Dunia saat ini sedang menggebu memuja wanita yg berani tampil, aktif, dan bersuara keras. Setelah sebelumnya stigma wanita hanya orang kedua yang berada di belakang layar. Wajah-wajah wanita kuat dan mandiri terpampang menjadi idola dan sosok yg dibutuhkan, dirindukan, dan dielu-elukan. Semua media itu seakan memberitahukan bahwa “inilah model wanita yg dicintai masyarakat”. Cerdas, berani memperjuangkan hak-haknya, dan jadi pemimpin.
Media memperlihatkan dengan jelas tokoh-tokoh wanita tersebut mulai dari yg muda sampai tua, hingga benar-benar yg hanya virtual saja yaitu Greta Thunberg, Malala Yousefi, Indira Gandhi, Margaret Thatcher, Gal Gadot, Najwa Shihab, Elsa Frozen, Moana adalah wajah-wajah populis yang membawa spirit wanita zaman kini.
Lalu bagaimanakah tokoh perempuan lain di waktu dan tempat berbeda yang takdirnya menjadi budak cinta, mengemis-ngemis perhatian, dan berharap mendapat debu yang diterbangkan oleh kekasihnya seperti Zulaikha? Wanita macam Zulaikha yang rela mengorbankan waktu dan masa mudanya demi mengejar Yusuf, tidak akan bisa populer di zaman sekarang. Malah mungkin bila sosoknya hadir di zaman kini, dia termasuk orang yang mesti ditolong agar kehidupannya tidak sia-sia demi mengejar satu orang lelaki.
Meskipun di zaman sekarang kisah Zulaikha tidak akan pernah laku untuk didokumentasikan atau difilmkan, kisah Zulaikha ternyata menginspirasi sufi zaman dulu untuk menggambarkan cinta yg menggebu-gebu kepada sang Pencinta. Sastra seputar kisah Zulaikha sangat berkembang. Pun begitu pula syair-syair wanita perindu, yang menyanyikan lagu-lagu kesepian menantikan kekasihnya. Bahkan dalam salah satu karya, JIbril turun membela Zulaikha atas perjuangan cintanya kepada Nabi yang juga disayangi makhluk langit. Jibril berkata “Kami tidak akan rela membunuh orang yang mencintai Nabi kami”.
***
Lewat sosok seperti Zulaikha para sufi dan penyair menggambarkan jiwa perempuan (feminim) sebagai sosok perindu yang menghamba kepada yang dicintainya. Penghambaan, ketidakberdayaan, dan kelemahan menjadi gambaran seorang hamba pecinta yang mencintai sosok Agung yang Maha Kuasa dan Maha Besar, dan juga menjadi ciri khas dalam dunia asketisme dalam Islam.
Namun, apakah sifat zulaikha yg 180° berbeda dari sosok wanita zaman now yang tidak butuh siapa-siapa, jadi cikal bakal perendahan laki-laki terhadap perempuan dalam Islam zaman dulu? Ternyata tidak. Karena jika memang benar demikian, tidak akan pernah ada sosok bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Pelopor awal Sufi yang dengan gagahnya menenteng obor api di tangan kiri dan seember di tangan kanan sambil mengelilingi kota Basrah dg mengatakan, “Akan kubakar surga dan ku siram neraka agar tak ada satupun yg menyembah-Nya karena surga dan neraka.”
Rabi’ah sangat dihormati ulama dan masyarakat ketika itu, bahkan menjadi pelopor tokoh panutan sufi yang muncul di awal-awal. Zulaikha dihormati karena dia mencintai Nabi dan berhasil membersihkan jiwanya di akhir cerita. Rabi’ah disegani karena dia ‘abid yang melampaui tokoh-tokoh sezamannya dalam hal ibadah. Penghambaan kepada Tuhan adalah kebebasan sejati. Baik laki-laki dan perempuan, mendapat tempat terhormat dalam aspek penghambaan terhadap Tuhan.
Sosok Zulaikha yang merindu dan tidak berdaya dengan cintanya menjadi suatu antitesis dari pergerakan wanita zaman sekarang. Namun masih ada persamaan Zulaikha dengan Gretta, Najwa, dan Elsa. Yaitu semuanya sama-sama wanita yang tekun di jalan thariqah-nya masing-masing dan hanya menghamba pada sesuatu yang dicintainya.