuah konsekuensi logis agar diktum sholihun li kulli zaman wa makan memang pantas untuk disematkan.
Problematika sosial menghadapi persoalan zaman yang kian berkembang menambah tantangan tersendiri bagi kesarjanaan Muslim. Persoalan yang terjadi kemudian adalah, sebagaimana diungkapkan tokoh intelektual Islam Ulil Abshar Abdala, disebut sebagai keputusasaan dalam tubuh umat Islam. Hal tersebut kemudian menimbulkan terjadinya langkah praktis dalam menawarkan sebuah solusi bagi kehidupan umat Muslim secara keseluruhan.
Realitas tersebut berdampak pada sebuah nalar gerakan penafsiran Al-Qur’an yang memproduksi gagasan pemikiran yang senafas dengan konteks kehidupan yang berkembang.
Di mana, sekelompok masyarakat dalam sebuah peradaban tentu mengalami berbagai tantangan yang kompleks, baik dari dimensi sosial, budaya, politik, lingkungan, dan persoalan-persoalan lain yang terus muncul.
Wacana Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah
Berbagai gerakan yang belakangan mengatasnamakan Islam dengan mengusung jargon pemurnian Islam, cukup dijadikan bukti fenomena yang digambarkan oleh Ulil. Dalam usaha untuk memurnikan Islam bagi sebagain kelompok tersebut, wacana kembali kepada Al-Qur’an menjadi senjata ampuh yang langgeng didengungkan. Namun di satu sisi, kelompok yang menawarkan gagasan tersebut justru menurut penulis ingin menjauhkan nafas Islam yang jauh terbentang dari awal kelahiranya.
Bagaimana tidak, fenomena tersebut menampakan adanya kecenderungan terhadap pembacaan Al-Qur’an tanpa mengakomodasi realitas yang terus berjalan dinamis. Yang terjadi kemudian, lahirnya penafsiran terhadap Al-Qur’an yang terperangkap pada tekstualitas makna.
Padahal, dalam kesejarahan penafsiran Al-Qur’an, kita kenal telah terjadi berbagai metode yang dapat dijadikan pisau pembedah. Di mana, hal tersebut sebagai buah karya gagasan para intelektual muslim dan ulama dari masa klasik hingga kontemporer.
Metode yang dikembangkan para ulama cum intelektual, telah mengalami berbagai pergumulan, semata untuk diwariskan kepada ilmu pengetahuan dan peradaban.
Terlebih sebuah produk pemikiran dari para ulama’ yang telah ada, nyata – nyata tidak melepaskan konteks sosial semasa hidupnya. Bukan hanya mengambil jalan praktis dengan wujud ketidakberdayaan dengan mengembalikan Al-Qur’an pada awal diturunkannya tanpa mempertimbangkan nilai dan substansi pesan yang terkandung.
Penafsiran Al-Qur’an Sesuai Zaman
Di tengah zaman dan peradaban saat ini, perlu usaha ekstra untuk menyerukan sebuah wacana Al-Qur’an sesuai dengan semangat zaman. Bukan justru mengembalikan Al-Qur’an secara historis pada abad-abad awal kemunculannya untuk kemudian diterapkan hari ini tanpa sebuah pembacaan kritis.
Upaya tersebut hanya akan mendudukan Al-Qur’an sebagai kitab usang, padahal Al-Qur’an telah dinash menjadi kitab acuan kehidupan dalam menjalani norma serta nilai yang terus bergerak maju selama kehidupan manusia.
Abdullah Saeed salah satu yang mengembangkan wacana penafsiran Al-Qur’an secara kontekstual. Salah satu intelektual tersohor yang tidak pernah absen dalam kajian tafsir di berbagai forum wacana studi Al-Qur’an.
Dalam kondisi minoritas muslim di Eropa, ia terbilang berhasil menawarkan sejumlah gagasan akan pentingnya pembacaan kontekstual sesuai spirit keislaman yang kemudian diperas nilai-nilainya, sebagai penopang dalam kehidupan umat Islam.
Indonesia sebagai dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, tentu hal tersebut menjadi sebuah perjuangan besar yang patut dipertimbangkan. Dari sana, perlu untuk kemudian dipahami jikalau penafsiran atas Al-Qur’an yang harusnya dapat menelurkan berbagai solusi terhadap persoalan hidup umat manusia di mana pun dan kapan pun menjadi sebuah nilai yang tidak boleh dilepaskan.
Di masyarakat minoritas muslim, tentu konstruksi gagasan yang ditawarkan akan berbeda. Lain daripada itu, kekhawatiran yang timbul akibat wacana Al-Qur’an yang tidak senafas dengan konteks sosial, tidak menutup kemungkinan akan sedikit demi sedikit mengikis perkembangan Islam itu pada taraf tertentu.
Abdullah Saeed tidak hanya tokoh tunggal yang mengemukakan terhadap pandangan Al-Qur’an yang harus dibaca sesuai zaman nya. Tercatat seperti Fazlurrahman, Khaled Abu al Fadl, Farid Esack, dan tokoh pemikir lainnya, juga mengajukan berbagai gagasan dalam mengekspresikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai sebuah kitab rujukan bagi konteks kehidupan sesuai semangat zaman.
Hal tersebut tidak lain salah satunya dalam rangka meng-counter wacana penafsiran Al-Qur’an secara tekstual, yang justru akan jatuh pada kemandegan wacana, dengan menawarkan berfikir praktis dalam tubuh kehidupan umat Muslim itu sendiri.
***
Di tengah perkembangan abad modern, muncul sebuah asumsi di tengah masyarakat terkait persoalan penafsiran terhadap Al-Qur’an. Asghar Ali dalam tulisannya Hak-Hak Perempuan Dalam Islam menegaskan bahwa dalam konteks peradaban yang semakin jauh meninggalkan kondisi dan struktur sosial masa lalu di mana Al-Qur’an diturunkan, hanya meninggalkan dua pilihan bagi pelestarian Al-Qur’an agar masih tetap dipegang teguh sebagai pedoman hidup umat Muslim.
Asumsi pertama jatuh pada penyesuaian penafsiran sesuai konteks zaman modern ataukah Al-Qur’an hanya akan dijadikan sebagai teks yang disakralkan namun tidak mampu diterapkan nilai – nilai yang bisa dijadikan pondasi masyarakat modern.
Oleh karena itu tentu pilihan pertama untuk terus mengupayakan akan hadirnya pembacaan kontekstual menjadi poin penting agar Al-Qur’an mampu menunjukan eksistensinya serta mampu membawa angin segar perubahan yang hadir di tengah perubahan sosial hari ini. Wallahu A’lam bi Showwab.
Editor: Yahya FR