Feature

Beratnya Mendiagnosis Orang Munafik

2 Mins read

Ciri-ciri orang sakit tifus itu ada banyak, diantaranya demam, perut sakit atau mual, badan lemah, dan linu-linu.

Terus ada tetangga anda yang mengalami demam, perut nyeri, mual, badan serasa pegal-pegal. Apakah anda bisa mendiagnosis tetangga anda itu sakit tifus lalu memberikan resep obat?

Okelah anda yakin itu sakit tifus, lalu berdasar pengalaman anda, anda kasih tau obatnya. Setelah dibawa ke rumah sakit, ternyata tetangga anda itu mengalami usus buntu.

Lho, padahal ciri-cirinya sudah benar: panas, mual, sakit perut. Buka di google juga begitu. Tapi kok di rumah sakit ketemunya usus buntu, bukan tifus?

Jadi soal diagnosis yang awalnya tampak benar karena tanda dan cirinya cocok. Bisa salah karena tidak memahami ilmunya dengan lengkap dan tidak memiliki kompetensi di situ.

Nah, ada puluhan tanda orang munafik yang tersurat atau tersirat dalam Al-Qur’an dan hadis. Dikatakan, kalau didaftar bisa 35 tanda atau lebih.

Kehati-hatian Sahabat dalam Melabeli Orang Lain Munafik

Sekarang, apakah kita bisa mendiagnosis seseorang itu munafik dari mengenal sebagian tandanya? Apakah melakukan 1 tanda/perbuatan di antaranya langsung jadi munafik? Ataukah ada batas minimal yang dilakukan di antara 35 itu (misal 5 hal) untuk jadi munafik?

Di satu grup ada yang mempertanyakan saya, “kan orang munafik kelihatan dari omongannya?”. Saya jawab, “Kan tifus kelihatan dari demamnya? Tapi kita tetap bisa salah hanya dengan melihat tanda.” Yang zahir sakit tifus saja sulit, apalagi yang batin soal label munafik.

Sesungguhnya, tidak gampang mendiagnosis seseorang itu munafik. Sekelas sahabat Umar yang cerdasnya begitu, sangat berhati-hati dalam menentukan seseorang itu munafik atau tidak.

Dalam tarikh sahabat yang masyhur, sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman adalah orang yang memegang rahasia Nabi tentang diagnosis orang munafik. Rasul memberikan daftar nama orang munafik kepada sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman.

Baca Juga  PT Janu Putra Sejahtera Tbk, Perusahaan Ayam yang Masuk BEI

Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang. Bahkan sahabat Hudzaifah tetap tidak memberi info kepada Sahabat Umar meskipun Umar menjabat Khalifah.

Umar acap kali bertanya pada Hudzaifah, “Apakah di antara pegawaiku ada orang munafik?”. Dijawab, “Ada, ya Khalifah.”

“Siapa?”

“Maaf, saya dilarang Nabi memberitahu siapapun.”

Nah, karena ada sunah tidak mensalatkan mayit orang munafik, maka Umar diam-diam selalu mengamati sahabat Hudzaifah. Kalau Hudzaifah mensalatkan, Umar berkesimpulan bahwa itu bukan orang munafik, Umar ikut salat. Kalau Hudzaifah tidak mensalatkan, Umar tidak menshalatkan. Begitu seterusnya.

Kalau Umar mau, Umar bisa saja mendiagnosis sendiri label “munafik” pada seseorang. Karena beliau paham Al-Qur’an dan mengalami sunah nabi secara langsung. Jadi, hafal ciri-ciri orang munafik. Tapi nyatanya beliau sangat berhati-hati dalam melabeli orang sebagai munafik.

Beratnya Mendiagnosis Orang Sebagai Munafik

Cerita lain. Buya Hamka diminta mensalati jenazah Bung Karno. Ada yang mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu munafik dan Allah telah melarang Rasul menshalati jenazah orang Munafik.

Buya Hamka menjawab, “Rasulullah diberitahu sesiapa yang Munafik itu oleh Allah, sedangkan saya tidak terima wahyu dari Allah. Apakah Bung Karno ini benar munafik atau bukan?” Maka Buya Hamka pun menshalati jenazah Bung Karno.

Saya sekadar menggambarkan bahwa meskipun kita hafal puluhan ciri orang munafik, kita berat mendiagnosis seseorang itu munafik atau bukan.

Soalnya kalau salah, itu jadi fitnah yang berat dan hisabnya juga berat. Kalau Nabi Muhammad jelas mendapat petunjuk dari Allah siapa saja nama-nama orang munafik.

Sahabat nabi dan ulama yang sangat paham Al-Qur’an pun, sangat berhati-hati mendiagnosis munafik atas seseorang. Lha kita selevel apa? Apa kompetensi kita? Apa wewenang kita? Apakah kita bisa bebas dari personal conflict of interest atau tidak? Dan seterusnya.

Baca Juga  Praktik Toleransi Otentik: Pengalaman Keluarga Prawoto Mangkusasmito

Lalu sikap kita bagaimana dong terhadap ciri-ciri kemunafikan? Ya kita selalu belajar agar tidak melakukan perbuatan nifaq. Boleh pula mendakwahkan agar orang-orang tidak melakukan perbuatan itu. Lalu meniru kehati-hatian para sahabat dan ulama dalam mendiagnosis kemunafikan, tidak mencap apalagi mengumbar stempel “munafik”.

.

Editor: Yahya Fathur R
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds