Riset

15 Juli 2020, Momentum Koreksi Arah Kiblat

5 Mins read

Koreksi Arah Kiblat– Para ahli geofisika memberikan informasi bahwa lempeng-lempeng di Bumi tidaklah diam. Namun, lempeng-lempeng tersebut bergerak.

Pergerakan lempeng-lempeng Bumi membawa banyak dampak. Salah satu akibatnya adalah pergeseran arah kiblat.

Dengan demikian, koreksi arah kiblat secara periodik menjadi keniscayaan. Lantas, bagaimana cara membetulkan arah kiblat?

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengoreksi arah kiblat. Dari sekian cara, eksperimen adalah cara yang paling akurat. Pendekatan eksperimen dalam penentuan arah kiblat memanfaatkan fenomena kulminasi Matahari di atas Ka’bah.

Kulminasi Matahari di atas Ka’bah

Peristiwa kulminasi Matahari di atas Ka’bah merupakan fenomena alam, yang tentunya atas kuasa Allah SWT. Kejadian tersebut terjadi 2 kali dalam setahun, yakni tanggal 27 atau 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 atau 16 Juli sekitar pukul 16.27 WIB (Susiknan Azhari, 2011).

Kulminasi Matahari di atas Ka’bah terjadi bilamana deklinasi Matahari sama dengan lintang tempat/geografis Ka’bah (Ahmad Izzan dan Iman Saifullah, 2013). Nilai deklinasi Matahari berubah sepanjang tahun, dari +23°26’30” sampai dengan -23°26’30” (Susiknan Azhari, 2007). Nilai deklinasi Matahari tertinggi terjadi saat Matahari berada di sebelah utara equator yakni pada tanggal 21 Juni, sedangkan di selatan equator terjadi pada tanggal 22 Desember (Susiknan Azhari, 2007).

Menurut Susiknan Azhari (2007), lintang tempat/geografis dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan istilah latitude, sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah urd al-balad. Adapun simbol yang dapat digunakan dalam dunia astronomi adalah phi.

Lintang tempat/geografis adalah jarak sepanjang meridian bumi diukur dari khatulistiwa sampai dengan tempat tertentu (Susiknan Azhari, 2007). Lintang tempat/geografis minimal 0° dan maksimal 90°. Tempat-tempat di belahan bumi utara diberi tanda positif (+), sedangkan tempat-tempat di belahan bumi selatan diberi tanda negatif (-).

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Ka’bah menempati belahan bumi utara, tepatnya di kota Mekah. Lintang tempat/geografis kota Mekah adalah 21°25′ (Ahmad Izzan dan Iman Saifullah, 2013).

Deklinasi matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 27 atau 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 atau 16 Juli sekitar pukul 16.27 WIB (Susiknan Azhari, 2011). Pada tahun normal, deklinasi matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 16 Juli sekitar pukul 16.28 WIB. Adapun pada tahun kabisat, deklinasi matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 27 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 Juli sekitar pukul 16.27 WIB.

Baca Juga  Muhammadiyah and The Divergent
***

Tahun ini (2020) termasuk tahun kabisat. Oleh karenanya pada kedua tanggal tersebut yakni 27 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 Juli sekitar pukul 16.27 WIB, Ummat Islam di Indonesia dapat melakukan kalibrasi arah kiblat (Rinto Anugraha, 2012).

Tanggal 27 Mei 2020 dan 15 Juli 2020 bukanlah tanggal tunggal yang tidak mempunyai toleransi. Bagi yang pada tanggal tersebut ada kegiatan lain yang sudah terjadwal dan tidak bisa digeser jadwalnya, maka dapat melakukan kalibrasi arah kiblat pada 2 hari sebelum atau sesudahnya (Rinto Anugraha, 2012).

Pukul 16.18 WIB tanggal 27 Mei 2020 dan pukul 16.27 WIB tanggal 15 Juli 2020 juga bukanlah menit tunggal yang tanpa toleransi. Bagi yang pada pukul tersebut berhalangan, dapat melakukan kalibrasi arah kiblat pada 3 menit sebelum atau sesudahnya (Rinto Anugraha, 2012).

Dalil Naqli Menghadap Arah Kiblat

Dalil naqli kiblat dapat kita temukan dalam Q.S. Al-Baqarah (2) ayat ke-150. Selain itu, dalil naqli kiblat dapat kita temukan dalam Q.S. al-An’am (6) ayat ke-97 dan Q.S. al-Nahl (16) ayat ke-16 (Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, 2018).

Firman Allah dalam Q.S al-Baqarah (2) ayat ke-150 menyatakan bahwa menghadap kiblat saat shalat adalah wajib. Ulama dalam empat madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menyepakati bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat (Ahmad Izzan dan Iman Saifullah, 2013).

Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang detail menghadap kiblat sebagaimana diperintahkan dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat ke-150 (Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, 2018). Sebagian ulama berpandangan bahwa menghadap kiblat adalah menghadap Ka’bah secara fisik, sedangkan sebagian ulama lain berpendapat bahwa menghadap kiblat ialah menghadap Ka’bah secara arah.

Masih menurut Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar (2018) bahwa jumhur ulama menyepakati manakala seseorang berada di kompleks Masjid al-Haram maka ketika shalat ia wajib menghadap bangunan Ka’bah. Namun, jika seseorang berada di luar kompleks Masjid al-Haram maka terjadi perbedaan pendapat. Ulama madzhab Syafi’iyah tetap mewajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, sedangkan ulama dalam ketiga madzhab lainnya hanya mewajibkan menghadap arah Ka’bah.

Baca Juga  Haji 1445 H, Musim Panas Mekah, dan Rashdul Kiblat

Terlepas dari perbedaan pendapat detail tentang menghadap kiblat di atas, penentuan arah kiblat merupakan hal penting. Bagi orang yang berada di area Masjid al-Haram dan dapat melihat Ka’bah secara langsung, penentuan arah kiblat tidak menjadi masalah. Begitu pula bagi orang-orang yang berada di luar Masjid  al-Haram tetapi masih di kota Mekah, mereka cukup menghadap ke Masjid al-Haram. Namun bagi mereka yang berada di luar kota Mekah atau bahkan di luar negara Arab Saudi mungkin menjadi masalah.

Alhamdulillah, seiring perkembangan ilmu pengetahuan kesulitan cara penentuan arah kiblat bagi mereka yang di luar kota Mekah dapat teratasi. Kemajuan teknologi juga telah membantu memudahkan dalam penentuan arah kiblat.

Cara Penentuan Arah Kiblat di Indonesia

Cara penentuan arah kiblat di Indonesia berkembang dari masa ke masa. Hal itu dapat dicermati dari perkembangan sains dan teknologi yang digunakan. Beberapa teknologi yang digunakan dalam penentuan arah kiblat meliputi miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ mujayyab, kompas, dan teodolit (Susiknan Azhari, 2011).

Saat ini, cara yang sering digunakan oleh Umat Islam Indonesia dalam penentuan arah kiblat adalah dengan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimen. Secara matematis, arah kiblat dapat ditentukan dengan ilmu ukur segitiga bola atau lebih terkenal dengan sebutan trigonometri bola.

Selain menggunakan trigonometri bola, penentuan arah kiblat secara matematis dapat ditentukan dengan ilmu geodesi. Jika dibandingkan dengan ilmu trigonometri bola, hasilnya lebih akurat. Mengapa demikian? Karena dalam teori geodesi ditambahkan satu variabel yakni ketinggian tempat. Namun demikian, penentuan arah kiblat dengan teori geodesi belum banyak dipraktekkan. Hal tersebut dimungkinkan karena persamaan matematika yang digunakan lebih rumit.

***

Pendekatan eksperimen dalam penentuan arah kiblat dilakukan dengan memanfaatkan bayang-bayang kiblat. Menurut Susiknan Azhari (2011) cara ini mempunyai 4 langkah, yakni menghitung arah kiblat suatu tempat, menghitung kapan saat matahari membuat bayang-bayang setiap benda (tegak) mengarah persis ke Ka’bah, mengamati bayang-bayang benda saat matahari persis di atas Ka’bah, dan mengabadikan bayang-bayang tersebut sebagai arah kiblat.

Manakah yang lebih akurat? Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, hakim tertinggi adalah eksperimen. Oleh karenanya, walaupun arah kiblat suatu tempat telah ditentukan secara matematis, namun tetap disarankan untuk melakukan koreksi arah kiblat dengan metode eksperimen. Salah satu alasan yang melatarbelakanginya adalah pergerakan lempeng-lempeng di Bumi, sebagaimana telah disampaikan pada pendahuluan tulisan ini.

Baca Juga  28 Mei 2021, Momentum Pembetulan Arah Kiblat

Prinsip eksperiman dalam pembetulan arah kiblat adalah memanfaatkan bayang-bayang benda dari sinar Matahari. Oleh karenanya, pelaku kalibrasi arah kiblat harus berada di luar ruangan. Pastikan halaman/lapangan betul-betul terbuka yang memungkinan terpapar sinar Matahari secara optimal.

Agar diperoleh bayang-bayang benda yang baik, disarankan bendanya menggunakan tongkat yang lurus. Tongkat yang tidak lurus akan berakibat pada bayang-bayang yang terbentuk tidak lurus pula.

Selain itu, diperlukan kertas sebagai alas dan pensil untuk menggambar bayang-bayang tongkat. Dokumentasi gambar tersebut, selanjutnya dapat dibawa ke dalam masjid/musholla/rumah untuk membetulkan arah kiblat dalam ruangan.

Pelaksanaan Koreksi Arah Kiblat pada 15 Juli 2020

Sebagaimana informasi yang disampaikan oleh juru bicara Pemerintah RI untuk penanganan COVID-19 bahwa pandemi COVID-19 di Indonesia belum berakhir. Angka kejadian kasus posistif terinfeksi COVID-19 secara nasional masih cukup tinggi.

Oleh karenanya, pelaksanaan pembetulan arah kiblat pada 15 Juli 2020 harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Baik protokol yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) maupun yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Social distancing harus diterapkan dalam kegiatan koreksi arah kiblat pada tanggal 15 Juli 2020 pukul 16.27 WIB. Jama’ah masjid/musholla tidak perlu semuanya terlihat dalam kegiatan ini, cukup tim kecil yang melakukannya. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kerumunan massa yang berpotensi besar untuk terjadinya penyebaran COVID-19.

Anggota tim kecil yang akan melakukan pembetulan arah kiblat, harus mengenakan masker. Selain itu, juga harus melakukan physical distancing dengan menjaga jarak antara satu orang dengan orang lain minimal 1 meter.

Usai melakukan kalibrasi arah kiblat, anggota tim kalibrasi arah kiblat melaksanakan protokol terakhir yakni cuci tangan dengan sabun. Menurut pakar kesehatan, cuci tangan dengan sabun terbukti cukup efektif membunuh kuman, bakteri, dan virus.

Selain itu, janganlah lupa mengawali kegiatan koreksi arah kiblat dengan mengucap basmalah. Janganlah lupa pula mengakhirinya dengan mengucapkan hamdalah.

Semoga pelaksanaan koreksi arah kiblat pada tanggal 15 Juli 2020 dapat berjalan lancar dan target yang diinginkan tercapai. Teriring do’a pula, semoga wabah COVID-19 segera berakhir dan kehidupan menjadi lebih baik. Aamiin.

Wa Allah a’lamu bi al-shawab.

Editor: Yahya FR
Avatar
35 posts

About author
Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Sains dan Teknologi. Santri Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Tahun 1991-1997.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds