Kata “Tarawih” (bahasa Indonesia) berasal dari “Taraawiih” (bahasa Arab: Jamak) dari kata “Tarwiihah” (istirahat). Istirahat maksudnya adalah istirahat di antara rangkaian setiap mendapatkan “4 rakaat”.
Hal ini karena para ulama dahulu mengerjakan Shalat Tarawih secara bertahap/. Mereka mengerjakan shalat apabila mendapatkan 4 rakaat: duduk dan melepas penat. Ibnu Hajar: para ulama dahulu istirahat (di antara dua tarwiihaah) selama kurang lebih: orang dapat mengerjakan beberapa rakaat shalat.
Tarwihah dan jamaknya (Tarawih) lama-lama mengalami “pergeseran makna”, menjadi “rangkaian empat rakaat Shalat malam Ramadhan” baik 2 rakaat salam mapun 4 rakaat salam.
Dalam kitab-kitab abad ke-4 H: makna Tarawih berkembang menjadi “keseluruhan shalat malam di bulan Ramadhan” yang jumlahnya 8, 20 atau 36 rakaat (See: Sunan Baihaqi: Tarawih Munfarid Lebih Afdal). Di Indonesia sekarang penyebutan Shalat Tarawih sekaligus Shalat Witir di dalamnya.
Zaman Nabi: Shalat Tarawih Belum Dikenal
Pada zaman Nabi, istilah Shalat Tarawih belum dikenal (tidak satu pun hadis menyebut istilah “Tarawih”). Yang ada adalah “qiyam Ramadhan” dan “shalat bulan Ramadhan”. Misalnya kitab al-Marwazi: Qiyam Ramadhan.
Ungkapan “Shalat Tarawih” belum sama sekali digunakan pada abad ke-2 H. Buktinya berlum terdapat dalam kitab Al-Muwatta’ karya Malik (w.179H/795M) dan kitab al-‘Umm, karya Unan asy-Syafi’i (w.204H/820M). Asy-Syafii menggunakan istilah “Qiyam Syahr Ramadhan”.
Kata “Tarawih” tanpa digandeng dengan lata “Shalat” sudah banyak digunakan di abad ke-3. Kebanyakan maknanya mengacu pada “empat rakaat shalat”.
Penggunaan frasa “Shalat Tarawih” untuk menunjukkan secara tegas “keseluruhan shalat tarawih” baru ditemukan abad ke-5 H. Misalnya Imam Baihaqi (w.158H/1066) dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra.
Apakah Nabi pernah Qiyam Ramadhan 20 rakaat? Tidak ada Satupun hadis maqbul yang menjelaskan Nabi Qiyam Ramadhan 20 rakaat.
Satu riwayat diklaim dari Ibnu Abbas dibawakan Abu Syaibah, “Adalah Rasulullah shalat di bulan Ramadhan tanpa berjamaan 20 rakaat dan mengerjakan witir” (Nas 37-42). Baihaqi: Abu Syaibah menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini: seorang perawi dho’if. Bertentangan dengan hadis Aisyah. Baik sendiri maupun jamaan Nabi tidak pernah mengamalkannya.
Zaman Khulafa Rasyidin
Selama di madinah, Nabi tidak pernah mengumpulkan masyarakat secara khusus di Masjidnya untuk Tarawih berjamaah di bawah 1 orang imam. Nabi kadang Tarawih bersama masyarakat, kadang sendirian di rumah. Ketika Nabi di Masjid, masyarakat menjadi makmum, sedangkan ketika Nabi shalat di rumah sejumlah sahabat shalat di masjid dalam kelompok terpisah-pisah. Keadaan ini berlangsung hingga Khalifah I, Abu Bakar (w.13H/634M), bahkan sampai zaman Khalifah II, Umar bin Khattab (w.23H/644M).
Melihat pelaksanaan Tarawih yang sporadis, Umar berijtihad Qiyam Ramadhan supaya dipimpin oleh satu orang Imam yaitu Ubay bin Ka’b. Umar menyebut kebijakan ini “sebaik-baik bid’ah”. Hal ini dilakukan Umar pada tahun ke-2 pemerintahannya, yaitu: tahun 14H/635.
Pembaruan Tarawih oleh Umar bukan menetapkan Shalat Tarawih 20 rakaat sebagaimana banyak disalah-pahami oleh masyarakat. Umar memerintahkan Ubay dan Yamim ad-Dari agar mengimami jamaah shalat Qiyam Ramadhan 11 rakaat. (Nas 20 dan Nas 21).
Bagaimana dengan riwayat di zaman Umar dilakukan Tarawih 20 rakaat? Asar (as-Sa’ib ibnu Yazid) ini tidak disepakati keshahihannya (ada yang shahih dan ada yang dha’if). Imam Nawawi (Madzhab Syafii) dan Ibnu Abd Barr (menyalahkan 11 rakaat) menyatakan “Shahih”. Ibnu Barr disanggah beramai-ramai oleh para ulama.
Adapun yang mandhaifkan riwayat Baihaqi tentang shalat 20 rakaat di zaman Umar antara lain Ibnu Al-Arabi (w.543H/1148M) dan al-Mubarakfuri (keras menolak karena ada perawi yang majhul), yaitu Abu Usman Al-Basri. Menurutnya “Zaman Khulafa Rashidin belum dikenal shalat 20 rakaat” (tidak ada riwayat shahih). Kompromi pendapat: ini hanya menjadi amalan individual di rumah, bukan praktik resmi di Masjid Nabawi.
Zaman Umayah – Imam Malik (Akhir Abad ke-3 H)
Sampai kapan praktik Tarawih 11 rakaat ini berlangsung di Masjid Nabawi? Sejak menjalang Perang al-Harrah (63H/683M) praktik Tarawih di Masjid Nabawi menjadi 36 rakaat. Ibnu al-Mulaqqin menyebut yang melakukan perubahan adalah Mu’awiyah sebelum meninggal (w. 60H/680M).
Berapa rakaat sebelum berubah menjadi 36 rakaat? 11 rakaat (kebijakan Umar) atau 20 rakaat? (a) Mula-mula 11 rakaat, kemudian Umar mengubahnya 20 rakaat sampai Muawiyah mengubahnya. (b) 11 rakaat sampai Muawiyah mengubahnya.
Sejak ditetapkan 36 rakaat, praktik ini berlangsung sampai zaman Imam Malik (w. 179H/795M), yakni zaman Aban ibn Usman (w. 102H/720M) dan Umar ibn Abdul Azis (w. 101H/720M). Imam Syafii (Murid Imam Malik), “saya melihat orang di Madinah melakukan tarawih 39 rakaat”.
Mengapa berubah dari 20 rakaat menjadi 36 rakaat? (a) orang Madinah ingin menyamai orang Mekkah yang melakukan tawaf antara 2 tarawih. (b) memberi keringanan dengan memperbanyak rakaat, mengurangi kejenuhan berdiri.
Setelah Imam Malik sampai ahir abad ke-3 H, Tarawih dilakukan 36 ditambah witir 3 rakaat = 39 rakaat. Tetapi Tirmizi (w.279H/892M) menyatakan: di Mekkah dipraktikkan Tarawih 4i rakaat.
Abad ke-4 hingga ke-7 H
Abad ke-4 H merupakan kebangkitan dinasti Fatimiyah (syiah Ismailiyah) berhasil menaklukkan Mesir 358H/968M. Dinasti ini bertahan 2 abad lebih.
Di Masjidil Haram praktik shalat Tarawih berkelompok-kelompok sesuai madzhab: Hanafiah, Syafiiyah, Hambaliah, Malikiah, dan Zaidiah (Syiah) masing-masing shalat sendiri, sehingga masjid bergemuruh (bersaut-sautan) tidak tertib. Menurut Jubair, shalat dilaksanakan 20 rakaat.
Di Masjid Nabawi: berubah menjadi 20 rakaat. Madzbah Syiah: melaksanakan 2 tahap: 8 rakaat seudah Magrib dan 12 rakaat sesudah isya.
Abad ke -8 hingga Abad ke-14
Sejak abad ke-8 Tarawih di Masjid Nabawi (Madinah) dikembalikan menjadi 36/39 rakaat. Hal ini ketika Imam al-‘Iraqi (w.806H/1404M) menjabat sebagai Hakim Tinggi (Qadi al-Qudah) Madinah tahun 788-791H/1386-1389M, yang bertugas menjadi Imam di Masjid Nabawi.
Iraqi mengembalikan seperti zaman Imam Malik. Hanya saja teknisnya ada perubahan: pelaksanaannya dilakukan secara 2 (dua) tahap. Sesudah isya (20 rakaat) dan akhir malam (16 rakaat).
Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad ke-14, ketika mulainya Era Saudi pada tahun 1344H/1926M. Dengan kata lain selama “enam abad” tarawih dilaksanakan dua tahap
Sesudah Abad ke-14 hingga Sekarang
Dengan munculnya Dinasti Saudi, maka berakhir pula Tarawih 36 rakaat di Masjid Nabawi. Sejak ini Tarawih dilakukan 20 rakaat (23 rakaat) dan seluruh jamaah disatukan di bawah satu imam. Praktik ini hingga sekarang. Ada juga yang 11 rakaat bagi yang berpegang dengan hadis yang kredibel.
Keterangan: disarikan dari buku karya Prof. Syamsul Anwar, MA (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) yang berjudul Salat Tarawih: Tinjauan Usul Fikih, Sejarah dan Fikih.
Tarawih adl tahajjud di bulan Ramadhan.
Di bulan2 lain Nabi tahajjud di rumah. Sdg di bulan ramadhan beliau keluar ke masjid.
Dan Nabi tdk pernah sholat malam lebih dr 11 raka’at.
Nabi sarankan utk awali sholat malam dg sholat dua raka’at ringan.
Dan itu yg dimaksud dg hadits yg nyatakan Nabi sholat malam 2-2-2-2-2 plus witir.
Dua rakaat sholat ringan sebelum sholat malam/tahajjud.
Delapan raka’at tahajjud.
Dan tiga raka’at witir.
Selebihnya Alloh yg lbh tahu.