Tak bisa dipungkiri, sejarah sudah mencatat, bahwa menjelang akhir Abad Pertengahan (akhir abad ke-15), kota-kota di Eropa, khususnya Eropa Barat, berkembang menjadi pusat perdagangan, pertukaran barang kegiatan ekonomi dan moneter, dan perbankan. Saat itu, kaum kelas menengah bangkit dan mengembangkan suatu kebebasan tertentu yang berkaitan dengan syarat-syarat dasar kehidupan. Mekanisme pasar mulai memainkan peranan penting yang menuntut manusia berpikir kreatif, inovatif, dan harus rajin.
Dari sudut pandang budaya dan sosio-ekonomi, individu-individu Eropa saat itu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru dan praktis yang harus direspons berdasarkan kemampuan akal budi, tanpa harus lagi bersandar kepada otoritas apa pun. Termasuk otoritas Gereja yang selama itu mencengkeram mereka dan tuntutan tuan tanah yang feodal.
Harus diingat, bahwa pada Abad Pertengahan, Sri Paus merupakan satu-satunya pejabat pemimpin tertinggi. Bahkan, raja dilantik oleh Sri Paus. Agama dengan politik menyatu. Hal ini dialami oleh masyarakat Eropa lebih dari 10 abad. Pada masa-masa inilah, muncul dua gerakan hebat di Eropa, yakni Renaisans dan Aufklarung.
Kita tahu, Renaisans (Renaissance, bahasa Prancis) berarti bermakna kelahiran kembali kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa abad ke-15 dan ke-16. Setelah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran Kristen, kini orang mencari orientasi dan inspirasi baru yang lebih bebas. Kebudayaan Renaisans ditujukan untuk menghidupkan segar dan kembali humanisme klasik yang terhambat oleh gaya berpikir sejumlah tokoh Abad Pertengahan.
Itu artinya, jika pada zaman klasik peran manusia lebih ditekankan sebagai bagian dari alam atau polis (negara-kota atau masyarakat Yunani Kuno), maka humanisme Renaisans lebih menekankan pada individualisme, yakni paham yang menganggap bahwa manusia sebagai pribadi harus diperhatikan. Manusia harus dilihat sebagai individu-individu yang unik dan bebas untuk berbuat dan menganut keyakinan tertentu. Kemuliaan manusia terletak pada kebebasannya untuk menentukan pilihan sendiri, dan ia berkuasa atas alam.
Gagasan ini mendorong munculnya sikap pemujaan yang tak terbatas pada kecerdasan dan kemampuan individu dalam banyak hal. Artinya, apa yang kamu pikir bisa kamu lakukan, wujudkanlah! Dengan demikian, gambaran manusia yang dicita-citakan humanisme Renaisans adalah manusia universal, yakni manusia yang berkat kecerdasannya bisa maju dan berkembang penuh dalam seluruh aspek kehidupannya, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan.
Renaisans dan Aufklarung
Masa Renaisans ini bisa disebut sebagai fase pertama dalam proses Aufklarung (Pencerahan). Satu hal penting yang muncul pada zaman Renaisans adalah berkembangnya sains modern dengan berdasarkan pada metode yang bersifat empiris-eksperimental dengan metode matematika yang ketat. Hasilnya adalah, suatu pengetahuan eksak yang kebenarannya bisa diuji dan berlaku mutlak dan universal. Inilah yang kelak disebut pengetahuan positivistik, yakni bahwa sesuatu disebut ilmiah jika ia terhitung, terjumlah, dan terukur (empiris).
Secara umum, pada masa ini, ada adagium bahwa pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power), yang berarti ilmu pengetahuan yang bersifat teknis-empiris pragmatis dianggap lebih unggul dan meyakinkan dari semua pengetahuan yang tidak praktis-empiris, seperti teologi dan filsafat. Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi filsafat Inggris di kemudian hari. Gerakan Renaisans sangat berpengaruh di Eropa, dan pengaruhnya kelak memunculkan Aufklarung di Jerman.
Sementara itu, zaman Pencerahan akal budi (Aufklarung, bahasa Jerman) berlangsung selama abad ke-17 dan 18. Istilah pencerahan digunakan karena manusia mencari cahaya baru melalui rasionya sendiri. Menurut Immanuel Kant (1724-1804), seperti dikutip Simon Petrus Tjahjadi, istilah Pencerahan dimaksudkan bahwa manusia terlepas dari sikap tidak dewasa (unmundigkeit) akibat kesalahannya sendiri.
Bahwa kesalahan itu terletak pada keengganan manusia untuk memanfaatkan rasionya secara maksimal. Orang lebih suka bersandar pada otoritas lain di luar dirinya, misalnya pada wahyu Ilahi, nasihat para ahli, atau otoritas gereja. Dalam menghadapi sikap jumud ini, pencerahan bersemboyan: “Sapere aude! (Beranilah berpikir sendiri!).” Dengan demikian, Pencerahan merupakan tahap baru-atau fase kedua Pencerahan-dalam proses emansipasi manusia yang telah dimulai sejak masa Renaisans dan Reformasi.
Tak hanya itu, Petrus mengatakan, semangat zaman masa Aufklarung (pencerahan) ditandai dengan tiga hal pokok: kepercayaan terhadap kekuatan rasio (nalar), mendukung ilmu pengetahuan alam (sains), dan kepercayaan kepada otonomi manusia. Masa Aufklarung adalah masa kunci untuk masuk ke dalam peradaban modern.
Zaman Aufklarung hanya berlangsung 100 tahun saja, tetapi sangat padat dengan pemikir-pemikir kaliber dunia yang berpengaruh kepada peradaban hari ini. Misalnya, jaminan atas HAM, model demokrasi modern, pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), dan penguatan masyarakat sipil (civil society).
Keduanya, era Renaisans dan Aufklarung, menurut Petrus, tidak muncul begitu saja, dalam arti tidak semata dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan masa itu, seperti keinginan mandiri secara politik dan keinginan bebas dari cengkeraman gereja (otoritas Ilahi). Harus pula diperhatikan gairah para sarjana Eropa saat itu terhadap ide-ide Aristotelian.
Seperti diketahui, selama gereja mendominasi pola pikir masyarakat Eropa, filsafat Plato tak bisa dilepaskan. Filsafat Plato bersifat spiritual, menekankan pada dunia ide. Manusia rindu kepada dunia ide (ideal). Tubuh ini seperti penjara. Manusia harus berjuang supaya dapat lepas dari tubuh dan bisa kembali ke dunia spiritual sebagai asal-muasal manusia.
Hingga akhirnya, Platonisme ini kemudian menjadi sistem spiritual yang dikembangkan oleh Neo-Platonisme dan bapa-bapa gereja, seperti St. Agustinus dan lain-lain, yang kemudian menjadi pola pikir masyarakat Eropa selama hampir 10 abad. Cara pandang Kristiani dan kitab suci yang menjadi satu-satunya otoritas pada masa itu adalah sangat lazim.
Barulah kemudian muncul perkembangan baru, yakni kesadaran atas filsafat Aristoteles. Di Eropa, Aristotelianisme dipahami melalui Perang Salib. Perang yang berlangsung selama hampir dua abad itu tidak semata terjadi kontak senjata, melainkan juga terjadi perjumpaan manusia dan pertukaran budaya.
Artinya, filsafat Aristoteles masuk ke Eropa melalui pemikir-pemikir Arab cemerlang saat itu. Aristoteles mendiskusikan hal-hal yang konkret, berbicara tentang kehidupan praktis dan soal etika. la juga mengajari cara-cara penalaran yang baik, yang di kemudian hari dikenal dengan logika Aristoteles.
Semangat dan Kegairahan Sarjana Eropa
Semangat dan kegairahan para sarjana Eropa Abad Pertengahan terhadap filsafat Aristoteles ini membuka cakrawala baru untuk mencintai pengamatan-pengamatan empiris. Namun demikian, sebenarnya, naskah-naskah filsafat, termasuk Aristoteles, sudah dipelihara di biara-biara Kristen saat itu. Naskah-naskah itu dirawat, dicatat kembali, diterjemahkan, dan dipelajari di biara-biara. Hanya saja, filsafat Plato sangat dominan dalam alam pikiran gereja. Dan, terbukanya kembali pemikiran Aristoteles membuka pintu masuk pengamatan-pengamatan non-spekulatif, tidak terlalu religius, tetapi yang empirik-material.
Fenomena ini kemudian secara meluas membuka minat orang-orang Eropa kepada pengamatan empiris. Bagi orang Eropa Renaisans saat itu, antara mereka dan kebudayaan Yunani Kuno yang mereka kagumi terdapat satu masa jeda panjang, yakni suatu masa ketika dogma-dogma gereja membelenggu sangat kuat- itulah yang disebut masa Abad Pertengahan.
Penting dicatat, bahwa istilah Abad Pertengahan sesungguhnya bukan berasal dari kurun waktu hitungan masyarakat modern saat ini. Namun melainkan dari orang- orang Renaisans yang baru menyadari akan belenggu gereja kala itu. Sekali lagi, penting ditekankan bahwa para sarjana masa Renaisans kemudian menyadari bahwa kebudayaan Yunani Kuno sesungguhnya sudah hebat karena sudah memiliki minat pada ilmu, sastra, etika, dan kebudayaan-kebudayaan lain non-Yunani.
Padahal, “kami (orang Eropa Abad Pertengahan) selama ini hanya mengenal ajaran Kristen, itu pun Kristen versi Plato yang sangat idealistik,” begitu kira-kira ungkapan orang Eropa saat itu. Kesadaran akan Aristotelianisme membuka pintu yang lebar bagi semangat Renaisans.
Hal lain dari yang mendukung faktor kemunculan Renaisans dan Aufklarung, menurut Petrus, adalah kemandirian politik. Dulu, Gereja Katolik sangat berkuasa. Lalu, terjadi perpecahan di antara orang orang Kristen. Inggris, misalnya, terpecah dengan Anglikanisme. Jerman terpecah dengan Reformasi Luther. Negeri-negeri Eropa juga terpecah antara Blok Uni Katolik dengan Liga Protestan. Liga Protestan lebih berakar pada kedaerahan: Mereka ingin otonom dari kekuasaan Sri Paus.
Seperti kita tahu, bahwa Sri Paus sebagai individu (person) dan lembaga kepausan adalah lembaga dan pemimpin tertinggi dalam hierarki masyarakat Eropa Abad Pertengahan. Raja-raja di banyak negeri Eropa saat itu dilantik oleh Sri Paus. Memang, terkadang terjadi ketegangan antara kaisar atau raja dengan Sri Paus, tetapi peran Sri Paus tetap yang tertinggi. Faktor-faktor inilah yang memuluskan jalan bagi menguatnya semangat Renaisans, Reformasi, dan kebebasan manusia dari belenggu otoritas apa pun, baik gereja maupun politik, dalam sistem monarki yang feodal.
Yang tak kalah pentingnya dicatat bahwa, beberapa faktor empirik yang langsung, tidak langsung, dan yang natural, seperti tergambar itu, membuat kita sulit menghubungkan semua peristiwa Renaisans dan Aufklarung dengan konspirasi orang-orang Yahudi jika konspirasi itu dimaknai sebagai rencana-rencana yang diperjuangkan dengan cara yang sistematis, terstruktur, dapat diukur, dan terus dievaluasi secara berkala.
Adalah sulit melihat sebuah peristiwa atau perubahan besar yang rumit dan kompleks dengan kacamata konspirasi. Sama sulitnya dengan membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran teori-teori konspirasi yang serba rahasia (tertutup). Karena itu, menurut Michael Barkun, ilmuwan politik dari The Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Universitas Syracuse, AS, teori konspirasi adalah sebuah sistem yang tertutup dan tidak bisa difalsifikasi, dan karenanya atas teori ini yang berlaku adalah mengimaninya daripada membuktikannya (a matter of faith rather than proof).
Bagaimana kita bisa membuktikan secara empirik-faktual, logis, dan meyakinkan bahwa semua proses modernisasi, sekularisasi, rasionalisasi, pergeseran nilai-nilai tradisional, individualisme, hedonisme, dan globalisasi ekonomi dan budaya adalah rekayasa Yahudi, dan bukan proses natural yang berdiri sendiri? Jika segala sesuatu ingin dihubungkan, tentu saja semua bisa dihubung-hubungkan. Akan tetapi, apakah hubungan dan keterkaitan di seluruh dunia ini terjadi karena sebuah konspirasi rahasia?.
Martin mengatakan, teori-teori konspirasi yang ingin mengkambinghitamkan Yahudi atas semua tragedi berasal dari negara-negara Arab. Dugaan saya, negara-negara Arab itu menerima protokol konspirasi dari Eropa Timur, khususnya Rusia, sebagai produsen pertama. Munculnya kebencian orang-orang Arab kepada Yahudi kemudian dipertajam oleh konflik Palestina-Israel, dan keprihatinan atas konflik ini sangat wajar.
Kebencian masyarakat Muslim di Timur Tengah semakin menjadi ketika negara-negara Barat yang juga membenci Yahudi mengekspor ideologi anti-Semitisme ke negara-negara Arab. Dan, tentu saja, jika dirunut jauh ke belakang, adalah teks-teks al-Qur’an dan hadits yang selama berabad-abad tertanam dalam memori kolektif umat Islam tentang keburukan-keburukan watak kaum Yahudi yang pantas atau harus dimusuhi. Wallahu a’lam bisshawab.
Editor: Soleh