Inilah Muslim Indonesia 2019, Makin mengeras?
ALVARA merilis hasil penelitiannya tentang Muslim Indonesia di 2019. Menarik sekali dan cukup banyak hal yang bisa dibaca tapi saya mau ambil beberapa hal saja.
1. Ternyata muslim lebih banyak dari muslimah. Jadi alasan poligami karena populasi wanita lebih banyak batal demi data, hehe. Muslimah sudah 75% yang berjilbab.
2. Yang salat disiplin 5 waktu 10%-an, mayoritas kadang-kadang 5 waktu. Mayoritas kadang-kadang baca Al-Qur’an, yang rajin baru 14%-an.
3. Mayoritas tahlilan, maulidan, baca qunut subuh, tarawih 11. Jadi soal fikih ibadah, ini campur.
4. Ormas yang populer 3 besar itu NU, Muhammadiyah, dan FPI. Haaa… FPI! Tapi afiliasinya tetap mayoritas NU dan Muhammadiyah. Sementara, membership tertinggi ialah NU disusul Muhammadiyah, FPI jauh di bawah. Sepertinya, ALVARA membedakan antara afiliasi dan membership, meski ALVARA tidak menyebutkan apakah ini dihitung kartu anggotanya atau bagaimana.
5. Mubaligh (di laporan disebut Ulama). Ranking terpopuler adalah Ust. Abdul Somad. NU lumayan, ada Gus Mus, Gus Muwafiq, dan lain-lain. Gus Baha’ belum masuk, mungkin di 2020 sudah bisa terhitung simpatisannya. FPI jelas HRS masuk. Salafi ada Ust. Basalamah. Muhammadiyah cuma Pak Din. UAH itu memang dekat dengan Muhammadiyah, tapi tidak semua tokoh Muhammadiyah menerima pandangan UAH sama dengan tarjih Muhammadiyah.
Artinya, meski ormas terpopuler itu NU dan Muhammadiyah, tidak musti mubalighnya banyak yang populer sebanding ormasnya.
6. Umat muslim lebih suka cari kajian agama terkait fikih, kedua muamalah. Saya kurang tahu kenapa ALVARA membedakan itu. Padahal, muamalah bisa masuk fikih. Mungkin maksudnya fikih ibadah ritual. Ya, artinya umat kita didominasi oleh gaya berpikir fikih. Maka mubaligh yang ahli fikih atau banyak bicara halal haram tentu berpotensi bisa menguasai massa.
7. Untuk anak mudanya, mayoritas ngikut orang tua dalam pandangan keagamaan, lumayan ada sekian persen yang cari referensi. Cuma, tidak dijelaskan apakah mencari referensinya itu atas bimbingan ulama atau tidak.
8. Menarik, website terpopuler didominasi oleh NU, diwakili Islami.co, NU Online, dan Alif.ID (Hamzah Sahal) dan Salafi ada Hidayatullah, Arrahmah (di situ ditulis Arrohman). Satu lagi, ada Nahimunkar yang modelnya keras sekali. Sementara Muhammadiyah, belum masuk hitungan. (Colek Arif Nur Kholis).
9. Artis-artis hijrah juga populer di kalangan anak muda. Tertinggi Opick. Tentu mereka ini bisa jadi patron, mengalahkan ulama yang belajar agama lama tapi bukan selebriti.
10. Ada juga yang menarik soal kepemimpinan orang dari kalangan non-muslim. Yang support 43%, yang not support 32%. Sedikit yang berpendapat equal.
Sesungguhnya, masih banyak data yang ada dalam laporan itu, tapi tidak saya tulis di sini.
Kesan saya secara sekilas, bahwa muslim Indonesia itu pada dasarnya mayoritas moderat, dalam arti golongannya (NU-Muhammadiyah) juga kualitasnya (tidak soleh-soleh amat juga tidak fasik-fasik amat; tidak pinter-pinter amat juga tidak bodo-bodo amat).
Soal NU-Muhammadiyah, tidak dielaborasi lebih lanjut. Padahal, di situ ada data yang baca qunut (subuh) itu mayoritas, yang tarawih 11 juga mayoritas. Jadi, kan ada yang tarawihnya 11 sekaligus juga baca qunut (subuh) alias mixed.
Saya tidak tahu, apakah mixed ini karena sangat paham ilmunya atau karena memang pengen ambil yang disukainya saja. Tapi ini sepertinya mengafirmasi visi saya soal generasi hybrid atau beyond NU-Muhammadiyah.
Juga tidak dibahas apakah yang berhaji dan berzakat secara terorganisir itu, serta bersekolah disebut sebagai Muhammadiyah kultural. Karena, Muhammadiyah yang memulai semua itu. Tapi sepertinya memang hal-hal detail dan tidak terpisah tegas bukan ranahnya penelitian ALVARA yang kuantitatif ini, meski metodenya menyebutkan model kualitatif juga, seperti wawancara mendalam. (Kalau ALVARA mau ngajak, saya ikut merancang penelitiannya, saya pertimbangkan).
Karena kualitas umat Islam ini menengah, memang sewajarnya kebanyakan nyari tahu soal fikih. Bukan bahasa Arab (ranking bawah) apalagi usul fikih, ilmu tafsir, ilmu hadis, filsafat Islam, apalagi tasawuf, yang sama sekali tidak masuk ranking.
Itu terlalu rumit dan tidak praktis untuk hidup. Maka wajar kalau umat bicara agama isinya soal halal-haram, bukan soal maslahah secara luas, atau soal-soal akhlak dan batiniyah. Jadi ya wajar pula kalau mudah diadu-adu karena corak fikih, apalagi kalau belajarnya dari Google, adalah kaku dan cenderung hitam-putih. Apalagi kalau dibumbui politik… ambyar..
Meskipun mayoritas moderat, tapi trend garis keras (dengan berbagai spektrum/variannya) rupanya naik. Popularitas FPI dengan HRS-nya, kajian-kajian Salafi dengan channel-channel-nya, serta lumayannya angka anti pemimpin non-muslim (meski kadang ada partai Islam yang mengusung kepala daerah non-muslim) menandakan pergeseran yang bisa cepat atau lambat ke arah pengerasan cara pandang.
Maka judul laporan ALVARA ini tepat: “The Challanges of Indonesia Moderate Moslems”