Akhlak

Psikologi Islami: Zikir Sebagai Energi Spiritual Manusia-Tauhid

8 Mins read

Kompetensi Hidup

Kompetensi hidup mengajarkan pencapaian-pencapaian yang bersifat kalkulatif. Manusia seakan-akan menjadi “budak” bagi dirinya sendiri dalam memenangkan percaturan hidup, dalam memanjakan mata manusia lain dengan berbagai prestasi dan aspektasi yang mentereng.

Manusia modern tidak bisa “mengembalakan” dirinya sendiri. Karena, ia belum mampu untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Kompetensi bukanlah untuk mencapai kesamaan dan kebersamaan.

Kompetensi manusia modern lebih kepada meraih ambisi, materi, kursi, prestasi, gensi, dan strata sosial-ekonomi-politik, supaya mendapat pengakuan orang lain sebagai manusia yang digdaya melampaui orang dan pihak lain.

Lalu lintas kompetensi hidup menghilangkan relaksasi pikiran dalam melihat kemanusiaan yang didera penderitaan. Percaturan hidup meniadakan kontemplasi akal dan kalbu dalam meditasi rohani kepada Tuhan. Dan dalam persaingat ketat kehidupan menapikan investasi sosial, “investasi” kemanusiaan dan “saham” akhirat.

Penjara-penjara kehidupan (istilah Komarudin Hidayat) telah “memasung” manusia dari harmonisasi dirinya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Manusia menjadi “masuh” bagi manusia lainnya. Kompetensi tanpa kenal kasihan, percaturan tak kenal lelah, dan persaingan hanya satu obsesi, yakni mendapatkan dan memilikinya.

Kompetensi tanpa jeda, percaturan tanpa iba, dan persaingat tanpa rehat, menjadikan gejala psikologis manusia. Bukan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup, bukan juga kalah dalam kompetensi, dan bukan juga rendah diri pada kedigdayaan manusia super “wah” lainnya. Akan tetapi, gangguan jiwa juga disebabkan mencapai puncak-puncak kesuksesan, seperti: kelimpahan materi, popularitas, jabatan terhormat, dan memiliki semuanya.

Derita Jiwa dalam Penjara Kehidupan

Menurut Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein (1982: 7), gangguan jiwa adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikap terhadap dirinya sendiri.

Ciri-ciri dari orang yang mengalami gangguan kejiwaan dalam pandangan Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein, antara lain:

Pertama, hadirnya perasaan cemas(anxiety) dan perasaan tegang (tension) di dalam diri.

Kedua, merasa tidak puas (dalam artian negatif) terhadap perilaku diri sendiri.

Ketiga, perhatian yang berlebih-lebihan terhadap problem yang di dihadapi.

Keempat, ketidakmampuan untuk berfungsi secara efektif di dalam menghadapi problem.

Henry A. Murray, berpendapat, bahwa sebab-sebab terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka.

Menurut Henry A. Murray, ada 20 jenis pengelompokan kebutuhan manusia, di antaranya adalah: (1) kebutuhan untuk afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang lain dalam kelompok; (2) kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin bebas dari pengaturan orang lain; (3) kebutuhan untuk berprestasi, yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu (Ancok dan Suroso: 1995: 92).

Sedangkan menurut Alfred Adler, bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (inferiority complex) yang berlebih-lebihan. Sebab-sebab timbulnya rasa rendah diri adalah kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam hidup. Kegagalan-kegagalan yang terus menerus ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi.

Kemudian, dalam pandangan Abraham Maslow, yang menyatakan, bahwa manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasi diri.

Hal itu menunjukkan, bahwa semua manusia memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang universal yang dibawa sejak lahir, yang tersusun dalam suatu tingkatan, dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada pada tingkat yang paling rendah, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki cinta, dan kebutuhan akan pernghargaan.

***

Jadi, Abraham Maslow berpendapat, apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka manusia akan mengalami gangguan jiwa.

Dari pandangan para ahli psikologi Barat di atas, maka dapat diambil konklusinya, bahwa gangguan jiwa yang menerpa manusia dalam hidupnya adalah: (1) karena ketidakmampuan manusia dalam mengatasi konflik dalam dirinya; (2) tidak terpenuhi kebutuhan hidup; (3) perasaan kurang dicintai (diperhatikan; dan (4) perasaan rendah diri.

Baca Juga  Islam Enteng-entengan (2): Tatacara Dzikir, Bolehkan Dikerjakan Berjamaah?

Sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, berpendapat bahwa pentingnya agama bagi kehidupan. Ia lebih lanjut menyatakan, bahwa krisis yang dialami oleh orang-orang Eropa pada zaman modern ini disebabkan oleh karena kemiskinan spiritual yang jalan untuk menyembuhkannya tidak lain kecuali kembali pada agama.

Zikir sebagai Psikoterapi Islami dalam Penyembuhan Derita Jiwa Manusia Modern

Walaupun ada pembelahan dalam pandangan psikolog Barat tentang fungsi psikoterapi dan fungsi “Begawan” agama (agamawan), seperti: ulama (kiyai, mursyid, ustadz, ajengan, tuan guru, tengku, buya, dll), pendeta, pastor, biksu, rahib, dan sebutan untuk agamawan lainnya, dalam usaha dan upaya penanggulangan gangguan jiwa.

Namun, kelompok yang menamakan spiritual reductionist, yang berpendapat, bahwa gangguan jiwa adalah disebabkan dosa kepada Tuhan. Maka usaha dan upaya untuk terapi penyembuhannya adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhan, dalam bahasa agama Islamnya adalah tobat nasuha dan terus menerus ber-taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Kelompok ini berpendapat, bahwa terjadinya gangguan jiwa yang melanda manusia modern disebabkan oleh kehidupan yang sekuleristik, yang memisahkan peran doktrin, dogma dan ritus agama di dalam kehidupan manusia sehari-hari.               

Upaya dan usaha terapi Islami dalam konteks gangguan jiwa dengan sungguh-sungguh bertobat kepada Allah serta “melanggengkan” (mentakzimkan/mendawamkan) zikir kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi serta berbagai problematika hidup.

 Zikir (الذ كر) secara bahasa berarti ingat. Dalam kehidupan beragama (Islam) yang dimaksud dengan zikir adalah mengingat Allah.

Pengertian luasnya, zikir adalah menghadirkan hati untuk mengingat dan taat kepada Allah yang kemudian disusul dengan ucapan atau perbuatan dalam berbagai keadaan ketika melakukan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, mengerjakan haji, menghadapi yang halal dan haram, berjual beli dan dalam berbagai hal yang lain.

Namun, dalam perkembangannya, khususnya dalam kehidupan sehari-hari, istilah zikir kemudian lebih banyak diartikan dengan zikir yang berupa mengucapkan lafaz-lafaz tertentu. Dalam pengertian yang terakhir ini dapat disebut bahwa zikir adalah mengingat Allah dengan menguicapkan lafaz-lafaz tertentu seperti lafaz tasbih (سبحا ن ا لله) tahmid (الحمد لله) tahlil

(لا ا له ا لا ا لله) takbir (ا لله ا كبر) serta sifat-sifat keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya.

***

Dalam Islam, berzikir sangat disnjuran sebagaimana firman Allah:

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS. Al-Baqarah {2}: 152)                

Dan firman Allah yang menjelaskan:

Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.(QS. Al-Ahzab {33}: 41)

Juga firman Allah yang berbunyi:

…laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.(QS. Al-Ahzab {33}: 35).

Kemudian dalam hadits Nabi Saw:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi Saw bersabda: Allah SWT berfirman: “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-ku kepada-Ku dan Aku bersama hamba-Ku apabila dia mengingat-Ku. Dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di hadapan sekumpulan orang, maka Aku akan mengngingatnya di hadapan sekumpulan orang yang ;ebih dari mereka. Jika dia mendekati-Ku satu jengkal, maku Aku akan mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berjalan cepat.(HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad dengan lafaz dari Bukhari).

Baca Juga  7 Cara Mengingat Kematian

Adapun lafaz-lafaz yang digunakan untuk berzikir adalah bersumber dari ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah maqbulah seperti: basmalah (بسم ا لله الر حمن الر حيم ), (سبحا ن ا لله) tahmid (الحمد لله), tahlil

(لا ا له ا لا ا لله), takbir (ا لله ا كبر), dan termasuk juga dalam  zikir adalah ucapan daripada  kalimat hawqalah (لا حو ل و لا قو ة ا لا با لله )

Zikir Sebagai Energi Spiritual Manusia-Tauhid

Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata zikir merupakan energi spiritual yang “bergizi” dan “suplemen” yang mengobati gejala dan gangguan jiwa manusia, apabila zikir dilakukan sesuai dengan tuntunan Islam.

Adapun zikir sebagai energi spiritual manusia-tauhid adalah:

Pertama, aura zikir memberi vibrasi ketentraman kalbu.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allah. Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Ra’d {13}: 28)

Kedua, efek zikir membawa perasaan senang.

“Oleh karena itu, bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakana. Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu malam tiba dan pada waktu-waktu siang supaya kamu merasa senang.” (QS. Thaha {20}: 130)

Ketiga, orang yang berzikir diselimuti rahmat Allah.

Tiadalah orang-orang duduk berzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, ketenangan diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada para malaikat yang ada di dekat-Nya.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)

Keempat, zikir sebagai obat penyembuh bagi yang sakit.

“Dan Kami menurunkan dari Al-Quran itu sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Isra {17}: 82)

Kelima, zikir sebagai penawar penyakit hati.

“Zikrullah adalah obat hati.” (HR. Ad-Dailami dari Anas)

Keenam, zikir menjadikan sang hamba memiliki kekuatan ‘sinyal’ Ilahiah.

“Oleh karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku pun ingat kepada kalian…” (Al-Baqarah {2}: 152)

Ketujuh, zikir merupakan “kemanunggalan” sang hamba dengan Tuhannya.

“Allah Swt, berfirman, ‘Aku bersama hamba-Ku selagi ia berzikir kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.” (HR. Imam ASy-Sya’rani)

Kedelapan, orang yang berzikir menjadi cahaya yang berpendar di bumi dan popular di langit-Nya.

“Kamu harus berzikir kepada Allah dan membaca Kitabullah sebab ia merupakan cahaya di bumi dan karenanya kamu disebut-sebut di langit.” (HR. Abu Ya’la dari Abu Sa’id)

***

Kesembilan, zikir menjauhkan sang hamba dari kesempitan hidup.

“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya adalah kehidupan yang sempit.” (QS. Thaha {20}: 124)

Kesepuluh, zikir (seperti shalat) menegah perbuatan keji dan munkar.

“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya perhatikan Allah itu lebih besar…” (QS. Al-Ankabut {24}: 45)

Kesebelas, berzikir sebagai identitas orang hidup.

“Perbandingan rumah yang biasa digunakan untuk zikrullah dengan rumah yang tidak biasa digunakan untuk zikrullah adalah bagaikan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Asy-Syaikhan)

Keduabelas, zikir wujud beribadah “bersama” Allah.

Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka beribadahlah kamu kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha {20}: 14)

Ketigabelas, zikir sebagai tanda mengagungkan Allah.

“…Dan hendaklah kalian menyempurnakan bilangannya, dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepada kalian, agar kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah {2}: 185)

Ritus Zikir Meraih “Ekstese” Keilahiahan yang Transedental dan Karakter Religius

Carl Gustav Jung, berkata, bahwa selama 30 tahun yang lalu, pribadi-pribadi dari berbagai bangsa di dunia telah melakukan konseling dengannya dan dia pun telah banyak menyembuhkan para penderita gangguan jiwa. Semua pasien yang pernah diobatinya yang usianya di atas 35 tahun memiliki problem yang bersumberkan pada kebutuhan akan agama. Pasien tersebut baru sembuh setelah mereka kembali pada wawasan agama (Najati, 2005: 287-288).

Baca Juga  Berdzikir Pagi dan Petang Hari

A.A Brill dan Henry Link, berpendapat, bahwa orang-orang yang benar-benar religious tidak akan pernah menderita sakit jiwa. Orang-orang yang religious adalah orang-orang yang berkepribadian kuat (Najati, 2005: 288).

Seorang psikolog Amerika Serikat, William James, berpandangan, bahwa tidak ragu lagi, bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah keimanan kepada Tuhan. Keimanan kepada Tuhan adalah salah satu kekuatan yang boleh tidak harus dipenuhi untuk membimbing seseorang dalam hidupnya.

Selanjutnya ia berkata, bahwa antara manusia dan Tuhan terdapat ikatan yang tidak putus. Apabila manusia menundukkan diri dibawah pengarahan-Nya, cita-cita dan keinginan manusia akan tercapai. Manusia yang benar-benar religious akan terlindung dari keresahan, selalu menjaga keseimbangannya dan selalu siap untuk menghadapi segala malapetaka yang terjadi (Najati, 2005: 287).

Maslow sendiri dalam teorinya mengemukakan konsep metamotivation yang di luar kelima hierarchy of needs yang pernah dia kemukaan. Mystical atau peak experience adalah bagian dari metamotivation yang menggambarkan pengalaman keagamaan. Pada kondisi ini manusia merasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat dalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transedental (self is lost and transcended). Di mata Moslow level ini adalah bagian dari kesempurnaan manusia.

Ada kesempatan-kesempatan di mana orang-orang yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang meluap-luap, suatu pengalaman keagamaan yang sangat mendalam. Selama pengalaman puncak ini, yang dianggap Maslow bisa terjadi di kalangan orang-orang yang sehat, diri dilampaui dan orang itu digenggam suatu perasaan kekuatan, kepercayaan dan kepastian, suatu perasaan yang mendalam bahwa tidak ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikannya.

***

Manusia senantiasa melakukan pencarian terhadap eksistensinya secara rohaniah. Maka kompetensi spiritualitas merupakan tangga-tangga manusia dalam meraih eksistensi dan posisi secara spiritual di hadirat Tuhan.

Maka pengalaman puncak yang transeden digambarkan sebagai sehat supernormal (normal seper healthy) dan sehat super super (super super healthy). Maslow menyebutkan peakers (transcenders) dan non-peakers (non-transcenders). Non-peakers cenderung menjadi orang-orang  yang praktis, berinteraksi dengan dunia secara efektif dan kurang dengan dunia kehidupan N (B-living) yang lebih tinggi. Mereka cenderung menjadi perilaku, bukan mediator atau kontemplator, efektif dan pragmatis bukan estetis, menguji kenyataan dan kognitif bukan emosional dan mengalami.

Dari perjalanan panjang secara spiritualistik lah, manusia memiliki pengalaman puncak (peakers). Dan pengalaman-pengalaman puncak itulah yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka. Mereka cenderung menjadi lebih mistik, puitis dan saleh, lebih tanggap terhadap keindahan dan kemungkinan lebih besar menjadi pembaharu-pembaharu atau penemu-penemu.

Kemampuan mengaktualisasikan diri secara spiritualistik membuat manusia yang beragama mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang meluap-luap, suatu pengalaman keagamaan yang sangat mendalam. Mungkin sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, rasa manis tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata, akan tetapi harus dirasakan sendiri. Yang merasakan tentu berbeda dengan yang hanya sekedar mengatakannya saja.

Jadi, esensi keparipurnaan manusia adalah dari kompetensi spiritualitas secara hanif, dengan kemampuan menyadari secara transedental tentang motif beragama sebagai fitrah ketuhanan dalam diri manusia yang ada sejak di alam rahim hingga akhir hayatnya.

Kemampuan kompetensi spiritual melalui media zikir yang transedental, maka akan mengantarkan sang hamba pada laku hidup yang religius. Laku hidup yang religius yang secara transpormatif dalam dunia nyata menjadi sang hamba yang gemar berzikir itu memiliki karakter religius.

Editor: Yahya FR

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds